Kasus Bunuh Diri Mahasiswa, Cermin Kelemahan Sistem Pendidikan Saat Ini
Tini
(Aktivis Muslimah)
Kasus bunuh diri dikalangan mahasiswa semakin mengkhawatirkan. Baru-baru ini, seorang mahasiswa PPDS Anestesi Undip mengakhiri hidupnya diduga akibat bullying. Insiden ini menambah daftar panjang kasus bunuh diri dan menunjukkan kelemahan sistem pendidikan di era sekularisme.
Kasus bunuh diri dikalangan mahasiswa tidak hanya terjadi tahun ini. Berikut adalah ringkasan kasus bunuh diri mahasiswa dari 2023 hingga 2024:
Pertama, pada 15 Agustus 2023, mahasiswa berinisial MFSP dari Fakultas Hukum Undip ditemukan tewas gantung diri di Lapangan Tembak Kodam IV Diponegoro, Semarang.
Kedua, pada 16 September 2023, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Semarang (USM) melompat dari lantai enam gedung parkir kampus dan bunuh diri.
Ketiga, pada Oktober 2023, terjadi dua kasus bunuh diri di kampus berbeda. Salah satunya melibatkan utang pinjaman online, sedangkan mahasiswi berinisial NJW dari Fakultas MIPA Unnes melompat dari lantai empat Mall Paragon, Semarang.
Keempat, pada Agustus 2024, dua mahasiswa dari dua kampus berbeda bunuh diri, satu dari IPB dan satu dari UGM. Sejak 2015, IPB telah mencatat setidaknya lima kasus bunuh diri mahasiswa.
Menurut Pusiknas Polri, dari Januari hingga 18 Oktober 2023, terdapat 971 kasus bunuh diri di Indonesia. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan 2022 yang mencapai 900 kasus. Angka ini mungkin akan terus meningkat dengan banyaknya pemberitaan kasus bunuh diri mahasiswa.
Kasus bunuh diri mahasiswa mungkin lebih banyak dari yang terlaporkan. Banyak kematian tidak diautopsi karena permintaan keluarga, sehingga penyebab kematian hanya berdasarkan analisis. Selain itu, kampus sering menutupi kasus bunuh diri untuk melindungi reputasi dan perasaan keluarga.
Peningkatan kasus bunuh diri di kampus harus mendapat perhatian serius. Fenomena tragis ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama di kalangan mahasiswa. Mengutip dari Kompas (21-11-2023), Dr. Nur Ainy Fardana dari Unair menyebut lima faktor utama: masalah kesehatan mental, tekanan akademik dan keluarga, kesepian, masalah finansial, dan trauma. Lima faktor tersebut sejatinya merupakan masalah kompleks yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Pertama, masalah kesehatan mental pada mahasiswa sering meliputi depresi, kecemasan, gangguan makan, penyalahgunaan narkoba, dan insomnia. Banyak dari gangguan ini terkait dengan pandangan hidup generasi muda. Sistem sekuler yang menganggap hidup hanya tentang materi dan kesenangan dunia dapat membuat seseorang merasa gagal dan cemas, yang bisa memicu niat bunuh diri.
Kedua, tekanan akademik dan tuntutan keluarga yang tinggi sering menjadi pemicu bunuh diri. Misalnya, mahasiswa PPDS Undip diduga bunuh diri karena beban kerja berlebihan dan bullying dari senior. Selain itu, harapan orang tua yang terlalu tinggi bisa membuat anak merasa tertekan dan terbebani.
Ketiga, seiring dengan meningkatnya digitalisasi, mahasiswa sering berinteraksi di dunia maya, mengurangi hubungan mereka dengan lingkungan nyata. Media sosial sering digunakan sebagai pelarian bagi mereka yang kesepian atau kurang dukungan sosial. Hal ini membuat generasi muda menjadi terisolasi secara sosial dan bergantung pada pertemanan online.
Keempat, Masalah finansial serius sering memicu bunuh diri, terutama di kalangan mahasiswa. Biaya UKT yang tinggi membuat mahasiswa terpaksa menggunakan pinjol atau terlibat dalam tindak kriminal. Sudah banyak kasus bunuh diri karena pinjol dan judi, tetapi negara hanya menindak sekenanya dan belum serius memberantas perjudian dan pinjol yang meresahkan. Lebih buruk lagi, Menko PMK Muhadjir Effendy malah mendukung mahasiswa memanfaatkan pinjol untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT) jika kesulitan ekonomi, selama pinjol yang digunakan resmi dan tidak merugikan.
Kelima, Peristiwa bunuh diri NW, mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang, terjadi karena depresi akibat dipaksa aborsi oleh pacarnya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sekuler dapat menciptakan tekanan pada generasi muda, mengakibatkan perilaku bebas dan masalah mental. Akhirnya, bunuh diri dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Dari kelima faktor diatas, tampak jelas bahwa sistem pendidikan sekuler gagal membentuk generasi muda yang beriman dan berkarakter baik. Kurikulum yang ada tidak mendukung pengembangan iman dan akhlak yang sesuai dengan ajaran agama. Dengan dasar akidah yang jauh dari aturan Allah, sulit untuk mencetak generasi yang taat kepada Tuhan.
Sistem pendidikan sekuler menciptakan lingkungan yang tidak manusiawi, seperti bullying dan perasaan superioritas dari senior. Sistem ini menyebabkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta antara yang pintar dan lambat belajar. Berbeda dengan penerapan sistem Islam yang akan menghasilkan generasi berkepribadian baik, cendekiawan cerdas, dan peradaban mulia.
M. Ismail Yusanto dalam bukunya Menggagas Sistem Pendidikan Islam menjelaskan bahwa pendidikan Islam didasarkan pada pandangan menyeluruh tentang alam, manusia, dan kehidupan, termasuk sebelum dan sesudah dunia ini. Paradigma pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dari pandangan Islam itu sendiri.
Pada masa Khilafah Islam, banyak generasi unggul lahir dalam bidang ilmu pengetahuan dan agama. Keberhasilan ini karena sistem pendidikan Islam didasarkan pada ajaran Islam. Negara berperan besar dalam mengatur setiap aspek kehidupan sesuai asas pendidikan tersebut, dengan kebijakan berbasis syariat Islam, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, politik ekonomi Islam diterapkan untuk mendukung pendidikan. Anggaran besar diperlukan untuk sarana pendidikan, fasilitas, dan gaji guru yang layak, dan dana diperoleh dari pos fai, kharaj, dan pengelolaan sumber daya alam. Contoh kontribusi nyata adalah Fatimah al-Fihri yang mendirikan Universitas Qarawiyyin di Maroko, memberikan akses pendidikan melalui sumbangan dan wakaf.
Kedua, negara menerapkan kebijakan pendidikan gratis untuk semua peserta didik. Kebijakan ini menghilangkan masalah biaya pendidikan, sehingga mengurangi risiko bunuh diri akibat masalah ekonomi. Pendidikan gratis mendorong semangat belajar dan memungkinkan mahasiswa menjadi ulama atau ilmuwan sesuai minat dan kemampuan mereka.
Ketiga, negara menerapkan pembinaan Islam secara komunitas. Kehidupan masyarakat akan lebih berlandaskan iman karena sistem pergaulan mengikuti ajaran Islam. Negara juga menutup akses maksiat dan menerapkan sanksi untuk menjerakan pelakunya.
Dengan penerapan sistem Islam yang komprehensif, generasi muda akan terlindungi dari dampak negatif sekularisme. Sistem ini mencegah kerusakan pada aspek-aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bish-shawwab.