Kartu Pra Kerja: Kartu Sakti dengan Solusi yang tak Pasti

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mirnawati Sulaiman  (Muslimah Komunitas Majelis Birrul Da’wah dari Makassar)

Isu tentang pemberian kartu pra kerja bagi para pengangguran sudah lama terdengar ditelinga masyarakat sejak musim kampanye pemilihan Capres dan Cawapres beberapa waktu yang lalu. Kartu pra kerja merupakan sebuah kartu yang digalangkan dalam rangka program pelatihan dan pembinaan bagi masyarakat yang belum memiliki keterampilan. Kartu ini dipromosikaan bersamaan dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan Kartu Sembako murah oleh Joko Widodo pada masa kampanye Pemilihan umun Presiden Indonesia 2019.

Rencananya, wacana ini akan direalisasikan oleh Joko Widodo pada Maret 2020. Kartu pra kerja ini nantinya akan dicetak secara digital. Tak tanggung-tanggung, rencana anggaran dana yang akan dikeluarkan oleh pemerintah yaitu sebanyak Rp. 10 triliun untuk mendukung program kartu pra kerja yang diperuntukkan 2 juta peserta. Menteri ketenagakerjaan Ida Fauziah saat rapat bersama komisi IX DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/11/2019), menjelaskan, biaya tersebut termasuk untuk pelatihan dengan perkiraan biaya Rp. 3 juta – Rp. 7 juta per orang, dikutip Surya.co.id.

Lantas, siapa saja yang berhak mendapatkan kartu pra kerja ini.?

Dikutip dari Surya, Menteri koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko-PMK) Muhadjir Effendy ketika ditemui di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (30/11/2019), mengatakan kartu pra kerja dibagikan kepada para pengantin baru yang masuk kategori miskin. Ia menjelaskan pemberian kartu pra kerja kepada pengantin baru ini masuk dalam program sertifikasi nikah. Setelah calon pengantin menyelesaikan bimbingan nikah selama tiga bulan, mereka yang tidak mempunyai sumber penghasilan diperkenankan mengikuti pelatihan lanjutan alias pra kerja.

Selain itu, kartu pra kerja ini juga diperuntukkan bagi lulusan SMA, SMK, perguruan tinggi yang belum bekerja dan bagi mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dikutip dari CNBC, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengemukakan, setidaknya ada tiga kelompok yang bisa memanfaatkan kartu pra kerja tersebut, mulai dari fresh graduate, pekerja eksisting, hingga korban PHK.

”Pokoknya ini yang masuk kategori pencari kerja, apapun background pendidikannya. Lalu pekerja yang sedang bekerja, lalu yang menjadi korban PHK,” kata Hanif saat ditemui dikompleks Kepresidenan, Jakarta, Jum’at (19/7/2019).

Joko Widodo mengatakan kartu pra kerja diberikan kepada lulusan sekolah menengah dan lulusan perguruan tinggi yang akan diberi pelatihan sesuai dengan bidangnya untuk meningkatkan mutu dari sumber daya manusia sebelum mendapatkan pekerjaan.

“Lima tahun kedepan kita akan konsentrasi fokus membangun sumber daya manusia secara besar-besaran. Salah-satunya ini (kartu prakerja), bagaimana kita mau bertarung di kompetisi dengan negara lain kalau SDM kita skill-nya kurang, kalau SDM premium kita tidak melimpah,” kata Jokowi seusai menjadi pembicara di Festival Satu Indonesia di Istora Senayan, Jakarta, Ahad (10/1/2019), dikutip Suara.com.

Benarkah kartu pra kerja ini bisa mengatasi problem lapangan kerja di Indonesia? Ataukah hanya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bahkan menambah hutang negara?

Sejatinya yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah lapangan kerja bukan sekedar kartu-kartu yang hanya digunakan sementara. Kondusifnya iklim usaha bagi pribumi agar tidak dikuasai oleh tenaga kerja asing, seperti yang terjadi di tambang Nikel Morowali yang notabene tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja asing yang kebanyakan berasal dari cina, padahal masyarakat pribumi masih banyak yang butuh pekerjaan. Stop serbuan barang impor yang bisa membuat industri dalam negri gulung tikar dan menimbulkan pengangguran.

Masyarakat membutuhkan keseriusan pemerintah untuk membenahi fundamental ekonomi, bukan sekedar memberikan pelatihan dan tunjangan pra kerja yang mungkin hanya diakses oleh segelintir calon tenaga kerja saja.

Islam memerintahkan negara menjamin tersedianya lapangan kerja dan kemampuan bekerja bagi setiap laki-laki yang wajib bekerja. Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Riza Rosadi dalam tulisannya yang berjudul “Solusi Islam Terhadap Masalah Ketenagakerjaan” yang ditulisnya 13 tahun yang lalu. Ia menjelaskan bahwa, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda :
«اْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Badri (1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah SWT. Umar ra lalu bertanya :“Apa yang sedang kalian kejakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab :“Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT.” Mendengar jawaban tersebut, maka marahlah Umar ra, seraya berkata :“Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari mesjid namun memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka :“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”

Dari sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’i, dan telah diterapkan oleh para pemimpin negara Islam (Daulah Islamiyah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.

Selain memerintahkan untuk menyediakan lapangan kerja, Islam juga melarang negara mengamankan kekuasaan dengan kebijakan yang berorientasi pencitraan ala rezim oligarkis saat ini. Dari penjelasan tersebut dapat kita pahami bagaimana Islam memberikan aturan dalam setiap lini kehidupan dengan begitu apik dan cantiknya.

Keberadaan kartu pra kerja ini tidak akan memberikan perubahan yang signifikan terhadap masalah ketenagakerjaan di Indonesia, justru bisa memicu hutang jika dilihat dari dana yang akan dikeluarkan. Bukankah lebih baik jika anggaran dana sebanyak itu dialihkan untuk membuka lapangan kerja saja? Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *