Oleh : Khadijah
Malang nian nasib buruh di negeri gemah ripah loh jinawi. Ibarat lautan tak bertepi, permasalahan demi permasalahan ketenaga kerjaan mulai dari jam kontrak kerja sampai PHK masal dan sejenisnya seolah tiada habisnya. Belum lagi beberapa peraturan baru yang berpotensi mempersulit gerak buruh semakin memilukan hati. Terlebih lagi di situasi yang sangat sulit hari ini, ditengah Ramadhan dan pandemi.
Anehnya, ditengah-tengah situasi yang runyam ini terdengar kabar ramainya penolakan 500 tenaga kerja (TKA) asing asal China ke Sulawesi Tenggara (Sultra). TKA tersebut kabarnya akan dipekerjakan di dua perusahaan tambah nikel yang ada di Sultra, yakni PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Obsidian Stainles Steel.
Kejadian ini menuai kisruh dari kalangan DPR hingga Pemprov Sutra. Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa mengungkap Panen penolakan ini juga mengungkap ucapan Mentri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait kedatangan 500 TKA asal China. Sang Bupati pun mengaku tidak pernah menerima surat resmi mengenai kedatangan TKA Asing ini. dilakukan oleh masyarakat setempat. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, kejadian ini telah terjadi selama beberapa waktu, terhitung sejak 22 April lalu.
Kejadian ini jelas neminbulkan sejuta tanya, bagaimana tidak kejaidan ini terjadi itengah-tengah darurat wabah corona, disaat pemerintah sedang mati-matian memutus mata rantai penyebaran Covid 19. Dugaan adanya keterlibatan Mentri di jajaran kabinet Jokowi menjadi titik sentral dalam hal ini.
Kementrian Ketenaga Kerjaan (Kemenaker) yang memberi izin kedatangan ratusan TKA China akhirnya buka suara untuk menenangkan masyarakat serta Pemprov Sutra. Pasalnya, Komisi IX DPR mengecap pemerintah terlalu ‘lembek’ dihadapan para investor China. Namun, Pelaksana Tugas (Plt) Binapenta dan PKK Kemenaker Aris Wahyudi menjelaskan penundaan akan kedatangan TKA China ini sesuai berdasarkan Peraturan Mentri Perhubungan Nomor 25 tahun 2020 tentang pembatasan transportasi.
Namun tetap perlu diingat bahwa redaksi kalimat ‘penundaan’ disini belum sepenuhnya batal. Dalam hal ini belum jelas.
Meski begitu, terlepas dari pandemi corona atau tidak, kebijakan masuknya TKA Cina ini tetap harus ditolak. Pasalnya, di sisi lain, anak bangsa tengah tertimpa tsunami PHK. Termasuk bagi yang stay at home alias dirumahkan, itu sungguh tak ubahnya sebagai PHK terselubung. Mereka belum dipecat dari pekerjaannya, tapi juga tidak bisa bekerja karena harus menerapkan social distancing. Akibatnya, mereka otomatis tidak mendapatkan gaji.
Pun mereka yang “tertipu” tutorial program kartu-kartu sakti sok canggih agar mendapatkan pekerjaan baru. Konten programnya ternyata tak lebih baik daripada konten-konten gratis di media online YouTube.
Harga tutorialnya juga tak masuk akal, luar biasa mahal. Insentifnya juga tak dapat diuangkan. Malah hanya dapat digunakan secara elektronik. Belum lagi dengan ketidakjelasan serapan tenaga kerja hasil program tersebut. Alih-alih bisa mengangkat ekonomi keluarga. Yang ada, seolah-olah saja pemerintah memberi insentif melalui program kartu sakti itu. Tapi berhubung nominalnya hanya bisa digunakan secara elektronik, jelas dana insentif itu akan kembali lagi kepada pengelola program. Sama saja dengan pepesan kosong.
Namun coba lihat, ketika di sisi lain ada pengistimewaan pemberian pekerjaan kepada TKA Cina! Anak negeri bagai anak tiri di rumah sendiri! Nau’udzu billaahi.
Kondisi ini juga benar-benar memperlihatkan wajah buruk oligarki yang penuh borok. Di samping itu, makin mempertegas praktik neoliberalisme sumber daya nafkah di dalam negeri. Ini juga sama saja membiarkan warga asing (aseng) menjajah dan menginjak-injak harga diri anak bangsa. Apa lagi istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi ketika orang luar lebih diistimewakan daripada warga sendiri? Entahlah!
Padahal TKA itu lagi-lagi berasal dari negara episentrum pertama pandemi corona. Tidakkah pemerintah ada setitik saja rasa khawatir terhadap potensi munculnya gelombang corona kedua di dalam negeri? Inikah pula rupanya maksud di balik perizinan tetap dibukanya jalur penerbangan internasional? Agar Sang TKA bisa datang dengan leluasa?
Ini sungguh berbeda dari sistem Islam yang dalam setiap kebijakan publiknya, negara Khilafah selalu berangkat dari sabda Rasulullah ﷺ berikut ini:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Negara Khilafah akan melahirkan sosok-sosok penguasa yang bertakwa kepada Allah hingga membuatnya bersungguh-sungguh berusaha mengurus seluruh urusan rakyatnya. Khalifah, sang penguasa Khilafah, akan menjalankan tugasnya hingga jaminan tersebut benar-benar bisa direalisasikan. Itu karena kesadaran penuh bahwa ia memiliki tugas sebagai raa’iin (pengatur dan pemelihara) dan junnah (pelindung).
Negara Khilafah akan memenuhi kebutuhan pokok tiap rakyatnya baik berupa pangan, pakaian, dan papan. Mekanismenya adalah dengan memerintahkan para laki-laki untuk bekerja dan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi mereka.
Khilafah juga akan mengatur mekanisme keberlangsungan jalur nafkah jika para laki-laki tidak dapat bekerja. Misalnya karena sakit, cacat, ataupun yang lainnya, maka Islam telah menetapkan nafkah mereka dijamin kerabatnya. Tapi jika kerabatnya juga tak mampu, maka negara Khilafah yang akan menanggungnya.
Khilafah juga akan mempermudah jalur-jalur birokrasi serta menempatkan para pejabat yang amanah untuk membantu Khalifah melaksanakan pemerintahan. Seluruh unsur pemerintah mengupayakan mekanisme administratif dan pengaturan berbagai kemaslahatan rakyat dengan prinsip kemudahan, tidak rumit, dan segera selesai.
Mekanisme cepat ini juga demi mengatasi tumpang tindih jalur birokrasi. Supaya pejabat pusat tidak sembarangan potong jalur koordinasi dengan pejabat di akar rumput demi kepentingan tertentu. Alih-alih sampai terjadi suap antarpejabat.
Semua tugas pemerintahan dijiwai sebagai bagian dari keimanan kepada Allah SWT. Tiada terbersit sedikit pun di dalam diri para pejabat Khilafah untuk berbuat curang maupun zalim kepada rakyat. Karena mereka adalah manusia beriman yang takut akan murka Allah jika mereka bermaksiat kepada-Nya.
Namun demikian, sebagai tindakan preventif dan kuratif, Khilafah juga menyediakan mekanisme penanganan bagi para pejabat yang melakukan kelalaian. Yakni dengan adanya struktur peradilan, dengan seorang hakim (qadhi) khusus yang disebut qadhi mazhalim.
Qadhi mazhalim adalah qadhi yang diangkat untuk menghilangkan segala bentuk kezaliman yang terjadi dari negara terhadap rakyat yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik ia berstatus warga negara maupun yang bukan; dan juga ketika kezaliman itu berasal dari tindakan Khalifah, penguasa selain Khalifah, dan juga pegawai negeri.
Coba sekali lagi kita cermati. Sistem demokrasi seperti saat ini, apanya lagi yang menjadi alasan untuk tetap dipercayai. Alih-alih dipertahankan. Semua kebijakannya selalu mengandung dusta, namun berbalut pencitraan. Tiada ketakutan sedikit pun bahwa amanah pemerintahan adalah pertanggungjawaban yang berat di hadapan Allah.
Firman Allah SWT:
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ (٤٧) وَالْأَرْضَ فَرَشْنَاهَا فَنِعْمَ الْمَاهِدُونَ (٤٨)
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa (47) Dan bumi itu Kami hamparkan, maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami) (48).” (QS Adz-Dzariyat [51]: 47-48).
Juga sabda Rasulullah ﷺ: “Ya Allah, barang siapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barang siapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya.” (HR Muslim).