Kapitalisme Melahirkan Undang-Undang yang Sarat Kepentingan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Hafsah Ummu Lani

Setahun pemerintahan Jokowi, tepatnya tanggal 20 oktober 2020, sejumlah produk legislasi berupa undang-undang lahir dalam di tahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Setidaknya ada tiga undang-undang kontroversial yang disetujui pemerintah dan DPR meski menimbulkan polemik.
Ketiga undang-undang itu adalah revisi UU Mineral dan Batu Bara, revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), Omnibus law UU Cipta Kerja.
Revisi UU Minerba merupakan usulan DPR yang kemudian dibahas dan disetujui bersama pemerintah. RUU Minerba disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada 12 Mei 2020.
RUU MK disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada 1 September 2020.
Pada 5 Oktober 2020, DPR dan pemerintah menyepakati Omnibus law UU Cipta Kerja menjadi undang-undang. UU Cipta Kerja merupakan rancangan undang-undang usulan pemerintah. (Kompas. com 20/10/2020)

Undang-undang adalah peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah bersama dengan badan legislatif yang bersifat memaksa dan mengikat seluruh anggota masyarakat tempat kehidupan diterapkan. Tujuannya adalah:
1.Menyajikan hukum kepastian bagi seluruh warga negara.
2.Menyajikan perlindungan dan jaminan atas terpenuhi hak-hak seluruh warga negara.
3.Menyajikan dan meningkatkan rasa keadilan bagi seluruh warga negara.
4.Mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.Menciptakan ketertiban dan kenyamanan ditengah masyarakat.

Namun pada faktanya, Rancangan Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang, belum sepenuhnya sesuai dengan keinginan masyarakat. Apa sebenarnya yang mendasari pemerintah dalam keputusannya merevisi UU tersebut sehingga menimbulkan kontoversi? Padahal, untuk menjadikan sebuah UU, ada beberapa tahapan panjang yang harus dilalui.

Dalam UU 12/2011 dan perubahannya, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 UU 12/2011 s.d. Pasal 23 UU 15/2019, Pasal 43 UU 12/2011 s.d. Pasal 51 UU 12/2011, dan Pasal 65 UU 12/2011 s.d. Pasal 74 UU 12/2011.

Sedangkan, dalam UU MD3 dan perubahannya, pembentukan UU diatur dalam Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal 173 UU MD3. (HukumOnline. Com)

Rancangan Undang-Undang yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang, lalu direvisi menandakan adanya cacat pada isinya. Dan yang menjadi catatan bukan masalah isi dan revisinya, tapi lahirnya undang-undang tersebut yang notabene dirancang dan disetujui oleh trio penguasa yakni Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif.

Dalam sistem Demokrasi, kedaulatan berada ditangan rakyat yang diwakilkan kepada Dewan Permusyawaratan Rakyat. Setiap aspirasi dari rakyat akan disampaikan melalui rapat anggota dewan. Kenyataan, bahwa undang-undang yang dibuat maupun yang direvisi tidak mewakili keinginan rakyat, terbukti dengan adanya
undang-undang Ciptaker, poin-poin didalamnya lebih menekan dan memangkas beberapa hak buruh. Selain itu, beberapa pengamat politik juga menilai bahwa UU Ciptaker ini hanya memudahkan investor dan memberi dampak kerusakan pada lingkungan.

Undang-Undang Cipta Tenaga Kerja nyata merugikan para buruh tetap dipaksakan untuk disahkan. Rakyat tidak dilibatkan apakah setuju atau tidak, sehingga timbullah demo penolakan di berbagai daerah maupun pusat. Draf yang telah disusun terkesan terburu-buru untuk disahkan. Jika hal tersebut untuk kesejahteraan rakyat, tentu tidak menimbulkan penolakan.

Melihat hasil undang-undang yang lahir dari kesepakatan, kita mestinya fokus pada sesuatu yang melahirkannya, bukan pada hasil yang dilahirkan. Isi dari draf UU tadi hanya dampak dari penerapan sistem kapitalis yang lebih mementingkan keuntungan. Padahal kerusakan ada pada sistem itu sendiri, dimana tolak ukur perbuatan hanya berasas materi. Untung rugi menjadi bahan pertimbangan dalam melahirkan kebijakan. Maka wajar jika aturan yang dihasilkan tidak berdampak baik pada rakyat secara umum.

Dalam pentas pemilu Demokrasi, Presiden dan anggota Legislatif dipilih melalui suara terbanyak. Untuk memuluskan langkah dalam kampanye, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Peran pemodal dibutuhkan untuk memobilisasi para kandidat, maka tidak heran jika setiap kebijakan yang lahir ada campur tangan kaum kapital.

Dalam Islam, kedaulatan ada ditangan syara dan kekuasaan ada pada rakyat. Syara atau syariat punya ketetapan hukum yang pasti, sumbernya dari Al Qur’an dan Assunnah. Standar yang dipakai tergantung pembahasan materinya, di antaranya, (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.
Jadi, dalam Islam tetap ada musyawarah atau kesepakatan, namun hanya dalam perkara tertentu atau perkara teknis, bukan pada inti aturan tersebut.

Kekuasaan ada ditangan rakyat yang direalisasikan oleh Pemimpin dan jajaran pemerintahan. Penguasa dipilih oleh umat untuk menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syara, karena Islam menjadikan pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik umat. Pemimpin dipilih berdasar aqad sukarela antara yang dipilih dan yang memilih, bukan paksaan atau kontrak politik.

Dalam beberapa pasal sudah diatur bahwa Pemimpin hanya melegislasi hukum syara tertentu yang tidak terkait dengan ibadah. Pemimpin, selain tidak membuat aturan hukum, juga tidak sembarang melegislasi. Sumber hukum yang dipakai tidak berubah sesuai kehendak atau zaman. Dalam Al Qur’an Allah Swt berfirman yang artinya:

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,”
(QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 48)

Jadi, hak membuat hukum dan undang-undang hanyalah Allah dan RasulNya, jika ada hukum yang akan dilegislasi
hanya dalam perkara yang sifatnya dzhonni, syariat membolehkan pemimpin untuk berijtihad atau mengadopsi pendapat yang paling kuat dari seorang mujtahid, agar setiap masalah bisa cepat diatasi dan ada solusinya.
Beginilah Islam mengatur urusan hukum bagi rakyatnya, tidak bersumber dari manusia yang mempunyai sifat terbatas.

Wallahu a’lam bisshowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *