Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)
Bak pepatah, “habis manis sepah dibuang”. Begitulah yang terjadi di negeri ini. Pasca mengeruk kekayaan alam, korporat hengkang tak pedulikan rakyat yang menjadi tumbal keserakahan mereka.
Hal ini tampak pada banjir yang terjadi di Kalmantan Selatan (Kalsel). Hutan yang harusnya menjadi serapan air, digerus menjadi lubang tambang dan perkebunan kelapa sawit. Tak tanggung-tanggung, terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi. Hingga dikatakan, banjir tahun ini adalah yang terparah dalam sejarah dengan ketinggian air 2-3 meter. (www.suara.com)
“Ini menunjukkan daya tampung daya dukung lingkungan di Kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Sudah sering kita ingatkan, dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono.
Hal ini menegaskan kerja sama antara penguasa dan pengusaha yang begitu apik terjalin. Penguasa sebagai regulator yang pro korporasi memuluskan kebijakan yang dihasrat pengusaha. Tentu tak lain ialah menjarah kekayaan alam negeri.
Kalimantan yang merupakan paru-paru dunia kini dibabat habis akibat pembangunan eksploitatif yang sekuler kapitalistik. Perusahaan batu bara, siapa yang diuntungkan jikalau bukan untuk para pengusaha dan penguasa kapitalis? Hasil tambang untuk siapa jikalau bukan untuk para pengusaha dan penguasa yang rakus? Rakyat, hanyalah penerima petaka akibat keserakahan dan kerakusan mereka.
Begitulah kapitalisme. Senantiasa lahirkan petaka, karena fasad yang dibawa sedari lahir. Kapitalisme memisahkan agama dari kehidupan. Aturan Sang Pencipta dihempas sejauh mungkin. Untuk urusan apapun, aturan buatan manusia yang digunakan.
Maka, layak jikalau nihil aturan terkait bagaimana mengelola dan melindungi lingkungan. Pembangunan justru tak diselaraskan dengan karakter alam. Serta tak adanya tanggung jawab penguasa melindungi rakyat dari bencana. Bahkan tatkala terjadinya bencana, pemerintah tak mau ambil pusing.
Oleh sebab itu, menjadi kesalahan fatal apabila masih berharap pada sistem kapitalisme. Sistem yang rusak dan merusak. Sistem yang tak bisa diperbaiki karena sejatinya kesalahannya bukanlah terletak pada cabang melainkan pada akarnya.
Lalu, bagaimana dengan Islam? Bagaimana Islam mengelola lingkungan dan menyerasikan pembangunan dengan karakter alam? Bagaimana tanggung jawab negara untuk melindungi rakyat dari bencana?
Islam adalah agama yang sempurna lagi paripurna. Bukan sekadar ibadah ritual belaka. Lebih dari itu, Islam merupakan sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek kehidupan serta memecahkan berbagai problematik.
Terkait pengelolaan lingkungan, penting ditegaskan bahwa kekayaan alam merupakan kepemilikan umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat. Sehingga, tidak diperbolehkan tanah hutan dan tanah yang mengandung tambang diberikan izin konsesi kepada swasta ataupun asing seperti yang tampak hari ini. Karena akan melahirkan kerugian dan malapetaka bertubi-tubi bagi rakyat. Terbukti, di tengah berlimpahnya kekayaan alam negeri ini, mayoritas rakyat justru miskin, tertindas, tertimpa bencana akibat abainya korporat penjarah hasil alam terhadap perlindungan alam.
Alquran sebagi pedoman hidup pun sudah menjelaskan bahwa tidak boleh berbuat kerusakan di muka bumi. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf ayat 56)
Selain itu, dalam Islam dikenal sebuah kawasan konservasi yang disebut hima. Di sinilah binatang-binatang dilindungi dan dilarang diburu. Begitu halnya tumbuhan, dijaga dan dilestarikan.
Begitulah, Islam memuat seperangkat aturan dalam mengelola lingkungan. Lebih lanjut, pohon-pohon di hutan tak boleh digunduli. Hutan tak boleh dijarah entah oleh para korporasi atau individu, dibabat habis-habisan isinya demi perkebunan yang mengenyangkan mereka. Karena sejatinya, karakter hutan adalah sebagai tempat terserapnya air. Jikalau khasiat hutan sebagai daerah resapan air dibabat habis tentulah membawa petaka.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah negara yang bisa menerapkan syariat Islam secara kafah. Negara yang pemimpinnya tidak pro korporasi. Negara yang bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan rakyat dan melindungi dari bencana.
Tentu bukan negara hari ini yang telah mengukuhkan dirinya pro korporasi dan sebagai regulator atau fasilitator belaka. Bukan negara yang melahirkan pemimpin licik nan munafik. Bukan negara yang tak pedulikan rakyatnya.
Tetapi, negara yang dimaksud adalah negara Islam, Khilafah. Maka, harusnya bencana-bencana ini menjadi lecutan bagi kita. Bahwasanya kapitalisme merupakan induk petaka, senantiasa lahirkan petaka demi petaka. Untuk itu, marilah bersumbangsih agar diterapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab.