Oleh: Rini Noviyanti
Pandemi Covid-19 telah menelanjangi watak asli kapitalisme dan karakter perusak sistem cacatnya. Pemilik modal yang haus materi adalah pendominasi hajat hidup publik. Hal itu antara lain tampak pada orientasi penanggulangan berbasis vaksin yang didominasi korporasi raksasa farmasi dunia dalam pengembangannya. Ini adalah kali pertama, ada puluhan korporasi farmasi dunia berlomba dalam bisnis vaksin. Lazimnya korporasi, tentunya yang utama bagi mereka keuntungan materi.
Bagaimana tidak, ini adalah bisnis yang sangat menggiurkan. Pasarnya nyata dan berjumlah miliran orang, yakni, penduduk dunia yang sedang didera pandemi. Sementara harga dapat dikendalikan sesuai kepentingan korporasi, dengan penyuntikan tidak cukup sekali. Karenanya pengembangan vaksin pun diburu dan dipercepat. Dikhawatirkan para ahli percepatan ini justru berbahaya bagi publik karena pengabaian proses pengembangan yang seharusnya. Artinya, tidak saja masalah harga, namun yang lebih serius adalah kesehatan, keselamatan jiwa manusia sementara pandemi sendiri semakin memburuk.
Di saat yang bersamaan tindakan nonfarmasi yang menjadi tindakan asal dan pokok dalam penanggulangan pandemi telah diabaikan, termasuk rezim di negeri ini. Seperti lockdown, social distancing, testing dan tracing bagi tindakan karantina dan pengobatan yang efektif, serta pelaksanaan protokol kesehatan. Meski terbukti kesahihannya secara paradigmatis. Bahkan merupakan kebutuhan yang mendesak sinkronisasi tindakan lockdown areal terjangkiti wabah di seluruh dunia oleh kepemimpinan global .
Percepat Pengembangan, Bagaimana dengan Keamanan Vaksin?
Percepatan pengembangan vaksin telah dijadikan komitmen terkini. Pada Kamis, 1 Oktober 2020, Yayasan Bill & Melinda Gates telah menandatangani perjanjian bersama 16 perusahaan farmasi. Keenambelas perusahaan farmasi itu berkomitmen untuk peningkatan produksi vaksin Covid-19 dengan kecepatan yang belum terjadi sebelumnya. Korporasi farmasi itu adalah AstraZeneca; Bayer; Johnson & Johnson.
Sebelumnya, pada 17 April 2020, komitmen percepatan pengembangan vaksin ini juga telah dicanangkan oleh National Institutes of Health. Berupa kemitraan publik-swasta Accelerating COVID-19 Therapeutic Interventions and Vaccines (ACTIV) bagi pengembangan strategi penelitian terkoordinasi untuk prioritas dan percepatan pengembangan perawatan dan vaksin yang paling menjanjikan, demikian dinyatakan pada laman nih.gov.
Bagaimana dengan uji klinis fase 3 di Indonesia? Hingga saat ini yang diberitakan relawan hanya menderita sakit ringan. Diberitakan seorang sukarelawan terinfeksi Covid-19 dan diverifikasi karena tertular saat perjalanan ke luar kota. Namun, apakah vaksin ini benar-benar aman dan efektif? Yang pasti uji klinis sedang berlangsung. Tidak seorang pun yang bisa menjamin apa hasilnya. Meski dinyatakan ketua tim riset uji klinis vaksin Covid-19, Prof Kusnandi Rusmil, bahwa uji klinis diharapkan selesai pada akhir tahun dan bisa dipakai mulai Maret 2021, namun perpres pengadaan dan pelaksanaan vaksin sudah ditandatangani.
Agar vaksin yang dihasilkan benar-benar aman dan berkhasiat, tidak saja dibutuhkan keahlian dan biaya yang tidak sedikit, namun juga waktu yang tidak singkat. Sebab, jika pengembangan vaksin tidak didasarkan rumusan yang seharusnya alias terburu-buru justru sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa manusia.
Vaksin Bukan Solusi Asal
Hanya saja, vaksin bukanlah solusi asal dan prinsip dalam eradikasi/pemberantasan pandemi. Dinyatakan para ahli kesehatan dunia, seperti Dr Fiona Culley, Institute Jantung dan Paru Nasional di Imperia College London, ”Sebuah vaksin menawarkan harapan besar untuk berpotensi mengakhiri pandemi, tapi kami tahu bahwa sejarah pengembangan vaksin dipenuhi banyak kegagalan;” “Laporan Royal Society menerangkan masih ada tantangan besar yang akan dihadapi dunia. Apalagi beberapa pendekatan eksperimental yang diambil, seperti vaksin RNA, belum pernah diproduksi secara massal sebelumnya;” Ketua Imunologi Imperial Collecge London, Profesor Charles Bangham berkata, ’Sekalipun efektif, kecil kemungkinan kita bisa kembali normal sepenuhnya..’”.
Strategi Efektif
Prinsip sahih Islam dalam pemutusan rantai penularan pandemi Covid-19 menjadi kebutuhan dunia saat ini. Berupa tindakan nonfarmasi berupa syar’i lockdown hingga jaminan pelayanan kesehatan gratis berkualitas bagi siapa saja yang membutuhkan. Tindakan pembasmian akan berjalan sinkron di seluruh penjuru dunia. Sehingga pembasmian pandemi berlangsung efektif. Efektif artinya, segera, dengan desain waktu paling lama 14 hari. Ini sesuai dengan satu periode terpanjang inkubasi SARS Cov-2. Keefektifan itu juga harus terukur dari angka kesakitan dan kematian ditekan hingga zero (nol) selama berlangsung tindakan pembasmian.
Tindakan sikron yang efektif tersebut hanyalah mungkin berlangsung di bawah kepemimpinan Islam karena padanya terhimpun sejumlah karakter sahih istimewa. Yakni, negara adidaya bervisi pembebas dan penyejahtera. Hal ini tampak dari unsur-unsur pembentuknya, berupa akidah Islam. Asas yang tidak boleh dilepaskan pada kondisi apapun, tidak terkecuali pada kondisi pandemi. Di samping itu, pemikiran, hukum, konsep dan standar yang terpancar dari akidah Islam.
Karakternya sebagai negara adikuasa bervisi pembebas dan penyejahtera istimewa itu juga tampak dari konstitusi dan undang-undang yang dilegislasi, disamping bentuk negara Khilafah itu sendiri. Khilafah sebagai adidaya bervisi pembebas dan penyejahtera dunia merupakan visi risalah Islam itu sendiri. Sebagaimana ditegaskan Allah Azza wa Jalla, ”Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kalian semua”. (TQS.Al A’raf[7]:158).
Karakternya sebagai adidaya pembebas pandemi dipertegas oleh fungsinya sebagai pengemban risalah Islam yang menuntut dunia berada dalam ikatan akidah Islam, bukan nasionalisme bahkan diharamkan. Ini satu hal, hal yang lain konsep kekuasan sentralisasi dengan administrasi terdesentralisasi meniscayakan segera terwujudnya sinkronisasi berbagai tindakan nonfarmasi, khususnya penguncian (syar’i lockdown ) di berbagai penjuru dunia.
Di saat yang bersamaan dukungan ril datang dari hasil penerapan sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam berikut sistem politik Islam. Seperti kesiapan ekonomi, dan kapasitas finansial yang memadai dari anggaran berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Bahkan, kesiapan mental, fisik dan psikis penguasa berikut aparat negara maupun rakyat. Demikian pula Sumber daya Daya Manusia Kesehatan seperti dokter dan tenaga medis lain melalui penerapan sistem pendidikan Khilafah. Pun, riset serta teknologi terkini, juga dukungan logistik bagi pemenuhan hajat asasiyah publik. Kesiapan ini tidak saja memadai bagi rakyat negara Khilafah, namun juga rakyat negara lain yang membutuhkan.
Hasilnya, dengan izin Allah Azza wa Jalla di bawah naungan Khilafah pembebasan pandemi Covid-19, benar-benar faktual. Inilah di antara dedikasi Khilafah, sang pewujud rahmatan lil ‘aalamiin yang akan dipersembahkan pada dunia (termasuk Indonesia) di abad ini. Sebagaimana ditegaskan Allah Azza wa Jalla “…Dan tidaklah Kami mengutus engkau ya Muhammad melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (T QS Al Anbiya[21]:107).[]