Kapitalisasi Pendidikan di Balik Penetapan Perguruan Tinggi Berbadan Hukum

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Salamatul Fitri (Aktivis Dakwah Kampus)

Universitas Jambi (UNJA) merupakan salah satu universitas negeri dan terbesar di Jambi. UNJA baru melaksanakan pemilihan rektor dan calon rektor terpilih adalah Prof Sutrisno. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menargetkan kepada calon rektor terpilih untuk menjadikan UNJA sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukun (PTNBH). (m.antaranews.com, 8/01/2020).

Hal tersebut disambut baik oleh calon rektor terpilih, Prof Sutrisno mengatakan akan menjalankan tugas sebagai rektor UNJA sesuai dengan arahan Kemendikbud. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa rektor baru UNJA berupaya mencapai target sesuai arahan Kemendikbud, menjadikan UNJA sebagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum sehingga akan mandiri dalam segala bidang termasuk keuangan. Jika tercapai akan menjadikan mahasiswa lebih terbebani dengan pembiayaan seluruh kegiatan kampus, bisa jadi Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang selama ini memberatkan mahasiswa akan dinaikkan. Mahasiswa tidak hanya terbebani dengan jadwal kuliah yang padat, tugas yang menumpuk hingga biaya kuliah yang tinggi. Ironi sistem pendidikan negeri ini.

Apa itu Peguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum
Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH) adalah salah satu konsep penyelenggaraan perguruan tinggi selain Satuan Kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU), dimana konsep ini membuat perguruan tinggi negeri (PTN) mempunyai otonomi lebih untuk mengatur dirinya dan kampus memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan rumah tangganya. Dalam pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum disebutkan pengertian perguruan tinggi negeri berbadan hukum adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan pemerintah dan berstatus sebagai badan hukum publik yang otonom.

Perubahan status PTN menjadi BH (berbadan hukum) membuat kampus lebih mandiri terutama dalam pembiayaan operasionalnya. Kampus akan berupaya memutar otak menutupi kekurangan dana sehingga menempuh berbagai cara salah satunya menaikkan uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswanya. Mengapa bisa terjadi? Karena perubahan status PTN dari sebelumnya BLU (Badan Layanan Umum) menjadikan DIKTI (Direktorat Pendidikan Tinggi) memangkas dana yang diberikan ke kampus. Mau tidak mau kampus berupaya mencari dana tambahan dengan menaikan uang kuliah yang wajib dibayarkan mahasiswa setiap semesternya yang katanya akan digunakan untuk membiayai operasional kampus termasuk kegiatan mahasiswa.

Semenjak diberlakukan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Perguruan Tinggi Negeri harus merubah statusnya menjadi PTNBH. Saat ini sudah ada 11 perguruan tinggi negeri berbadan hukum di Indonesia yaitu, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Hasanuddin (UNHAS) dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Universitas Jambi saat ini merupakan PTNBLU diupayakan akan menjadi PTNBH berikutnya sesuai arahan kemendikbud sehingga UNJA akan terus berbenah guna menunjang kualifikasi agar sah berstatus PTNBH.

Kapitalisasi Pendidikan di Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi Negeri yang berubah status menjadi PTNBH akan memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan kampus. Salah satunya dirasakan mahasiswa dengan melambungnya biaya pendidikan, selain itu akan banyak mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi. Mengapa demikian? Semakin banyak mahasiswa yang diterima maka pendapatan semakin meningkat.

Berdasarkan Permenristekdikti Nomor 39 tahun 2017 pasal 8 tentang BKT dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dijelaskan bahwa kampus tidak boleh menarik uang pangkal kepada mahasiswa namun dalam pasal 10 dikatakan bahwa kampus dapat memungut diluar ketentuan uang kuliah tunggal dari mahasiswa baru program sarjana dan diploma paling banyak 20 persen dari jumlah mahasiswa baru. Dapat disimpulkan bahwa kampus tidak dilarang untuk mengambil pungutan selain UKT kepada mahasiswa. Jelas inilah kapitalisasi pendidikan di perguruan tinggi, semua aktivitas perkuliahan diuangkan sehingga memberikan keuntungan pendapatan bagi pihak kampus.

Dalam proses pembelajaran juga akan berubah karena pengajaran diutamakan dengan sistem tugas. Maka bisa dibayangkan kampus yang harusnya mencetak mahasiswa yang kritis malah mencetak generasi pekerja ibarat robot yang disiapkan untuk kepentingan-kepentingan pihak yang menyetir laju keuangan.

Kemandirian kampus dalam mencari dan mengelola dananya sendiri memberikan peluang besar bagi swasta masuk demi membiayai operasional di dalamnya. Ujung-ujungnya kita akan melihat kampus dimasuki oleh korporasi dengan bantuan finansialnya. Ketika korporasi masuk kampus maka tidak ada yang gratis kucuran dana yang diberikan pasti akan diminta timbal baliknya dalam bentuk kerjasama riset, publikasi ilmiah dan lain sebagainya. Akhirnya civitas akademika kampus akan berinovasi demi memenuhi tuntutan riset yang diinginkan. Keintelektualan mereka akan tergadai dan terkomersialisasi.

Adanya otonomi kampus sejatinya melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan tinggi. Pemerintah harusnya mengambil peran memajukan kualitas kampus, memberikan sumbangsih dana yang memadai guna mencapai target yang diinginkan. Justru sebaliknya kampus didorong berinovasi dan mandiri mengembangkan dirinya tanpa bantuan dan dukungan pemerintah. Ironi memang, menginginkan target yang dicapai tapi abai dalam proses sehingga hanya hasil yang menjadi tujuan. Tahun 2019 Universitas Jambi (UNJA) juga tidak luput dari upaya perbaikan sarana dan prasarana guna mendukung program kemenristek dikti. Dikutip dari Tribun Jambi, Universitas Jambi mendapat kucuran dana 1,3 Triliun dari Asian Development Bank (ADB). Dana tersebut digunakan untuk penambahan fasilitas dan pembangunan gedung-gedung di dalam kawasan Universitas Jambi.

Begitulah penguasa dalam sistem kapitalis-demokrasi, mereka melepaskan tanggung jawabnya mengurus negeri menyerahkan pengelolaan dan pembiayaan kepada korporasi. Karena itu kampus menjadi peluang bagi korporasi menguasai intelektual negeri. Riset dan publikasi bukan untuk kemajuan negeri tetapi untuk kemajuan barat yang disetir korporasi. Masihkah berharap dengan sistem ini?

Pendidikan Dalam Islam
Islam memandang bahwa pendidikan merupakan perkara penting yang harus disediakan dan difasilitasi oleh negara bersama kesehatan dan keamanan. Negara akan berkonsentrasi penuh untuk memenuhi kualitas pendidikan terbaik bagi rakyatnya dan diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Begitulah jika penguasa memahami perannya sebagai pengurus rakyat sehingga akan amanah dalam tugasnya, sebagaimana tampak dari tutur Rasulullah saw melalui lisannya yang mulia, yang artinya, “..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari).

Islam bukan hanya menjamin terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan tetapi islam juga mewajibkan setiap rakyatnya menuntut ilmu mulai dari tingkat dasar hingga universitas dan memberikan layanan nomor wahid kepada rakyatnya dalam bidang pendidikan. Mulai dari sekolah, universitas, perpustakaan, laboratorium, tenaga pengajar hingga pembiayaan riset guna menunjang kemajuan negara.

Pada masa keemasan islam, masa Abasiyah Al-Kuttab (sekolah dasar) banyak didirikan oleh Khalifah menyatu dengan masjid. Disana juga dibangun perpustakaan serta Pendidikan Tinggi pertama pada masa itu adalah Bait Al-Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Al-Ma’mun (830 M) di Baghdad. Universitas tersebut berfungsi sebagai pusat penterjemahan, pusat akademis, perpustakaan umum dan observatorium. Setelah itu, baru muncul Akademi Nidzamiyah yang dibangun antara tahun 1065-1067 M. Akademi tersebut kemudian dijadikan Eropa sebagai model perguruan tinggi mereka.

Pendidikan tinggi era kekhilafahan islam telah melahirkan ilmuwan muslim yang ahli dalam bidangnya masing-masing, seperti Ibnu Sina ahli dalam bidang kedokteran, Jabir bin Hayyan dalam bidang kimia, Ibnu Haitsam dalam bidang optik, matematika dan arsitektur, Ibnu Batutah dalam bidang geografi, Ibnu Atsir ahli sejarah, Maryam Al-Astrulabi pakar astrolube dan masih banyak yang lain. Hasilnya, pendidikan berkualitas bahkan terbaik sehingga melahirkan perguruan tinggi kelas dunia di masanya seperti Cordoba, Baghdad, Damaskus, Iskandariah dan Kairo.

Fakta sejarah keemasan islam tersebut membuktikan bahwa kualitas output pendidikan yang dihasilkan pada masa pemerintahan islam telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan nomor wahid seperti itu diberikan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh rakyatnya. Oleh sebab itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem khilafah bukanlah isapan jempol semata.

Pendidikan gratis dan bermutu diwujudkan oleh Khilafah karena mempunyai sumber pendapatan yang besar. Kekayaan alam milik negara dan umum (air, api, padang rumput) dikelola langsung oleh negara dan hasilnya didistribusikan kepada rakyat melalui pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Pembiayaan dan pembangunan infrastruktur menjadi fokus khalifah guna menunjang pendidikan kelas wahid bagi rakyatnya. Semua rakyat berhak mendapatkan fasilitas pendidikan terbaik tanpa memandang latar belakang dan ekonominya, semua sama dihadapan negara.

Berbeda dengan sistem kapitalis-demokrasi yang menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta sehingga negara hanya mendapat sisanya saja. Karena itu, negara sulit membiayai pendidikan terutama pendidikan tinggi karena tidak mempunyai dana yang memadai. Akhirnya menyerahkan pembiayaan kepada korporasi dan semakin nyata penjajahan di negeri ini.

Begitulah cara islam melalui institusi negaranya yakni Khilafah Islamiyah merealisasikan pendidikan gratis dan bermutu bagi rakyatnya. Semuanya tidak akan terwujud jika tidak adanya penerapan syariah dalam bingkai khilafah. Maka menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan tegaknya sistem islam guna mengembalikan fungsi pendidikan tinggi yang mencetak intelektual berbudi pekerti dan tunduk pada ilahi. Sudah saatnya mencampakkan sistem kapitalis-demokrasi yang usang dengan sistem islam yang dinaungi cahaya ilahi. Wallahu’alam bisshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *