Kapitalisasi Bandara, Untung atau Buntung?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rini Juriah

 

Bandara paling modern di kota Medan, Kualanamu yang sempat disebut-sebut sebagai salah satu bandara yang setara dengan bandara Changi di Singapura kini pengelolaannya jatuh ke tangan asing.

PT Angkasa Pura II (Persero) atau AP II mengumumkan bahwa GMR Airports Consortium telah terpilih sebagai mitra strategis untuk mengembangkan Bandara Kualanamu. Kerja sama ini akan mengelola Kualanamu selama 25 tahun dan semua biaya pembangunan ditanggung dengan sistem build of take (BOT).

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam pernyataannya yang dikutip di Jakarta, Jumat, menyebutkan negara untung dari aksi yang dilakukan oleh anak usaha PT Angkasa Pura II tersebut. Pasalnya masuknya GMR sebagai pemegang saham di joint venture company (JVCo) yakni PT Angkasa Pura Aviasi, membuat Angkasa Pura II tidak perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 58 triliun untuk pengembangan Bandara Kualanamu, karena proyek pembangunan bandara justru ditanggung oleh mitra. Antara, Jumat (26/11).

Pemberdayaan Aset Negara Untuk Siapa?

Menjual aset negara, walaupun dengan skema “cerdas” penjualan piutang berjangka dan bertujuan agar dana bisa digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur, pasti menimbulkan berbagai pertanyaan menyangkut kedaulatan ekonomi dan strategi pengelolaan keuangan negara.

Mengapa opsinya ‘menjual’ aset-aset strategis? Bukankah dalam hal pengelolaan pelabuhan peti kemas/regular dan bandara, anak bangsa sudah bisa melakukannya dengan baik? Kalaupun belum, bukankah seharusnya manajemen BUMN dan pemerintah yang bertanggungjawab dalam menjadikan anak bangsa itu mampu mengelola setiap aset-aset nasional? Kondisi keuangan negara memang sulit memenuhi ambisi membangun infrastruktur, tetapi apakah pilihan ‘menjual’ sekian banyak aset nasional adalah pilihan bijak? Tidak bisakah manajemen BUMN dirangsang untuk membuat aset itu jadi menguntungkan.

Harus diingat, tujuan didirikannya BUMN selain mengejar keuntungan, juga menyelenggarakan penyediaan barang/jasa bermutu bagi hajat hidup orang banyak.  Dengan adanya dua tujuan pokok pendirian BUMN di atas, maka layak dipertanyakan, apakah sebanding dana yang didapat dari penjualan aset-aset nasional dengan manfaat yang diperoleh bagi penerimaan negara dan peningkatan kapasitas SDM lokal, jika pengelolaan bandara, pelabuhan dan jalan tol “digeber” untuk dikelola secara profesional dan menguntungkan? Mengapa harus ke pihak asing, sementara kemanfaatan bagi pengembangan ekonomi rakyat belum tentu terjamin?

Negara Wajib Lindungi Aset Negara

Dalam kitab Al-Amwali fi Dawlah al-Khilafah karya al-‘Allamah Syekh ‘Abd al Qadim Zallum dijelaskan ada tiga strategi yang bisa dilakukan negara untuk membiayai infrastruktur. Pertama, meminjam kepada negara asing, termasuk lembaga keuangan global. Kedua, memptoreksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang. Ketiga,  mengambil pajak dari rakyat.

Mengenai pinjaman negara asing atau lembaga keuangan global ini jelas keliru dan menyalahi syariat. Pertama, karena utang pastinya disertai bunga. Padahal utang yang disertai bunga hukumnya haram karena termasuk riba. Kedua, utang yang diberikan umumnya disertai berbagai syarat mengikat sehingga cenderung menjadikan negari kaum Muslim dibawah cengkraman kaum kafir. Karena itu khalifah haram menggunakan strategi ini untuk membiayai infrastruktur.

Mengenai strategi kedua yaitu proteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang maka khalifah bisa menetapkan pengeluaran tersebut baik untuk kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu dan melakukan pengeluaran khusus untuk membiayai infrastruktur. Dasar kebolehan khalifah mengambil strategi ini adalah ketika Rasulullah SAW menjabat sebagai kepala negara juga para khalifah setelah beliau, pernah memproteksi tempat-tempat tertentu yang merupakan kepemilikan umum. “Tidak ada hak untuk memproteksi kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud)

Negara berhak memproteksi dan dikhususkan untuk pembiayaan jihad, fakir, miskin dan seluruh kemaslahatan umat. Dalam QS. Al-Hasyr: 6-10 mengenai fai’, terdapat perintah untuk memiliki sumber pendapatan tetap dan terus-menerus sehingga dapat digunakan untuk membiayai kepentingan negara, pasukan, kebutuhan fakir, miskin, anak yatim, janda dan sebagainya.

Ketiga, yaitu mengambil pajak dari kaum muslim untuk membiayai infrastruktur. Strategi ini hanya boleh dilakukan ketika Baitul Mal sedang kosong. Itupun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital serta hanya diambil dari kaum Muslim, laki-laki dan mampu.

Sesungguhnya Syariat Islam telah memberikan solusi terbaik untuk mengatur kehidupan tidak hanya pada tataran individu tapi juga sempurna pada pengaturan masyarakat dan negara. Masihkah kita ragu meraih kebaikan dengan menerapkannya?

Wallahu’alam bisshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *