Oleh : Arrasy Nur Illahi (Aktivis Mahasiswi IKIP Siliwangi)
Presiden Joko Widodo Mengumumkan akan merilis new normal life (7/5/2020), melalui akun resmi media sosial Twitter @jokowi, dinyatakan, “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.”
Bahkan, pemerintah Indonesia telah melangkah jauh dengan mengeluarkan skenario dan timeline bagi konsep “new normal”.
Kemudian Kementerian perekonomian mengeluarkan skenario “hidup normal” atau “new normal” dengan timeline pemulihan ekonomi nasional usai pandemi Covid-19.
Skenario ini dibuat mulai awal Juni mendatang.
Dalam timeline tersebut dirumuskan lima fase atau tahapan yang dimulai tanggal 1, 8, 15 Juni, dan 6, 20, 27 Juli 2020.
Adapun fase itu akan diikuti dengan kegiatan membuka berbagai sektor industri, jasa bisnis, toko, pasar, mal, sektor kebudayaan, sektor pendidikan, aktivitas sehari-hari di luar rumah.
Adapun kita ketahui new normal adalah gaya hidup baru dimana masyarakat dianjurkan hidup berdampingan dengan covid 19.
PBB telah mencanangkan konsep “new normal” sebagai formula dan peta jalan bagi solusi persoalan dunia hari ini.
Dimuat dalam lamannya melalui artikel tertanggal 27 April 2020 bertajuk “A New Normal: UN lays out roadmap to lift economies and save jobs after Covid-19” (New Normal: Peta jalan yang diletakkan PBB bagi peningkatan ekonomi dan penyelamatan lapangan pekerjaan setelah Covid-19).
Hal yang diungkap oleh PBB berpengaruh kepada kebijakan di Indonesia, sebagai negara pengekor sekaligus menjadi target penting penjajahan Barat.
Hal ini semakin membuktikan bahwa Indonesia hanya mengikuti tren global dan belum mandiri terhadap kebijakan dalam negeri, new normal hanya ada di sistem kapitalis ini yang lebih mementingkan keuntungan tanpa peduli apa yang dibutuhkan rakyat.
New normal ini diagendakan karena para pengusaha di masa pandemi mulai carut marut dan rugi besar karena penghasilan berkurang akibat lockdown.
Untuk itu tak heran alasan pemerintah Indonesia merilis hal ini demi memulihkan perekonomian Indonesia yang mulai goncang.
Namun hal ini bisa saja berdampak ke masyarakat karena kurva penularan pandemi masih meningkat dan tidak dijaminnya dalam protokol kesehatan dan kebutuhan hidup rakyat. Pandemi ini bisa jadi semakin membesar dan akan semakin lama kita berada dalam situasi ini.
Hal ini Seharusnya tidak dilakukan seperti yang telah di ucapkan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari.
Menurut Hermawan hal ini Terlalu dini, wacana new normal ini membuat persepsi masyarakat seolah-olah telah melewati puncak pandemi Covid-19, namun kenyataan belum dan perlu persiapan.
Adapun Islam Memandang jika ada suatu wabah maka di anjurkan untuk lockdown apalagi dalam hal ini sudah menjadi pandemi artinya virus sudah menyebar ke penjuru dunia.
Hal ini juga pernah terjadi pada masa Kekhilafahan Islam wabah Tha’un (sejenis penyakit kolera) saat dipimpin oleh Umar bin Khaththab. Beliau tidak memberikan keputusan sendiri melainkan meminta pendapat dari para pakar dan orang-orang yang berilmu berkaitan dengan wabah ini.
Amr bin Ash, seseorang yang terkenal cerdik dalam mengatasi masalah-masalah rumit, mulai melakukan analisis terkait wabah ini. Dia menyimpulkan bahwa penyakit ini menular saat orang-orang berkumpul sehingga rekomendasi yang diberikan adalah dengan melakukan karantina kepada masyarakat.
Masing-masing diperintahkan untuk berpisah, ada yang ke gunung, ada yang ke lembah, dan ke tempat-tempat lainnya. Hasilnya hanya berselang beberapa hari, jumlah orang yang terkena wabah ini mulai sedikit dan wabah pun lenyap.
Dalam islam situasi penyebaran virus tidak akan menjadi pandemi. Karena islam dapat mengatasinya sebelum penyebaran virus meluas dan kebutuhan hidup, jaminan kesehatan pun sudah terpenuhi. Alhasil tidak butuh waktu berlama-lama dalam penanganan virus menular.