Kampanye Liberal di Balik Serangan Terhadap Pembiasaan Hijab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Farida Nur Rahma, M.Pd. (Dosen Komisi Penyiaran Islam STIBA Ar Raayah)

 

Pada Jumat, 25 September 2020, Deutch Well (DW) Indonesia membagikan postingan video “Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?” Adapun opini yang dibangun dalam video tersebut adalah dampak psikologis berupa kebingungan pada anak yang dipakaikan jilbab tanpa dia paham konsekuensinya. Kebingungan akan dirinya yang memiliki pandangan dan batas pergaulan yang berbeda dengan teman-temannya. Opini ini dikuatkan oleh feminis muslim, Darol Mahmada. Dia menjelaskan dampak sosial bagi anak yang dipakaikan jilbab tanpa paham adalah terbentuknya pola pikir ekslusif karena sejak kecil ditanamkan hal “berbeda” dari anak lain.

Posting-an DW ini menuai kritikan netizen termasuk anggota DPR Fadli Zon. Liputan DW bagi Fadli Zon adalah sentiment “Islamofobia” dan memalukan. Kritikan lebih pedas dilontarkan netizen. Pada dasarnya netizen mengingatkan DW bahwa memakaikan jilbab adalah bagian dari bimbingan agama orangtua kepada anaknya sehingga tidak perlu dimasalahkan. Jika memakaikan jilbab dipermasalahkan, bisa jadi menyuruh anak shalat juga dipermasalahankan bahkan bersikap sopan kepada orangtua juga dipermasalahkan. Salah satu netizen sudah bisa mencium aroma liberalisme yang berusaha ditebar DW.

Jika ditelusuri ke dalam website dw.com/id/ maka kita akan menemukan bahwa opini mereka tentang hijab pada tanggal 25 September bukanlah yang pertama kali. Pada tanggal 21 September 2020 dalam segmen “Mukalama” mereka mengangkat cerita muslimah yang melepaskan hijabnya, yaitu kisah Maryam Lee memilih melepas hijab karena pilihan hati. Ingin terlepas dari aturan konservatif yang patriarki. Bagi Maryam,, tidak berhijab tidak mengurangi keimanan dan keislaman. Begitupun pada tanggal 25 Januari 2020 dw.com mengangkat tema “ Mengapa Saya Copot Jilbab?”menampilkan tujuh perempuan yang melepaskan jilbabnya dengan alasan menjadi diri sendiri setelah sekian lama dikungkung dalam identitas muslimah yang “dipaksakan”.

Sangat jelas narasi jahat yang ingin dibangun DW adalah kebebasan untuk berperilaku. Sebagaimana DW Indonesia itu sendiri adalah bagian dari perpanjangan tangan DW Jerman. DW Indonesia berkomitmen menjadi forum bagi sudut pandang Jerman yang demokrasi liberal. Hal inipun sangat terlihat dari salah satu misinya yaitu memberi mereka kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri dan informasi yang diperlukan untuk membentuk opini mereka sendiri.

DW tidak sendirian. Bertebaran media, organisasi, dan perkumpulan intelektual yang mendukung liberalisme di Indonesia. Anehnya, serangan demi serangan justru membidik berbagai aturan syariat Islam. Mulai dari peran publik perempuan, hijab sampai hukum pernikahan dan warisan.

Tentunya bagi muslim yang sadar akan serangan tersebut harus berupaya melawan serangan mereka dengan menampakkan motif jahat dibalik serangan. Ulama, mubaligh dan mubalighah harus menjadi tameng terdepan dalam menghalau serangan liberalisme. Media massa muslim harus menjadi corong suara mengungkap kebusukan serangan pemikiran liberalisme sehingga umat sadar dan menentukan sikap.

Ingat, rapot merah liberalisme baru saja kita terima 9 September 2020 dengan penemuan 32.760 janin korban aborsi sebuah klinik selama 3 tahun beroperasi (24/09/2020). Ribuan janin tak bersalah itu hasil dari kebebasan pergaulan pasangan tak bermoral. Hasil dari kebebasan berpikir pasangan asusila. Hasil dari “menjadi diri sendiri” ala liberalisme.

Serangan liberalisme tidak bisa dibendung hanya dengan upaya individu maupun organisasi. Upaya negera memiliki power yang luar biasa. Negara memiliki kekuasaan untuk membubarkan organisasi yang sudah terbukti jelas menebar racun liberalisme. Negara memiliki kekuasaan dalam menghapus atau menghentikan operasional media massa pengusung liberalisme baik cetak maupun elektronik.

Negara memiliki kekuasaan dalam mengusir tokoh manapun yang menjadi corong liberalisme. Semuanya bisa dilakukan negara dengan mudah. Tinggal ada “political will” saja.

Bagi negara yang justru berdiri di atas pilar-pilar kebebasan tentu langkah di atas sangat sulit. Ibarat mengusir saudara kandung dan mengusir roh sendiri. Akan tetapi, bagi negara yang menerapkan syariat Islam, itu bukan soal kemauan tapi soal kewajiban syariat menjaga akal warga negara dari pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Sehingga penangkalan serangan liberalisme tidak akan menunggu sampai ribuan korban jatuh.

Daulah Khilafah atau negara dengan sistem pmerintahan Islamlah yang mampu melakukannya. Karena negara wajib menerapkan syariat Islam kepada warna negaranya. Syariat Islam yang diterapkan akan menjadi filter yang sangat sensitive bagi zat asing macam liberalisme yang memaksa masuk. Alarm peringatan syariat akan segera berbunyi dan khilafah akan segera bertindak. Aamiin.

Wallahu a’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *