Oleh : Fariha Adibah (Aktivis Muslimah, Jember).
Salah satu jurus yang disampaikan menkes untuk menyelesaikan defisit BPJS adalah, mengembalikan pada layanan kesehatan dasar. Kini.. Terawan kembali mengungkapkan, bahwa dia sudah menemukan jurus lain untuk menyelesaikan biang defisit BPJS kesehatan, yang akan disampaikan dalam ratas (rapat terbatas).
Selama ini jurus yang selalu di pakai pemerintah untuk menyelesaikan defisit BPJS kesehatan, adalah menaikkan iuran, meski tidak ada pengaruh yang signifikan. Terbukti sejak dijalankan program JKN th 2014, BPJS kesehatan yang selalu defisit, hingga kini iuranpun kian melangit.
Pemerintah menganggap pemicu defisit adalah klaim yang harus ditanggung BPJS terlalu tinggi tapi tidak diimbangi penerimaan iuran, hingga harus membenahi target kepesertaan dan sistem penagihan, rakyat akan semakin di paksa menjadi peserta BPJS dan siap di tagih jika menunda, atau denda jika tidak membayar.
Meski sudah dilakukan pembenahan kepesertaan dan sistem penagihan, defisit BPJS tidak selesai, kementerian Keuangan memperkirakan tahun 2019 defisit BPJS mencapai Rp 32,8 triliun, hingga Rp 44 triliun tahun 2020 dan Rp 56 triliun pada 2021.
DPR pun memberi usul, untuk menambal defisit BPJS kesehatan dengan Dana Transfer Daerah 1% dari dana daerah, th 2020 nanti. Jakarta, CNBC Indonesia (11/9/2019).
Paradigma Kapitalistik
Bercermin dari realitas negara ini yang semakin terpuruk ekonominya, yang berdampak pada tidak terjangkaunya biaya berbagai kebutuhan rakyat termasuk kesehatan.
Seharusnya negara mulai berpikir, apa penyebab keterpurukan ini?. Ketika akar masalahnya ditemukan, maka akan didapat solusi tepat, bukan solusi-solusi yang sifatnya parsial dan tambal sulam semata.
Biang kerok semua masalah bangsa ini adalah kesalahan pengelolaan negara dengan sistem kapitalis sekuler.
Yang menjadikan negara hanya sebatas regulator, yang sangat minim perannya, karena semua kepengurusan negara, diserahkan swasta. Sehingga pos-pos pemasukan negara yang harusnya diperuntukkan bagi pemenuhan hajat rakyat sangat minim bahkan nyaris tidak ada.
Penguasa di dukung dana dari pemilik kapital, di pilih oleh rakyat untuk menjalankan sistem kapitalis, membuat undang-undang dan peraturan yang meliberalkan ekonomi, akibatnya, rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan individu maupun kebutuhan barsama (kolektif).
Pengelolaan Berbasis Syariah
Dalam pandangan islam hubungan negara dengan rakyat diibaratkan seperti hubungan antara ayah dengan anak. Seorang ayah wajib bertanggung jawab memehuni kebutuhan anaknya. Makan, pakaian, keamanan, kesehatan dll, Semuanya wajib dijamin oleh ayah. Begitulah cara negara memberlakukan rakyatnya.
Kebutuhan pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab atau ri’ayah negara. Hal ini menjadikan rumah sakit, aktivitas pengobatan, dan pemeliharaan kesehatan, merupakan kemaslahatan umat dan fasilitas publik yang gratis tanpa dipungut iuran. Dan menjadi hak warga negara, tanpa memandang status ekonomi (kaya atau miskin).
Jika gratis, tentu butuh dana yang cukup besar, lalu pembiayaannya dari mana ? Maka, politik ekonomi syariah, telah menetapkan untuk pembiayaan kesehatan dari sumber-sumber pendapatan kas baytul maal yang diantaranya adalah kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara, milik umum, dan sebagainya. Sumber daya alam sebagai harta milik umum, seperti tambang, baik tambang emas, nikel, batu bara, baja, besi, minyak bumi, dll, tidak bisa diprivatisasi (Dimiliki atau dikuasai) oleh individu, swasta maupun asing.
Dari semua sumber pendapatan ini, maka negara mampu menjamin semua kebutuhan dasar masyarakat termasuk kebutuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan. Negara hanya wajib mengelola kekayaan tersebut dan hasilnya didistribusikan kepada rakyat secara merata.
Untuk menghadirkan solusi tuntas tersebut maka, harus di mulai dari mind set seorang pemimpin yang memihak kepada rakyat, yang orientasi kepemimpinannya adalah menjadi pelayan rakyat.
Pemimpin tersebut adalah seorang kholifah, yang akan menjalankan politik islam, yang setiap keputusan politiknya wajib berdasarkan dalil syara’, yaitu mengurus seluruh layanan publik baik di dalam dan luar negeri di urus dengan paradigma ri’ayah (pelayan rakyat) bukan paradigma kapitalistik.
Maka seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan seperti, menepati janji, mampu melaksanakan tugas, bertanggung jawab menjaga kedaulatan dan kemandirian negara.
Secara personal dia juga seorang yang kuat pribadinya, bertaqwa dan cinta rakyat, memiliki tanggung jawab umum, seperti, memberi nasehat taqwa kepada rakyatnya, tidak mengambil hak rakyat, menerapkan syariat islam secara kaffah.
Sifat pemimpin seperti ini hanya ada dalam sistem islam. Jadi, ketika kita ingin hajat hidup seluruh rakyat kembali terpenuhi oleh negara, maka tinggalkan sistem kapitalis liberal yang terbukti menyengsarakan rakyat. Kembalikan tugas kepengurusan rakyat hanya kepada negara, sebagaimana Islam mengatur secara detail mekanismenya.
Sesungguhnya mahalnya layanan publik termasuk didalamnya kesehatan itu, karena layanan tersebut dikelola BPJS, sebagai sebuah perusahaan yang pastinya, basis pengelolaannya menggunakan manajemen perusahaan.
Maka tidak ada jurus ampuh, sebagai jalan keluar terbaik kecuali kembali kepada model pengelolaan negara berbasis syariah islam. Umar bi Khothob pernah berkata : ” kita dulu terhina, kemudian Allah muliakan dengan islam. Jika kita berharap mulia dengan selain islam, maka Allah akan hinakan kita”.
Allahu a’lam bishowab.