Jilbab identitas seorang wanita Muslimah berupa hadiah dari Allah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nur Azizah (Penulis & Aktivis Muslimah Jakarta Utara)

Indonesia kembali dihebohkan dengan berita yang baru-baru ini menyeruak di tengah-tengah umat, terutama umat Muslim.

Seperti berita yang dilansir oleh TEMPO.CO, Jakarta – Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan bahwa perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab. Ia pun menyadari bahwa masih banyak orang yang keliru mengenai kata jilbab dan hijab.

Ia mengakui bahwa hijab tidak sama pengertiannya dengan jilbab. “Hijab itu pembatas dari bahan-bahan yang keras seperti kayu, kalau jilbab bahan-bahan yang tipis seperti kain untuk menutup,” kata Sinta di YouTube channel Deddy Corbuzier pada Rabu, 15 Januari 2020.

Selama ini ia berusaha mengartikan ayat-ayat Al Quran secara kontekstual bukan tekstual. Sinta juga mengakui bahwa kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Al Quran karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi.

Pernyataan yang mengejutkan bukan? Tentunya pernyataan itu bukanlah tanpa makna yang menyertainya, sedikitnya ada tiga makna, yakni:

Pertama, kedustaan yang nyata dilontarkan bahwa jilbab bukanlah perkara yang tertulis di dalam al-qur’an. Tentu ini menyerong dari apa yang sudah dijelaskan dalam al-qur’an. Padahal istilah “jilbab” dalam Alquran terdapat kata tersebut sekalipun dalam bentuk pluralnya dengan bahasa arab yaitu “jalaabiib”.

Ayat Alquran yang menyebut kata “jalaabiib” adalah firman Allah Swt. Yang (artinya),”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” dan dalam (Arab : yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59).

Imam Al Qurthubi mengatakan, “Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Sedangkan Imam Ibnu Katsir menyebutkan, “Jilbab adalah rida‘ (selendang untuk menutupi bagian atas) yang dipakai di atas khimar. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakha’i, Atha’ Al Khurasani, dan selain mereka.” (Tafsir Ibni Katsir, 6/481).
Makna dari kata Jilbab yang disampaikan kedua ulama tersebut dapat dikatakan bahwa di al-qur’an memerintahkan setiap perempuan yang menyandang agama Islam wajib menggunakan jilbab, yakni kain yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Kedua, mencerminkan sikap yang lancang kepada ulama terdahulu. Padahal sudah jelas perintah jilbab tidak pernah ada yang menentangnya sekalipun itu madzhab terkuat yang banyak mengikutinya.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. disebutkan bahwa, Asma’ binti Abu Bakar pernah masuk ke ruangan Nabi saw. dengan mengenakan pakaian tipis (transparan). Nabi saw. lantas berpaling seraya bersabda:

Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah balig (mengalami haid), tidak pantas untuk menampakkan tubuhnya, kecuali ini dan ini.

Artinya, Rasulullah saw. menganggap bahwa kain tipis bukan merupakan penutup aurat, malah dianggap sebagai penyingkap aurat. Oleh karena itulah, Nabi saw. kemudian berpaling seraya memerintahkan Asma’ untuk menutupi auratnya, yaitu dengan mengenakan pakaian yang dapat menutupi auratnya.

Dalil tentang persoalan ini juga terdapat dalam Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Usamah. Disebutkan bahwa, ia pernah ditanya oleh Nabi saw. tentang kain tipis (alqabthiyah). Usmah menjawab bahwa ia telah mengenakannya kepada istrinya. Mendengar itu, Rasulullah saw. kemudian bersabda kepadanya:

Suruhlah istrimu untuk mengenakan kain tipis (ghillah) lagi di bagian dalamnya, karena sesungguhnya aku khawatir kalau sampai lekuk tubuhnya tampak.
Dan dijelaskan dengan tegas dengan firman Allah
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya,” (QS. An Nur: 31).

Maksud dari ‘yang biasa nampak dari padanya’ adalah wajah dan telapak tangan, maka jelas bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan, yang artinya itu wajib bagi muslimah untuk menggunakan ‘Jilbab’. Selain perintah, tentu sebagai identitas seorang Muslimah.

Ketiga, pernyatan tersebut tentu mengundang stigma buruk dan pendapat yang buruk terkait dengan metode penafsiran ayat Al-qur’an. Maka dari itu untuk memahami hukum yang terkandung dalam al-qur’an tidak cukup dengan sekadar mengetahui arti kata dengan bahasa Indonesia. Juga tidak bisa hanya melihat konteksnya.

Dibutuhkan pemahaman yang mendalam dan harus komprehensif untuk menghasilkan ketetapan hukum yang sesuai dengan tuntutan pembuat hukum, dialah Allah Azza wa Jalla yang mewahyukan al-qur’an.
Sebab menafsirkan al-qur’an tidak boleh sembarangan, dan diperlukan kemampuan khusus yang hanya dimiliki oleh ulama yang berkompeten di bidang tafsir.

Di antara syarat yang harus dimiliki adalah seperti disampaikan Imam al-Zarkasyi ketika beliau memaknai istilah tafsir, yakni: “Pengetahuan yang digunakan untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad, pengetahuan tentang makna-maknanya, tentang bagaimana mengeluarkan hukum dan hikmah di dalamnya. Caranya dengan memahami ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Bayan, Ushul Fiqh, Ilmu Qiraat, Ilmu Asbabun Nuzul, dan Nasikh dan Mansukh.”

Kewajiban bagi umat muslimlah untuk menyampaikan aturan-aturan yang sudah Allah tetapkan. Maka dari itu hendaklah umat muslim berhati-hati terhadap upaya-upaya yang akan menjauhkan umat dari keterikatan terhadap syariat islam. Salah satu makar mereka yaitu dimulai dengan mengotak-atik nas-nas syariat dan ditafsirkan dengan metode yang salah, tidak mengikuti kaidah yang sudah disepakati para ulama.

Semoga kita semua senantiasa dilindungi Allah dari makar yang dibuat mereka, dijauhkan dari segala terjangan ombak yag mencoba meluluh lantakkan tiang keimanan kaum muslim. Serta ditunjukkan-Nya pada jalan yang telah dicontohkan Baginda Nabi Rasulullah ﷺ, para sahabat serta para ulama yang mengikuti minhajnya. Aamiin..

Wallahu a’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *