Jerit Buruh di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Ghina Citra Diany Amd, Keb
(Bidan Swasta)

Ada 13.000 buruh yang saat ini menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari tempat kerjanya. Mereka umumnya korban PHK atau dirumahkan dari pabrik tekstil. Buruh yang menjadi korban PHK dan dirumahkan akibat pandemi Covid-19 Kabupaten Bandung perlu mendapat bantuan, sebab banyak di antara mereka yang sudah tidak bisa membeli kebutuhan pokok. (Zonapriangan.pikiran-rakyat.com.,Selasa, 04/08/2020)

Para korban PHK itu tak hanya dari kalangan buruh pria, perempuan juga terbilang banyak dan mereka kebanyakan menjadi tulang punggung keluarganya untuk kebutuhan sehari-hari. Di antara yang mereka perjuangkan, adalah uang pesangon setelah mereka di PHK. Kalaupun status mereka dirumahkan, harusnya tetap mendapatkan haknya karena masih ada hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan. Bahkan yang lebih memprihatikan, setelah bulan ini mereka menjadi korban PHK maupun dirumahkan, banyak yang sudah tidak bisa membayar kontrakan.

Pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang semakin meningkat jumlahnya. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan kebijakan work from home (WFH) sebagai bentuk pencegahan meluasnya virus corona. Sayangnya, stimulus yang dilakukan pemerintah berupa kartu pra kerja khususnya bagi pekerja yang di PHK belum mampu menjangkau seluruh pekerja dan memenuhi kebutuhan pekerja selama terjadinya pandemi ini.

Namun demikian, ketidakseimbangan antara banyaknya kuota pencari kerja dan korban PHK tentu tidak mencukupi. Apalagi ini belum termasuk jumlah pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi. Artinya stimulus yang dilakukan pemerintah berupa kartu pra kerja belum mampu menjangkau seluruh pekerja yang menjadi sasaran program kartu pra-kerja tersebut.

Jika ditelisik lebih jauh, bertambahnya jumlah orang miskin di masa pandemi tidak hanya disebabkan karena wabah yang menghentikan nyaris sebagian besar aktivitas ekonomi global, juga karena sistem ekonomi yang diterapkan saat ini adalah pangkal dari segala problem ekonomi. Sebuah sistem yang berpijak pada prinsip ribawi dan berorientasi pada ekonomi non-riil nyatanya tak mampu bertahan di tengah pandemi.

Selain itu, negara yang tidak menjalankan fungsinya sebagai pelayan dan pengurus rakyat turut memperparah kondisi ini. Meski pemerintah mengucurkan sejumlah bantuan sebagai skenario menyelesaikan masalah ekonomi rakyat, tetap tak mampu menghadang wabah baru kemiskinan yang menyebar secara global termasuk di Indonesia, khususnya masalah PHK yang terjadi secara besar-besaran.

Upah minimum yang diberikan kepada para buruh pun tidak menjamin bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan kenaikan bahan pokok dan meroketnya harga-harga kebutuhan hidup menjadikan kaum buruh tetap hidup susah. Inilah rusaknya negeri kapitalis. Tak berpihak pada rakyat di negeri sendiri. Selama sistem kapitalis neoliberalisme yang diemban dan diusung di negeri ini, kaum buruh nasibnya akan terus terjajah.

Para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Sungguh, inilah bentuk kelicikan wajah kapitalis yang mencekik negeri
melalui jalur ekonomi. Dan yang pasti, pihak penguasa adalah pihak yang paling diuntungkan nomor dua setelah para kapitalis pemilik modal. Sedangkan rakyat hanya menjadi pengais dari remah-remah keuntungan yang sudah diperoleh keduanya. Penguasa lebih berperan sebagai kran bagi kapitalis, lapangan kerja bukan lagi menjadi tanggungjawab negara. Ini menjadi kenyataan pahit bagi rakyat di bawah kepemimpinan demokrasi sekuler sebagai buah diterapkannya ideologi kufur bernama kapitalisme.

Kondisi buruk tersebut akan terus berlanjut saat umat tak mengambil solusi sahih dan solutif dalam aturan syariat. Islam dan aturannya adalah bukti faktual yang mampu memberikan jalan keluar atas berbagai problematika masyarakat. Bukan saja masalah individu, masyarakat tapi juga pemerintahan. Dari mulai akidah, ibadah, hingga ekonomi serta politik telah tertuang solusinya dalam A-lQur’an dan As-Sunnah.

Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap pekerja. Buruh yang bekerja serta mendapatkan penghasilan dengan tenaganya sendiri wajib dihormati. Karena dalam perspektif Islam, bekerja merupakan kewajiban mulia bagi setiap manusia agar dapat hidup layak dan terhormat.

Rasulullah saw. pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata, “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Tolok ukur pekerjaan dalam Islam adalah kualitas dari hasil kerja tersebut, maka buruh yang baik adalah buruh yang meningkatkan kualitas kerjanya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Dan masing-masing orang memperoleh derajatnya dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. al-An’am: 132)

Mengingat pentingnya kualitas kerja ini, Rasulullah saw. menyatakan dalam satu hadis: “Sesungguhnya Allah senang bila salah seorang dari kamu meninggikan kualitas kerjanya.” (HR. Baihaqi)

Di dalam Islam, negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap anggota masyarakat, seperti sandang, pangan, dan papan. Negara juga diharuskan memberi jaminan terpenuhinya tiga kebutuhan pokok kolektif masyarakat yakni kesehatan, keamanan, dan pendidikan.

Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok dan kebutuhan pokok kolektif oleh negara menjadikan para buruh tidak lagi menggantungkan biaya-biaya untuk kebutuhan pokoknya dari gaji. Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini, dimana gaji dari seorang buruh digunakan untuk membiayai kebutuhan makan sehari-hari, kebutuhan pendidikan, kesehatan, ataupun kebutuhan lainnya,

Di dalam Islam pun diatur hubungan antara pekerja dengan pemilik usaha (akad kerja) dilihat juga halal, haram, sah atau tidaknya. Jika akadnya sudah sesuai syariah, jumlah gajinya disepakati, maka muamalah bisa dilangsungkan antara kedua belah pihak.

Tidak hanya sampai di situ, negara juga wajib memberikan fasilitas pendidikan dan pelatihan agar para karyawan memiliki skill (keterampilan) dan kapasitas yang memadai sesuai kebutuhan dunia kerja. Selain itu, Negara juga berperan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat atau membantu memfasilitasi masyarakat agar bisa membuka usaha khususnya di masa pandemi saat ini.

Oleh sebab itu mengharapkan perubahan hakiki dalam semua lini kehidupan rakyat tak bisa bergantung pada ideologi dan aturan kufur semisal demokrasi kapitalis. Sudah saatnya kezaliman dan kelicikan paham tersebut dicampakkan kemudian bersegera mengambil kembali aturan-aturan Sang Maha Pencipta langit dan bumi, Allah Swt. Sehingga tidak akan ada lagi ketidakadilan pada kaum buruh dari sisi ekonomi ataupun lainnya.

Umat harus sadar bahwa hanya Islam satu-satunya solusi tuntas dan menyeluruh bagi segala problematika yang dihadapi kaum buruh di negeri ini. Hanya dengan syariat Islam, kaum buruh akan menemukan kesejahteraan. Oleh karenanya, memperjuangkan tegaknya sistem Islam dalam setiap sendi kehidupan adalah kewajiban mutlak bagi setiap kaum muslim untuk mengakhiri kesengsaraan tak manusiawi.

Wallahu a’lam bisshowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *