Jelang Ramadhan Harga Meroket Tak Terkendali, Jangan Kaget!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Jelang Ramadhan Harga Meroket Tak Terkendali, Jangan Kaget!

Siti Maryam

(Kontributor Suara Inqilabi)

 

Harga sejumlah komoditas bahan pangan pokok naik, seperti cabai, minyak goreng, gula pasir kualitas premium, dan daging ayam ras segar.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, pada Jumat (3-2-2023), rata-rata harga cabai merah besar secara nasional mencapai Rp42.200/kg. Angka tersebut naik dibandingkan bulan lalu (Rp36.250/kg). Rata-rata harga cabai rawit hijau juga naik, mencapai Rp48.700/kg, naik dibandingkan posisi awal Februari (Rp42.600/kg).

Rata-rata harga cabai rawit merah pun naik, mencapai Rp65.950/kg, naik dibandingkan awal Februari (Rp54.800/kg). Sementara itu, rata-rata harga minyak goreng bermerek mencapai Rp21.750/kg, naik dibandingkan posisi bulan lalu (Rp20.100/kg).

Sebelumnya, masyarakat mengeluh karena harga daging, cabai, bawang, dan minyak goreng rakyat (MinyaKita) terus merangkak. Kini giliran beras yang harganya juga naik, khususnya jenis medium dan premium.

Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin menyampaikan fenomena di bulan Ramadhan, biasanya memang menjelang Ramadhan harga bahan pokok mengalami kenaikan, tetapi jangan sampai kenaikan melampaui batas kewajaran, Rabu (01/03/2023).

Jangan Kaget

Mengapa kenaikan harga pangan menjelang Ramadan kerap terjadi? Beragam jawaban dan alasan bisa kita baca secara runtut. Menjelang Ramadan 2017, misalnya, Ketua Ikatan Pedagang Pasar Pasar Indonesia (IKAPPI) kala itu mengungkapkan salah satu alasan kenaikan harga komoditas pangan jelang Ramadan terjadi karena meningkatnya belanja masyarakat.

Penelitian Engkus pada 2017 melaporkan, ada beberapa penyebab kenaikan harga menjelang Ramadan, yakni hukum permintaan dan penawaran, penimbunan barang, kinerja pasokan yang terganggu, dan gaya hidup masyarakat yang lebih konsumtif.

Penimbunan barang terjadi karena adanya permainan pelaku pasar. Ini bukan hal aneh dalam negara yang menganut sistem kapitalisme. Sistem ini memang menghasilkan orang-orang yang hanya memikirkan manfaat materi. Masyarakat dipandang sebagai pasar yang berpotensi untuk meraih keuntungan tanpa memikirkan dampak buruk atau banyak orang yang merugi.

Kapitalisme juga menjadikan peran negara sebatas regulator. Negara lumpuh dalam perannya sebagai pelayan rakyat yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Padahal, negara seharusnya melakukan upaya antisipatif agar tidak ada gejolak harga dan masyarakat mudah mendapatkan kebutuhannya.

Oleh karenanya, fenomena yang terus terjadi ini sejatinya menunjukkan kegagalan negara dalam menjaga stabilitas harga dan menyediakan pasokan yang cukup sesuai kebutuhan masyarakat.

Sebagai dampaknya, para mafia kembali berulah. Kepala Bulog, Budi Waseso pun mengakui, kebijakan impor dan fleksibilitas harga yang diterapkan pemerintah ini akhirnya dimanfaatkan para mafia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Modusnya, mereka memborong beras Bulog berharga murah dan menimbunnya, termasuk beras yang dijual saat operasi pasar. Lalu, pada saat yang tepat, mereka lempar ke pasar dan menjualnya dengan harga berkali lipat. Mereka pun tidak sungkan mengoplos beras sekelas premium dengan beras biasa, lalu mengemasnya seakan-akan beras berharga mahal.

Islam Solusi

Dalam Islam, peran negara adalah pelayan rakyat. Islam mewajibkan negara hadir secara penuh mengurusi seluruh kemaslahatan umat. Negara akan bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Apabila terjadi problem, akan diselesaikan secara tuntas dan segera.

Islam pun memandang bahwa masalah pangan adalah hal yang perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan salah satu kebutuhan manusia yang wajib dipenuhi per individu. Selain itu, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah jika ada rakyatnya yang kelaparan.

Islam menetapkan bahwa negara atau pemerintah adalah penanggung jawab penuh atas seluruh urusan rakyat, sekaligus penjamin kesejahteraan mereka. mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan hingga keamanan. Tanggung jawab tersebut memiliki dua dimensi, yakni duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian, seorang pemimpin Islam akan terdorong untuk mewujudkan fungsinya atas dasar landasan keimanan dan ketaatan pada aturan-aturan Islam.

Hukum pun akan ditegakkan, agar semua faktor yang menghambat produksi dan distribusi bisa dieliminasi. Praktik curang, kezaliman, monopoli, oligopoli, dan sejenisnya akan dicegah dengan kekuatan politik dan sistem hukum yang diterapkan, termasuk dukungan aparat, seperti polisi dan kadi hisbah yang patroli di pasar-pasar.

Negara beserta badan-badan pendukungnya akan selalu siap siaga membantu rakyat, dalam kondisi apa pun.Misalnya saat ada bencana, dengan paradigma semata maslahat umat, bukan kepentingan pribadi yang bersifat sesaat.

Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab saat ia sendiri memanggul karung gandum bagi keluarga janda miskin yang beliau ambil dari Baitulmal. Atau saat beliau memberi subsidi pada para petani Irak agar mereka bisa kembali mengolah tanahnya.

Juga saat beliau memastikan setiap lahan pertanian tidak ada yang menganggur sehingga beliau menarik lahan yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun dan memberikannya kepada mereka yang siap menghidupkan. Semua itu beliau lakukan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin negara yang wajib mengoptimalkan berbagai upaya agar rakyat sejahtera.

Dengan demikian, jangan kaget dengan harga bahan pokok yang terus meroket—tradisi setiap jelang Ramadan—jika negara ini masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara sempurna, kesejahteraan rakyat bisa diraih. Ini karena sistem Islam mengurus rakyat dengan aturan yang berasal dari Allah Taala Sang Pencipta manusia.

Wallahua’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *