Oleh Yan Setiawati, S.Pd.I., M.Pd. (Aktivis Dakwah)
Pemerintah tengah mengajukan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7%. Dengan demikian, maka jasa pendidikan tak lagi dikecualikan dalam lingkup non Jasa Kena Pajak (JKP).
Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Beleid ini kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan, pemerintah dengan legislatif sangat berhati-hati dalam pembahasan wacana PPN atas jasa pendidikan. Ia bilang, sejauh ini, pemerintah sudah mendengarkan saran dari berbagai stakeholders.
(nasional.kontan.co.id/net, 9/09/2021)
Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pendidikan sebesar 7% dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Jika tidak ada aral melintang, rencana ini akan diterapkan usai pandemi corona.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, saat ini pemerintah masih fokus dalam menangani pandemi serta fokus memulihkan ekonomi. (insight.kontan.co.id, 08/09/2021)
Masih di tengah pandemi yang belum usai, pemerintah malah membuat kebijakan penarikan pajak dalam jasa pendidikan. Kebijakan ini dirasa tidak urgent sama sekali dan tidak seharusnya dibuat karena pada akhirnya merugikan rakyat.
Fakta kebijakan ini menyempurnakan gambaran lepasnya tanggung jawab pemerintah untuk melayani pendidikan secara berkualitas dan gratis. Padahal pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus diberikan oleh pemerintah terhadap rakyatnya secara gratis. Namun karena negara ini menganut sistem kapitalis sekuler apapun dikenai pajak, termasuk pendidikan.
Negara yang menganut sistem kufur ini masih memikirkan untung rugi dibanding hak yang harus diterima rakyatnya. Ditambah di masa pandemi negara kewalahan dalam memulihkan ekonomi, maka jasa pendidikan pun menjadi sasaran empuk pajak negara.
Apakah ini tidak menzalimi rakyat?
Padahal sejatinya seorang pemimpin itu pemelihara dan pengatur urusan rakyat, seperti yang diterangkan dalam hadits:
“Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Telah tercatat dalam sejarah selama berabad-abad bahwa ada sistem pemerintahan yang menjamin pendidikan secara gratis dan berkualitas. Dengan sistem ini pendidikan rakyat terpenuhi tanpa harus memungut pajak dari rakyatnya. Karena dalam sistem ini kekayaan negara dikelola sendiri dengan benar sesuai syari’ah. Kekayaan negara haram hukumnya dimiliki asing.
Sistem pemerintahan ini akan memaksimalkan potensi kekayaan alam yang diberikan Allah Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta dengan sebaik-baiknya dan dikelola sesuai syari’ah sehingga terdapat keberkahan di dalamnya.
Sistem ini tak lain adalah sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Khilafah telah membuktikannya selama 14 abad. Pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok bisa diberikan secara gratis dan berkualitas untuk rakyatnya. Bahkan pendidikan gratis dan berkualitas itu bisa mencetak banyak ilmuwan muslim hebat dan berkepribadian Islam yang penemuan-penemuannya bisa kita manfaatkan sampai saat ini.
Dengan begitu, apakah kita masih ragu untuk menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang sudah sangat terbukti menyejahterakan rakyatnya?.
Wallahu ‘Alam Bi Shawab.