Oleh: Rindoe Arrayah
Tanpa terasa, hampir pertengahan di bulan Januari 2021 kita lalui. Memasuki awal tahun 2021, rakyat disambut dengan lonjakan jumlah covid-19. Kondisi ini sebenarnya sudah diprediksi oleh beberapa ahli, mengingat setiap pergantian tahun masyarakat begitu euforia untuk menyambutnya. Situasi seperti itu memungkinkan terjadi kerumunan manusia. Namun, di sisi lain seolah ada pembiaran oleh pemerintah.
Berawal dari sinilah, beberapa rumah sakit kewalahan dalam menerima pasien covid-19 di berbagai wilayah di Nusantara kita tercinta. Tidak terkecuali rumah sakit yang berada di wilayah Gresik.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Gresik, Jawa Timur Syaifudin Ghozali mengatakan kapasitas rumah sakit di wilayah itu hampir penuh pasien Covid-19, setelah dalam tiga pekan terakhir terjadi peningkatan angka konfirmasi positif dua kali lipat.
“Semua rumah sakit rujukan Covid-19 di Gresik hampir penuh. Termasuk yang ada rumah sakit lapang di Stadion Gelora Joko Samudro yang kami peruntukkan untuk pasien OTG (orang tanpa gejala) dan gejala ringan,” kata Ghozali usai rapat Satgas Covid-19 beserta pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) di Ruang Rapat Graita Eka Praja di Gresik, Kamis (bisnis.com, 7/1/2021).
Tragisnya, alih-alih mengoreksi diri, pemerintah justru sibuk menyalahkan masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan, yang bila dicermati penyebabnya juga berpulang pada kelalaian pemerintah. Jika boleh berandai-andai, seandainya di awal pandemi pemerintah menerapkan konsep penanganan yang manusiawi, tentu negeri ini selamat dari pandemi dan masyarakat tidak sengsara seperti saat ini.
Harus diakui, kegagalan kapitalisme menangani pandemi covid-19 telah mengakibatkan berbagai persoalan serius. Ini tersebab kerusakan kronis sistem kapitalisme pada berbagai aspek kehidupan. Kegagalan kapitalisme menangani pandemi covid-19 telah mengakibatkan berbagai persoalan serius. Tampak pada tingginya angka kematian akibat covid-19 di seluruh dunia, termasuk korban di negeri ini, yang mencapai ratusan ribu hingga nominal jutaan.
Derita rakyat tidak cukup sampai di sini saja. Mahalnya biaya kesehatan mengakibatkan sebagian masyarakat tidak bisa tertangani secara baik kodisi kesehatannya. Sungguh nyata kekejaman sistem kapitalis-sekularis yang menjadikan segala hal dihitung dengan untung rugi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang memandang kesehatan bukanlah komoditas dagang. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat (community primary needs). Menyerahkan pemenuhan kebutuhan publik ke tangan individu atau korporasi adalah perkara mustahil, bertentangan dengan karakter kebutuhan publik itu sendiri.
Maka, Islam membebankan jaminan pelayanan kesehatan secara gratis namun berkualitas pada pundak negara Khilafah. Meski demikian, warga negara yang kaya (aghniya’) boleh menyediakan layanan kesehatan dengan tujuan membantu pelayanan yang diberikan oleh negara.
Negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah. Ini adalah rumah-rumah sakit dalam pengertian modern. Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat.
Pada zaman Pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Dan, tidak hanya menangani pasien yang mengalami sakit fisik saja, namun diperuntukkan juga bagi pasien sakit jiwa. Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran Perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah. Sebelumnya, pasien penderita sakit jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.
Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.
Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi tempat favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya. Namun, pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, para pelancong asing ini akan diminta untuk meninggalkan rumah sakit, karena kewajiban menjamu musafir hanya sampai tiga hari saja.
Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini. Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya. Model seperti ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia. Sungguh menakjubkan.
Jika membaca sejarah di atas, tentunya kita merindukan suasana kesehatan seperti itu. Sebuah sistem kesehatan yang bisa menjadikan pasien terlayani dengan baik. Begitu pula dengan tenaga medisnya yang tak luput mendapatkan penghargaan tiada tara dari Daulah Khilafah. Sehingg akan didapati suasana yang nyaman, baik bagi pasien maupun paramedisnya. Hal inilah yang bisa meminimalisir jatuhnya korban di pihak pasien ataupun paramedis.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR. Bukhari)
Untuk itu, mari kita campakkan kapitalisme-sekularisme yang kerusakannya semakin merajalela. Kemudian menggantinya dengan syariat Islam dalam naungan kekhilafahan.
Butuh perjuangan tentunya, untuk mewujudkan itu semua. Semoga kita senantiasa diberi keistiqomahan di jalan perjuangan demi kebangkitan Islam.
Wallahu a’lam bishshowab.