Jaminan Keamanan yang Hakiki

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Fika Anjelina (Member Akademi Menulis Kreatif dan Aktivis Islam)

“Tidak ada kebaikan bagi kehidupan kecuali kesehatan dan keamanan.”

Sepenggal kalimat di atas merupakan kutipan yang diambil dari seorang jenderal Arab abad ke-6, Ahmad ibn Qais. Kalimat tersebut menggambarkan kepada kita tentang pentingnya kesehatan dan keamanan dalam kehidupan manusia. Tetapi hari ini rasanya keamanan adalah sesuatu yang sangat langka.

Di Indonesia, masyarakat kembali dikejutkan dengan pernyataan pejabat negara yang kontroversi. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Bambang Soesatyo, mengusulkan kepada kapolri agar masyarakat yang memiliki izin kepemilikan senjata api, bisa menggunakan peluru tajam pistol 9 mm untuk membela diri.

Menurut Bambang Soesatyo atau yang kerap disapa Bamsoet, Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 18 tahun 2015 mengatur jenis senjata api peluru tajam yang boleh dimiliki masyarakat. Untuk senapan berkaliber 12 GA dan pistol berkaliber 22, 25, dan 32. Dalam Perkap disebutkan ada tiga macam senjata api yang boleh dimiliki untuk bela diri yaitu senjata api peluru tajam, senjata api peluru karet, dan senjata api peluru gas.

Pada tanggal 3 Agustus 2020, Bamsoet menjelaskan maksud dari pernyataannya tersebut adalah kepemilikan senjata api harus mengacu pada peraturan Kapolri. Menurut standar keanggotaan DPP Perkumpulan Izin Khusus Senjata Api Beladiri (PERIKHSA), pemilik senjata api diwajibkan memiliki sertifikat IPSC (International Practical Shooting Confederation) Indonesia. Sertifikat IPCS dikeluarkan oleh Pengurus Besar Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Seluruh Indonesia (PB Perbakin) untuk melengkapi persyaratan kepemilikan lain yang sudah ada sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri.

Selain itu, menurut Bamsoet, orang yang boleh memiliki senjata api harus memenuhi kualifikasi status jabatan tertentu dengan tingkat ancaman tertentu. Seperti harus menduduki jabatan sebagai Komisari Utama, Direktur Utama, Direktur Keuangan, Anggota DPR, MPR, pengacara, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hal ini juga tertuang pada Peraturan Kapolri No.84 tahun 2004 bahwa kalangan sipil yang diizinkan memiliki senjata api yaitu Direktur Utama, Menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha utama, Komisaris, pengacara, dan dokter.

Dari peraturan tersebut bisa diketahui bahwa yang mendapatkan jaminan keamanan dan perlidungan hanya rakyat dengan profesi dan jabatan tinggi saja. Lalu bagaimana dengan nasib rakyat sipil yang tidak mampu? Padahal rakyat sipil dengan profesi biasa, bahkan kategori menengah ke bawah, juga butuh jaminan keamanan dan perlindungan dari negara.

Faktanya, pelaku kejahatan tidak segan-segan menggunakan senjata tajam bahkan senjata api untuk melukai korbannya. Misalkan pencurian dengan kekerasan, curanmor, perampokan, penganiayaan, dan lain sebagainya. Sebagian besar kasus kriminal ini menimpa rakyat sipil.

Dengan peraturan tersebut, apakah dapat memberikan jaminan rasa aman pada rakyatnya? Atau sebaliknya, peraturan tersebut justru memberi peluang penyalahgunaan senjata tajam sehingga semakin menyuburkan kejahatan?

Ini mengindikasikan sulitnya mendapat jaminan rasa aman. Bahkan, negara pun seolah-olah lalai memberikan jaminan rasa aman tersebut sehingga masyarakat akan diizinkan menggunakan senjata api.

Menurut data yang dirilis BPS tahun 2015 tercatat 1491 kasus pembunuhan, 2016 tercatat 1292, tahun 2017 tercatat 1150 kasus dan tahun 2018 tercatat 1024 kasus. Miris sekali setiap tahun angka kasus pembunuhan semakin tinggi di Indonesia.

Tingginya kasus pembunuhan di negeri ini telah menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan jaminan rasa aman khususnya perlindungan nyawa atau jiwa tiap rakyat. Wajar saja, sebab penguasa dalam sistem kapitalisme bukanlah pengurus rakyat. Mereka hanya sebatas regulator. Mereka senantiasa memuluskan kepentingan pemilik modal atau kapital. Dalam sistem kapitalisme, negara dan rakyat diatur berdasarkan asas manfaat atau keuntungan saja.

Hal ini membuktikan kerusakan dari sistem kapitalisme. Semua kebijakan dan peraturan diambil berdasarkan keuntungan para pemilik modal. Dan rakyat hanya digunakan sebagai tumbal saja. Rakyat dibiarkan memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak dijamin keamanannya.

Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, penguasa adalah ro’in atau pengatur urusan rakyat. Rasulullah saw bersabda:

“Seorang imam adalah ro’in (pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya) dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR.Bukhari dan Muslim).

Keamanan adalah kebutuhan dasar manusia dan wajib dipenuhi oleh negara. Khalifah akan menjamin perlindungan jiwa setiap individu rakyat. Ini adalah implementasi firman Allah Swt. dalam Surat Al Maidah ayat 32, yang artinya:

“Sesungguhnya siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah:32)

Untuk kasus pembunuhan, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Sistem sanksi ini berfungsi sebagai zawajir, yaitu pencegah seseorang melakukan tindak kejahatan yang sama. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka Islam akan menjatuhkan sanksi yang keras. Pembunuhan termasuk dalam jenis jinayat, yaitu penyerangan terhadap jiwa atau organ tubuh manusia. Sanksi yang akan diberikan Khilafah bisa dalam bentuk diyat (tebusan darah), qishash (dibunuh), kafarat (tebusan atau denda). Ini sesuai dengan firman Allah Swt.dalam QS. Al Baqarah ayat 179, yang artinya:

“Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah:179)

Untuk kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat (denda), atau menyedekahkan diyatnya. Diyat yang wajib dibayar sebanyak 100 ekor unta, 40 ekor diantaranya telah bunting. Untuk sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al’ amad) adalah diyat sebanyak 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya bunting.

Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklarifikasikan menjadi 2 macam. Yang pertama, seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang. Tetapi tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang.

Misalnya, ada orang pemanah burung, namun terkena manusia hingga mati. Maka saknsinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan membebaskan budak. Apabila tidak memiliki budak, maka pelaku harus berpuasa dua bulan berturut-turut.

Kedua, seseorang yang membunuh orang yang dia kira kafir harbi di dar al kufr tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Sanksinya membayar kafarah saja dan tidak wajib membayar diyat. Adapun sanksi pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor unta dan membebaskan budak. Apabila tidak memiliki budak, maka wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Jinayat terhadap organ tubuh baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan organ tubuh maupun tulang secara mutlak. Kecuali kasus penyerangan terhadap gigi dan kasus jarh (perlukaan di badan). Hanya saja kasus penyerangan gigi atau jarh bisa dikenakan diyat. Apabila penyerangannya sengaja, maka dikenai hukuman qishash. Sedangkan apabila tidak sengaja, maka dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as Sunnah. Jika korban tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan kepala, sanksinya hanya diyat dan tidak ada qishash.

Tentu saja dengan mekanisme sistem sanksi Islam ini, Khilafah mampu menekan kasus pembunuhan tanpa haq. Inilah kehebatan sistem Islam dalam menjamin keamanan dan perlindungan jiwa. Saatnya umat Islam mencampakkan sistem kapitalisme dan kembali menerapkan sistem Islam.

Wallahu’alam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *