Jalan Rusak, Hidup Terkapar: Saatnya Mengganti Sistem yang Gagal

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Jalan Rusak, Hidup Terkapar: Saatnya Mengganti Sistem yang Gagal

Oleh: Novi Ummu Mafa

Sistem demokrasi kapitalisme, yang menjadi dasar tata kelola politik dan ekonomi modern, terbukti gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Contoh nyata dari kegagalan ini dapat dilihat pada penderitaan warga Kampung Bergang, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, yang harus bertahun-tahun menghadapi kondisi jalan berlumpur dan licin tanpa perhatian dari pemerintah. (tribunnews.com, 18-11-2024). Masalah ini menunjukkan adanya kerusakan sistemik dalam sistem demokrasi kapitalisme yang mengabaikan hak-hak rakyat.

 

Demokrasi Kapitalisme: Sistem Batil yang Merugikan Rakyat

 

Demokrasi kapitalisme adalah sistem yang lahir dari konsensus manusia, khususnya bangsa Barat, yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Dalam sistem ini, manusia diberi hak untuk mengatur sesamanya berdasarkan kepentingan mayoritas, yang sering kali dikuasai oleh segelintir elit pemilik modal. Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nidhamul Islam, sistem ini adalah batil karena tidak berlandaskan wahyu Allah, melainkan akal manusia yang terbatas dan rentan terhadap kekeliruan.

Sistem politik demokrasi menghasilkan pemimpin yang populis namun minim kompetensi. Proses pemilu yang berbasis modal besar menjadikan para calon pemimpin tergantung pada para kapitalis yang membiayai kampanye mereka. Akibatnya, kebijakan publik lebih banyak mengakomodasi kepentingan para pemodal dibandingkan rakyat. Penguasa dalam sistem ini hanyalah regulator kebijakan yang tunduk pada agenda kapitalisme, bukan pelayan rakyat.

Kasus warga Kampung Bergang menjadi bukti nyata dari dampak buruk sistem ini. Jalan rusak yang bertahun-tahun tidak diperbaiki adalah konsekuensi dari prioritas pembangunan yang berorientasi profit, di mana daerah-daerah non-strategis secara ekonomi sering kali terabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi kapitalisme secara fundamental mengabaikan hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang layak.

 

Paradigma Kepemimpinan dalam Islam

 

Berbeda dengan demokrasi kapitalisme, Islam menawarkan konsep kepemimpinan yang berbasis ri’ayah (pengurusan). Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat yang bertanggung jawab kepada Allah SWT dan umat. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam Nidhamul Islam bahwa seorang pemimpin harus memiliki kekuatan kepribadian (syakhsiyah) yang mencakup akal (aqliah) dan jiwa (nafsiyah) yang terikat pada Islam.

Pemimpin yang berlandaskan Islam akan memiliki sifat takwa, kelembutan terhadap rakyat, dan tanggung jawab yang tinggi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Pemimpin yang terbaik adalah yang mencintai rakyatnya dan rakyat mencintainya” (HR. Muslim). Ketakwaan menjadi penghalang bagi penguasa untuk bersikap tiran, sementara kelembutan memastikan bahwa rakyat dilayani dengan penuh perhatian.

Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Khattab terkenal dengan kebijakannya yang memastikan infrastruktur rakyat dalam kondisi baik. Beliau bahkan pernah berkata, “Jika seekor keledai terperosok di jalan Irak, maka aku takut Allah akan memintai pertanggungjawaban kepadaku.” Prinsip inilah yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap pemimpin untuk memastikan kesejahteraan rakyat.

Pemimpin seperti Umar bin Khattab tidak hanya kuat secara fisik dan intelektual, tetapi juga memiliki ketakwaan yang melindunginya dari kezaliman. Dengan sifat kelembutannya, beliau mengurus rakyat dengan penuh kasih sayang, memastikan setiap kebutuhan mereka terpenuhi tanpa diskriminasi.

Sosok pemimpin seperti ini hanya dapat terwujud ketika umat dan pemimpinnya menjadi hamba yang taat kepada Allah SWT dengan menerapkan sistem Islam, yakni Khilafah. Dalam sistem ini, pemimpin tidak hanya dipilih berdasarkan kemampuan teknis, tetapi juga berdasarkan ketakwaan yang menjamin kebijakan mereka sesuai dengan syariat.

 

Solusi Islam untuk Infrastruktur dan Kesejahteraan

 

Sistem Islam melalui institusi Khilafah menawarkan solusi yang komprehensif dan adil dalam mengatasi persoalan infrastruktur dan pelayanan publik. Dalam pendekatannya, Islam menetapkan pembangunan infrastruktur berdasarkan kemaslahatan, bukan kalkulasi profit semata. Negara Khilafah bertanggung jawab penuh untuk menyediakan fasilitas umum yang memudahkan kehidupan rakyat, seperti jalan yang layak, transportasi, dan layanan publik lainnya. Selain itu, sumber daya alam dikelola secara adil oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan segelintir elit. Pendapatan dari pengelolaan sumber daya ini digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur secara merata di seluruh wilayah negara.

Pemimpin dalam sistem Islam juga memiliki kewajiban melayani rakyat dengan penuh tanggung jawab. Ketakwaan menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan, sehingga mencegah penguasa bertindak zalim atau melalaikan tugasnya. Islam juga mendorong partisipasi aktif rakyat dalam proses pembangunan, baik melalui ide, tenaga, maupun pengawasan. Pendekatan ini menciptakan rasa memiliki terhadap hasil pembangunan sekaligus memperkuat solidaritas sosial. Dengan prinsip-prinsip ini, sistem Islam memastikan bahwa kebutuhan rakyat terpenuhi secara merata dan berkeadilan.

 

Khatimah

 

Sosok pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khattab adalah teladan yang dirindukan oleh rakyat. Pemimpin yang tidak hanya memahami tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat, tetapi juga sebagai hamba Allah yang taat. Keberadaan pemimpin semacam ini hanya dapat dirasakan ketika umat berkomitmen untuk menerapkan syariat Allah melalui sistem Islam. Saatnya umat Islam bangkit dari keterpurukan dan kembali kepada syariat Allah untuk mewujudkan kesejahteraan hakiki.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *