Iuran BPJS Dikurangi, Solutifkah Bagi Kesehatan Negeri?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh :Ummu Alkhalifi (Anggota Komunitas Setajam Pena)

 

Wabah pandemi dalam negeri tak kunjung pergi, hingga membuat kehidupan rakyat kian mengerikan. Dari masalah pribadi yang terus menjadi, hingga problematika dalam negara yang semakin merajalela. Tak dipungkiri masalah kesehatan disaat pandemi, yang seharusnya diperhatikan malah terabaikan.

 

Kabar terbaru tata kelola layanan publik dalam negara kembali menuai perhatian. Saat kekurangan dana, maka  iuran dinaikkan . Begitu juga ketika anggaran negara mengalami defisit, pemerintah melakukan berbagai cara dengan menarik berbagai macam pajak. Begitu pun BPJS Kesehatan, menaikkan iuran demi menutup defisit dan gagal bayar.

 

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebutkan secara data, kenaikan iuran terutama dari kelompok yang ditanggung negara atau peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang menjadikan surplus BPJS Kesehatan tercipta. Kenaikan iuran dan penambahan peserta penerima bantuan menjadi penopang sistem BPJS Kesehatan berjalan.

 

Dalam data BPJS Kesehatan, peserta PBI melonjak dari 106,52 juta orang menjadi 132,76 juta orang. Sedangkan pekerja swasta naik dari 41,02 juta menjadi 55,14 juta. Sedangkan peserta mandiri naik dari 19,33 juta orang menjadi 30,43 juta orang (bisnis.com, 9/2/2021).

 

Peserta BPJS bertambah, iuran dinaikan, sedangkan pelayanan kesehatan pasien non-Covid berkurang. Sudah jelas pasti mengalami surplus. Pemasukan yang didapatkan dari iuran bertambah, sementara pengeluaran berkurang karena rumah sakit lebih banyak menangani pasien Covid-19 selama pandemi.

 

Meski berganti nama dari Askes menjadi BPJS Kesehatan, kapitalisasi terhadap kesehatan tetaplah terjadi. Dengan  mengatas namakan gotong royong, rakyat diminta membayar iuran sebagai kompensasi untuk mendapat pelayanan kesehatan. Padahal jika difikir dengan matang, maka yang disebut dan digaungkan dengan iuran ini adalah layaknya pemalakan belaka.

 

Yang namanya jaminan kesehatan, mestinya dijamin baik dari pelayanan ataupun pembiayaannya. Lalu bagaimana dengan BPJS selama ini,  apakah sudah menjamin? Membayar iuran termahal sekalipun belum tentu ada jaminan mendapat pelayanan kesehatan dengan maksimal. Jika dicermati banyak sekali cerita bagaimana ribetnya administrasi demi mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Bisa dikatakan pelayanan kesehatan yang baik adalah sesuatu yang langka di era kapitalis saat ini.

 

Padahal kesehatan adalah hak dasar bagi publik. Maka dari itu, sudah  semestinya negara menjadi penyelenggara utama sistem kesehatan. Karena kesehatan adalah kebutuhan dasar yang harus diperhatikan, maka sebuah keharusan bagi negara untuk  memberikan layanan kesehatan secara gratis tanpa memungutnya dalam bentuk iuran apapun. Tugas negara adalah melayani, bukan malah memalaki dengan berbagai dalih.

 

Namun, dalam kapitalisme peran negara hanyalah sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis saja. Karena kesehatan masuk dalam salah satu sektor jasa dalam perjanjian GATS, liberalisasi sistem kesehatan sulit dihindari dan ditolak. Akibatnya, negara tak lagi menjadi peran utama sebagai penyelenggara sistem kesehatan untuk rakyatnya . Maka bisa disimpulkan konsep inilah yang sebenarnya menjadi momok bagi sistem kesehatan hingga saat ini.

 

Sistem layanan kesehatan yang bertumpu pada kapitalisasi dan liberalisasi tidak akan pernah menjadikan kesehatan rakyat sebagai perhatian utama. Negara minim dalam peranannya. Penyelesaian sistem kesehatan hanya bisa dilakukan secara tuntas jika paradigma dan sistem kesehatan itu dirombak secara total.

 

Melayani yang dimaksud disini adalah pelayanan berkualitas tanpa pamrih. Karena negara adalah pengurus urusan rakyat. Ia bertanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya.

Sabda Nabi Saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

 

Perlu diketahui, sejarah telah membuktikan. Khilafah memiliki sejumlah mekanisme dalam pembiayaan dan pengelolaan dalam  sistem kesehatan. Dari aspek paradigma, kesehatan adalah kebutuhan dasar bagi rakyat. Negara Khilafahlah penyelenggara utama sistem kesehatan. Negara akan memenuhi kebutuhan itu dengan memberi jaminan kesehatan berupa pelayanan maksimal dan gratis.

 

Pembiayaannya adalah dari Baitulmal. Salah satu sumber pemasukan Baitulmal adalah harta milik umum berupa tambang, gas alam, minyak bumi, batu bara, emas, listrik, hutan, laut, sungai, perairan, mata air, dan lainnya. Pengelolaan harta ini sangat cukup membiayai sistem kesehatan.

Pengelolaan harta ini dapat membiayai seluruh fasilitas dan Sumber Daya Manusia yang dibutuhkan dalam bidang kesehatan. Seperti pendidikan SDM kesehatan yang berkualitas, rumah sakit dengan fasilitas terpenuhi lengkap, industri peralatan kedokteran dan obat-obatan mendukung , riset biomedis, pusat penelitian dan laboratorium, gaji tenaga kesehatan yang cukup, serta segala sarana dan prasarana yang mendukung penyelenggaraan sistem kesehatan seperti listrik, air, dan transportasi.

Rakyat tidak akan dipersulit dengan syarat dan administrasi berbelit. Semua layanan itu diberikan secara gratis oleh negara. Pembiayaan ini sifatnya adalah mutlak. Artinya, ada atau  tidaknya pemasukan, negara tetap berwajiban memberikan pelayanan kesehatan. Jika pemasukan rutin di Baitulmal tidak terpenuhi, negara akan memberlakukan pajak temporer yang dipungut dari orang-orang kaya tartentu saja, mereka adalah yang tergolong mampu hingga anggaran yang dibutuhkan mencukupi.

Model pembiayaan seperti ini anti defisit dan membebaskan negara dari cengkeraman korporasi dan industrialisasi kesehatan yang membahayakan nyawa banyak orang.

 

Dengan penerapan syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, maka terwujudlah masyarakat yang berbudi luhur, pola hidup yang bersih dan sehat, emosi yang terkendalikan, orientasi hidup bervisi ukhrawi, pergaulan dan lingkungan yang sehat, keluarga yang berkepribadian mulia. Maka negara yang berdaulat, sehat, dan mandiri akan tercipta dengan sistem Khilafah.

Wallahu a’lam bisshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *