Islam Solusi Tuntas Pergaulan Bebas

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Hana Ummu Salman (Penulis dan aktivis)

Miris, inilah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan orang tua yang menyaksikan sebagian dari remaja penerus negeri muslim terbesar ini terjerumus dalam pergaulan bebas.

Kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini membuat hati siapapun yang menyaksikannya akan terhenyak dan penuh dengan kekhawatiran, sebagaimana didapati ratusan remaja yang mengajukan dispensasi menikah di usia dini karena karena telah hamil duluan.

Sebagaimana yang diberitakan, “Dari 240 pemohon dispensasi nikah, dalam catatan kami ada yang hamil terlebih dahulu dengan jumlah berkisar 50-an persen. Sedangkan selebihnya karena faktor usia yang belum sesuai aturan, namun sudah berkeinginan menikah,” kata Ketua panitera pengadilan agama Jepara Taskiyaturobihah seperti dilansir dari Antara di jakarta pada minggu (26/7/2020).

Dia mengungkapkan, sesuai Undang-undang Nomor 16/2019 tentang Perkawinan bahwa batas minimal calon pengantin putri berusia 19 tahun. Sementara pada Undang-Undang perkawinan sebelumnya, batas minimal calon pengantin putri berusia 16 tahun. Sehingga, warga yang berencana menikah namun usianya belum genap 19 tahun harus mengajukan dispensasi nikah. (JawaPos.com, 26/7/2020).

Melihat banyaknya kejadian remaja yang mengajukan dispensasi menikah dini di berbagai daerah, menegaskan bahwa ada dua problema yang sebenarnya muncul dengan diterapkannya kebijakan dispensasi menikah dini.

Pertama, hal ini tentunya akan dijalankan bersamaan dengan pendewasaan usia perkawinan sehingga diharapkan dapat menurunkan angka pernikahan dini di kalangan remaja.

Kedua, sejatinya justru akan menjadi “jalan keluar” untuk memaklumi fenomena seks bebas yang sejatinya telah marak di kalangan remaja muslim saat ini.

Dengan mencerna dan melihat fakta yang terjadi sudah sangat memprihatinkan, sehingga solusi yang dibutuhkan dalam permasalahan ini bukanlah larangan menikah dini maupun dispensasi menikah dini.

Bangsa ini membutuhkan pemberlakuan sistem ijtima’iy Islam (sistem pergaulan dalam Islam). Kita semua memiliki harapan yang besar agar generasi siap memasuki gerbang pernikahan dan pastinya akan mencegah seks bebas merajalela di tengah-tengah generasi muda saat ini maupun yang akan datang tentunya.

Dispensasi nikah akibat pergaulan bebas di kalangan remaja, sebenarnya tidak hanya memberikan dampak secara individual terhadap remaja, melainkan berpotensi melahirkan keluarga tanpa ketahanan serta generasi yang lemah, jauh dari kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sudah seharusnya negara mengambil kebijakan yang mendasar dengan memberlakukan sistem ijtima’iy (sistem pergaulan dalam Islam) dalam mengatur interaksi sosial masyarakatnya, mengadopsinya untuk generasi yang diberlakukan dalam sistem pendidikan, “dituangkan” dalam kurikulum PAI dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, serta mengontrol media agar tidak menyuguhkan tayangan yang berbau pornografi-pornoaksi, kemudian menggantinya dengan tayangan yang mendorong pada ketaqwaan bukan sebaliknya.

Pemerintah juga harus memberlakukan aturan pergaulan, haramnya zina termasuk mendekatinya, serta sanksi tegas bagi pelanggarnya. Pemerintah juga wajib memberikan kemudahan menikah serta menyiapkan kematangan anak agar siap menuju gerbang pernikahan. Maka mata rantai pergaulan bebas remaja akan terputus. Di sisi lain akan tercipta ketahanan keluarga bagi masyarakat yang diharapkan akan menjadikan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa diliputi banyak keberkahan di dunia maupun di akhirat.

Namun hal itu seolah menemui “jalan buntu”. Sekularisme telah mencengkeram negeri ini dengan asasnya yang memisahkan islam dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan Larangan mencampuri urusan manusia dalam membuat peraturan, termasuk tatanan sosialnya dan hanya dibatasi pada pengurusan ibadah semata. Terjadilah pola tingkah laku di kalangan remaja yang tidak lagi memperhatikan halal dan haram. Lahirlah liberalisme (faham kebebasan) yang berbentuk kebebasan berinteraksi, sehingga pergaulan tidak lagi membuahkan nilai ibadah melainkan sebaliknya, semakin menjauhkan sebagian remaja dari keridhoan Allah Swt.

Di dalam Islam perkawinan adalah suatu aqad yang sangat kuat atau disebut dengan mitsaaqqan ghaliidzhan. Fungsinya untuk menaati perintah Allah Swt. Pelaksanaannya dipandang sebagai ibadah yang sangat mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :

“Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat”. (HR. Ibnu Majah no.1846)

Tujuan pernikahan adalah meraih ridho Allah bersama pasangan dalam nuansa kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Keluarga yang tenteram, saling berkasih sayang karena Allah dalam rangka melestarikan keturunan yang penuh dengan ketakwaan. Sebagaimana firman Allah swt :

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Ruum : 21)

Di dalam islam sejatinya tidak ada batasan usia pernikahan. Artinya berapapun usia calon pasangan tidak akan menghalangi sahnya sebuah aqod pernikahan, selama kedua calon sudah baligh dan mampu.

Syari’at Islam dengan tegas telah mengharamkan perzinahan beserta hal-hal yang mendekatkan kepadanya, dengan menerapkan berbagai peraturan, sebagian diantaranya :

1. Kewajiban menutup aurat yang telah dijelaskan secara rinci dalam Al-qur’an surah an-nur ayat 31 dan surah Al-ahzab ayat 59.
2. Larangan bagi laki-laki dan perempuan berdua-duaan tanpa mahram (khalwat).
3. Larangan berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan tanpa kebutuhan yang syar’i.
4. Kewajiban menundukkan pandangan.

Firman Allah Swt. :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-isra’ : 32).

Islam juga telah menetapkan sanksi yang keras dan tegas bagi pelaku pergaulan bebas dan pelaku zina dalam rangka mencegah terjadinya pergaulan bebas dalam masyarakat. Diantaranya :

1. Pezina yang belum pernah menikah, maka diwajibkan menderanya dengan 100 kali cambukan serta boleh diasingkan selama satu tahun. Sebagaimana firman Allah swt :

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-nur [24] : 2)

Sabda Rasulullah saw. Dari abu Hurairah r.a.

“Bahwa Rasulullah saw menetapkan Bagi orang yang berzina tetapi belum menikah diasingkan selama satu tahun dan dikenai had kepadanya”. (Abdurrahman al Maliki, sistem sanksi dalam islam, Bogor, Pustaka Thariqul Indah, 2002, halaman 30-32)

2. Pelaku perzinahan yang sudah menikah maka harus dirajam hingga mati.
Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. :

“Bahwa seorang laki-laki berzina dengan perempuan, Nabi saw memerintahkan menjilidnya, kemudian ada kabar kalau dia telah menikah (muhshan) maka Nabi saw
memerintahkan untuk merajamnya”.

Telah ditetapkan pula sanksi dalam syari’at Islam bagi orang yang memfasilitasi pelaku zina, dengan sarana dan cara apapun, baik dengan dirinya maupun orang lain, tetap akan dijatuhkan sanksi penjara 5 tahun dan dicambuk. Namun apabila yang memberi fasilitas adalah suami atau mahramnya, maka sanksi diperberat menjadi penjara hingga 10 tahun lamanya. (Abdurrahman al Maliki, sistem sanksi dalam islam, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2002, halaman 238).

Dengan demikian menjadi sebuah kebutuhan mendesak akan pentingnya penerapan syari’at Islam secara kaffah. Untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan termasuk problem sosial menyangkut kebebasan berperilaku sebagian remaja muslim. Agar berjalan sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepada-Nya, serta sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka menjalankan aturan Allah Swt di seluruh aspek kehidupan.

Wallaahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *