Oleh: Mia Annisa (Narasumber WAG MQ Lovers Bekasi)
Masuknya BTP ke tubuh BUMN tentu membuat geger sejagad Indonesia. Publik mempertanyakan bagaimana mungkin seorang mantan narapidana bisa menduduki jabatan strategis di BUMN ? Publik pun tercengang, tapi menteri BUMN Erick Tohir terus melenggang tak ambil pusing komentar publik yang dianggap berseberangan dengan gebrakannya setelah sebulan diangkat menjadi menteri.
Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) juga keberatan masuknya BTP untuk mengisi jabatan komisaris utama Pertamina. Kompetensi BTP masih dipertanyakan bahwa ia harus paham betul pengelolaan bisnis Pertamina dari hulu sampai hilir dan untuk kesekian kalinya Pertamina harus rela kembali dipimpin dari eksternal.
Mengingat kembali BTP orang kelima berturut-turut sebagai sebagai komisaris Pertamina di luar lingkaran Pertamina. Selama empat kali kepemimpinan kursi komisaris Pertamina diduduki oleh orang nonkarier. Pertamina belum pernah menunjukan prestasi gemilang malah cenderung biasa-biasa saja dan semakin liberal. Angka praktik sindikat mafia migas per tahun diduga mencapai Rp 37 triliun merugikan negara.
Kubu pro seolah menjawab penentangan publik diangkatnya BTP sebagai orang nomor satu di perusahaan plat merah ini bahwa masuknya BTP sebagai angin segar. Alasannya BTP sebagai Komisaris Utama Pertamina bisa menghilangkan mafia minyak dan gas bumi (migas) di tubuh perusahaan BUMN tersebut. Mendorong kebangkitan energi serta mendongkrak kemandirian energi dengan peningkatan upaya ekspor ke luar negeri.
Apa yang disampaikan Erick Tohir sangat kobtradiktif jika menurutnya BTP yang memiliki jiwa pendobrak sangat diperlukan agar praktik-praktik kotor di tubuh BUMN bisa dilenyapkan. Sepak terjang masa lalunya tak bisa dilupakan begitu saja. Ia pernah disebut-sebut terlibat dalam berbagai kasus dugaan korupsi, salah satunya adalah kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Tak ada pengusutan lebih lanjut terhadap kasus dugaan korupsi Ahok, membuat Direktur IRESS Marwan Batubara meragukan komitmen KPK dalam mengusutnya. Pernyataan dari penjual lahan bahwa dia sebetulnya hanya menerima Rp 355 miliar dari yang tercantum dalam akta jual beli itu, Rp 755 miliar. Sedangkan 400 miliar lari entah kemana. (https://wow.tribunnews.com/2019/11/27/)
Lucu bukan jika BTP yang rekam jejaknya dipenuhi korupsi justru dihadirkan untuk membersihkan BUMN dari para pejabat-pejabat korup. Dimana logikanya ? Tentu mustahil sekali jika dalam dirinya sendiri sudah tertanam mental korup sejak lama.
Sikap kekeuh pemerintah mengangkat BTP sebagai komisaris Pertamina malah semakin menegaskan ada dipihak siapa pemerintah berdiri. Pemerintah tak sungguh-sungguh manjadikan BUMN terbebas dari praktik-praktik curang aktor-aktor birokrasi, politikus, dan bisnis yang diliputi berbagai kepentingan.
Harus dilihat secara subjektif bahwa menempatkan orang sekelas BTP bukanlah solusi, sebab secara individu ia sendiri bermasalah.
Perlu dilakukan rekontruksi agar praktik korupsi tak menjamur dan terus saja berulang sekalipun kepemimpinan terus berganti. Pertama, larangan memberi hadiah kepada para penguasa (suap) Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). Dalam sistem demokrasi saat ini suap menyuap sudah menjadi rahasia umum. Ini yang membuka kran korupsi merajalela.
Kedua, negara melakukan sistem audit perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika kekayaan itu bertambah selama menjabat maka layak dicurigai pejabat itu telah berlaku curang dan pelakunya harus dihukum karena dianggap mencuri aset negara dan hak rakyat.
Ketiga, negara wajib memberikan gaji atau upah yang layak kepada para pegawainya. Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar ” Penuhilah kebutuhan pegawaimu, agar ia tidak berlaku khianat”.
Keempat, pemimpin memberikan suri tauladan yang baik karena ia akan mendapatkan pahala atas orang yang meneladaninya.
Kelima, negara perlu melakukan pengawasan terhadap para pegawainya yang dibayar agar melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai sebuah amanah yang dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah. Serta perlunya kontrol masyarakat terhadap para penguasa apabila itu menyalahi atau memberatkan rakyatnya. Wallahu`alam.