Islam, Solusi Extra Ordinary

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ammy Amelia (Ibu Rumah Tangga dan Member Akademi Menulis Kreatif)

Impresi dari berbagai sisi selama masa pandemi, kian fatal dirasakan Indonesia bahkan negara-negara di seluruh dunia. Hingga saat ini, jumlah korban yang diidentifikasi terjangkit virus Covid-19 meningkat hingga 1.293 orang. Sehingga total kasus di Indonesia mencapai 56.385 orang. (Wikipedia, 30/06/2020).

Dampak yang dirasakan bukan hanya dalam aspek kesehatan. Namun memengaruhi hampir di segala bidang, seperti ekonomi, pendidikan, sosial bahkan psikis masyarakat secara individual.

Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah, nyatanya belum mampu menjadi tameng untuk mengatasi penyebaran virus Covid-19. Adapun keran bantuan yang seharusnya digelontorkan dengan tujuan sebagai alat mediasi, justru semakin menambah gejolak kesemrawutan di tengah masyarakat. Tidak terkoordinasinya putusan pemerintah pusat dengan jajaran pemerintahan yang ada di bawahnya, menambah rentetan masalah di tengah wabah. Pemerintah juga dianggap lamban dalam menghadapi penyebaran virus yang telah menelan ribuan korban tersebut. Mereka disibukkan dengan rancangan kebijakan yang dinilai musiman. Masing-masing jajaran saling beradu saran, sehingga periayahan terhadap masyarakat menjadi tidak maksimal.

Kurang agresifnya para petinggi dalam penanggulangan pandemi, juga diakui secara gamblang oleh presiden Indonesia itu sendiri. Dalam rapat terbatas 18 Juni 2020 lalu, Jokowi mendesak agar seluruh jajaran kabinetnya dapat melakukan kerja ekstra dalam menangani pandemi Covid-19 ini. Ditegaskan pula bahwa Jokowi akan melakukan perombakan kabinet (reshuffle) jika diperlukan. Hal ini dianggap sebagai langkah penting -sekaligus ancaman bagi para menteri- dalam rangka mengakhiri masa pandemi.

“Langkah-langkah apapun yang extra ordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita, untuk negara. Bisa saja membubarkan lembaga, bisa saja reshuffle,” ujarnya. (katadata.com, 28/06/2020)

Isu dari istana yang begitu sensitif itu kian merebak dengan cepat di kalangan publik. Terlebih setelah adanya unggahan video tentang pernyataan presiden dalam sidang kabinet paripurna tersebut. Video yang beredar 10 hari setelah sidang kabinet berlangsung, jelas memantik spekulasi publik terkait motif pengunggahan yang dilakukan Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden RI, Bey Tiadi Machmudin.

Seperti yang dilansir dalam Tirto.id (28/06/2020), salah satu inisiator laporcovid19.org, Haris Azhar, menilai bahwa ekspresi Jokowi dalam video tersebut hanya sebatas basa-basi, modus sekaligus upaya melempar tanggung jawab kepada bawahan. Padahal Jokowi yang notabene “bos” dari seluruh menteri seharusnya dapat memberikan arahan yang lebih jelas dan tegas dalam penanganan Covid-19.

Tindakan naik pitam Jokowi dalam video yang akhir-akhir ini menjadi sorotan, nyatanya tak akan mampu menelurkan solusi tanpa adanya realisasi. Dibutuhkan sikap proaktif kepala negara dan jajaran kabinetnya agar dapat menyelesaikan permasalahan wabah yang didasarkan pada aturan hakiki sehingga dapat berperan sebagai solusi.

Adapun solusi paripurna dan luar biasa yang dipastikan mampu untuk memecahkan berbagai problematika di tengah masyarakat adalah Islam. Terlebih saat kondisi pandemi yang dampaknya sudah menjalar ke berbagai aspek kehidupan.

Secara terperinci Islam mengatur bagaimana tatacara negara menghadapi pandemi, yang dimulai dengan sistem lockdown sebagai pangkal solusi. Dengan menutup pintu dari berbagai sisi, artinya negara tidak melulu hanya berorientasi kepada ekonomi. Namun lebih mengupayakan pada aspek kesehatan rakyatnya. Karena dalam Islam, satu jiwa manusia lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis yang artinya:
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455 dan dishahihkan al-Albani).

Adapun khalifah -kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam-, berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (perisai/pelindung rakyat). Dimana wajib bagi seorang khalifah memiliki kapabilitas kepemimpinan, yang sejatinya mampu menjadi penentu keputusan secara tunggal. Begitu pula dengan para pejabat pemerintahan, yang dalam hal ini bertugas untuk membantu khalifah dalam menjalankan urusan pemerintahan dan administrasi negara, haruslah dipilih berdasarkan kapasitas kecakapan dan beberapa syarat mutlak lain yang berorientasi untuk menjalankan amanah sebagai bentuk ketaatan kepada seorang khalifah. Dan dipastikan, ketaatan tersebut merupakan refleksi ketakwaan pada Sang Pemilik Aturan Semesta, Allah Al-Mudabbir.

Sistem pemerintahan dijalankan Khalifah beserta para pembantu pelaksananya secara terorganisir, karena kebijakan yang ditetapkan hanya mengacu pada aturan hukum syara. Tidak ada istilah pelemparan tanggung jawab maupun upaya cuci tangan dari kesalahan, seperti yang terjadi pada sistem pemerintahan saat ini.

Begitu sempurna dan luarbiasanya Islam dalam mengatur segala aspek kehidupan, termasuk sistem pemerintahan yang berkorelasi pada ketakwaan. Sistem pemerintahan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. yaitu sistem pemerintahan Khilafah ala minhaj Nubuwwah.
Wallahu’alam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *