Oleh: Neng Ranie SN (Aktivis Muslimah)
Jika kita mendengar istilah agraris mungkin hal pertama yang terlintas adalah kata pertanian. Agraris merupakan sektor bidang pertanian. Disebut negara agraris karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian.
Tak hanya sebagai negara maritim, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani atau bercocok tanam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2019 pertanian merupakan sektor lapangan pekerjaan yang masih mendominasi sebesar 27,33 persen, dibandingkan sektor perdagangan (18,81 persen) dan industri pengolahan (14,96 persen). (kominfo.go.id)
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah sekaligus juga dianugerahi wilayah yang subur untuk ditanami segala jenis tumbuhan. Berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) luas lahan baku sawah terdapat 7.463.948 hektar lahan baku sawah. (m.liputan6.com, 04/02/2020)
Luasnya lahan pertanian Indonesia diharapkan dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat secara menyeluruh. Dengan julukan sebagai negara agraris, Indonesia seyogianya dapat menghasilkan bahan pangan sendiri.
Harapan tersebut sangat kontradiktif dengan realitas yang terjadi saat ini. Mirisnya, sebagian bahan pangan yang semestinya dapat diproduksi sendiri seperti beras, gula, sayur-mayur, dan garam masih diimpor. Setiap tahun pemerintah mendatangkan produk impor dari beberapa negara guna memenuhi kebutuhan domestik.
Seperti dalam hal impor garam, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, Safri Burhanudin mengatakan, meskipun ada peningkatan perluasan lahan produktif, yang sebelumnya hanya 25.000 hektar kini mencapai 30.000 hektar, masih belum mampu memenuhi kebutuhan garam yang sebesar 4,5 juta di tahun 2020. (cnbcindonesia.com, 31/05/2020)
Sementara untuk sayuran, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur-sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS).
Merespon hal tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto mengatakan, angka tersebut didominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokannya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri. volume impor bawang putih mencapai 38,62 persen dari total nilai impor seluruh jenis sayuran, disusul kentang olahan industri, bawang bombai, dan cabai kering. Alasannya pun sama, belum dapat memenuhi kebutuhan bawang putih nasional yang mencapai 580.000 ton per tahun, meski produksi naik dari 49.000 ton menjadi 88.000 ton. (kompas.com, 25/05/2020)
Ketergantungan Indonesia pada impor beras bukanlah sebuah cerita baru. Ironis memang, sebagai negara agraris yang besar masih terus bergantung terhadap impor selama bertahun-tahun lamanya. Pemerintah seharusnya melindungi dan memperhatikan kesejahteraan para petani, terlebih pada situasi pandemi seperti saat ini. Bukan malah membuat sengsara mereka dengan kebijakan impor yang berlebihan.
Kebijakan pemerintah yang terus melakukan impor pangan pun menimbulkan pertanyaan. Apa memang benar-benar karena produksi dalam negeri yang terbatas atau dikarenakan adanya keuntungan dalam perdagangan luar negeri? Jika ketergantungan impor pangan ini dibiarkan, maka sungguh kedaulatan pangan itu akan menjadi angan-angan kosong.
Berbeda sekali dengan Islam, mewajibkan negara berdaulat dalam kebutuhan pokok rakyat berupa papan, sandang dan pangan. Termasuk produk-produk strategis lainnya.
Sektor pertanian menjadi sumber primer perekonomian dalam negara khilafah di samping perdagangan, industri juga jasa. Di sinilah peran negara dalam hal periayahan terhadap rakyatnya demi ketersediaan pangan. Swasembada pangan merupakan salah satu pilar ekonomi demi terwujudnya kemandirian dan kewibawaan negara.
Negara akan berupaya meningkatkan produksi dengan menjaga ketersediaan lahan dan produktivitasnya. Mengharamkan pengalihan lahan pertanian menjadi pemukiman. Kemudian menghidupkan kembali lahan mati yaitu lahan yang tidak ada bekas produktifnya. Pengambil alih tanah yang telah ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya untuk didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya dengan memperhatikan pemerataan secara adil tentunya.
Selain itu, negara juga menjamin pendistribusian pangan ke seluruh wilayah. Peran negara untuk membangun sarana prasarana yang dibutuhkan, juga teknologi pasca panen yang memadai agar dapat mempercepat terdistribusinya pangan. Sehingga dapat mengantisipasi kerusakan pangan dan membuat harga jual produk menjadi terjangkau. Menindak segala praktik monopoli dan kartel-kartel guna meminimalkan melonjaknya harga pangan.
Tak hanya itu, khalifah pun memiliki kebijakan politik luar negeri. Pengaturan syariat Islam dalam perdagangan luar negeri ini, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan. Negara akan memutus perjanjian-perjanjian bersama negeri-negeri kafir harbi fi’lan. Sehingga negara mampu mandiri tanpa adanya intervensi dari negara asing.
Keterikatan pada syariat Islam kafahlah yang mampu memperbaiki keran bocor kebijakan impor. Dengan menerapkan sistem Islam, niscaya akan terwujud kedaulatan pangan negara atas rakyatnya tanpa adanya ketergantungan dari pihak mana pun.
Wallâh alam bi ash-shawâb.