Oleh : Ummu Farras (Pemerhati sosial dan Aktivis Muslimah Kota Cilegon)
Isu Radikalisme yang deras menghantam umat Islam, terus menerus di ‘panas’ kan. Isu itu kini bermetamorfosis menjadi isu Islam Intoleran. Secara tersirat penguasa menuduh langsung kepada umat Islam bahwa umat Islam tidak toleransi terhadap agama lain (Intoleran). Ini merupakan fitnah keji terhadap umat Islam. Seperti diberitakan tempo.co, Wakil Presiden terpilih Ma’ruf Amin berpesan agar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi garda terdepan dalam melawan intoleransi, radikalisme, dan khilafah di Indonesia.
“PKB harus ada di depan untuk menangkal berkembangnya paham-paham radikalisme, intoleransi, maupun paham khilafah,” kata Ma’ruf di The Westin Hotel, Nusa Dua, Bali, Rabu, 21 Agustus 2019.
Mengapa berbagai tuduhan dan fitnah keji penguasa selalu ditujukan kepada umat Islam?
Isu radikalisme, intoleransi, dan paham khilafah, ditujukan langsung kepada umat Islam karena penguasa memiliki sebuah tujuan. Yaitu mendiskreditkan ajaran Islam.
Lalu apakah benar Islam itu Intoleran?
Jawabannya adalah Islam merupakan agama yang sangat menjunjung toleransi. Dalam sejarah emas kedigdayaannya, Islam tidak pernah membedakan suku bangsa, ras, warna kulit, dan latar belakang seluruh umat manusia. Allah SWT menurunkan syari’at Islam kepada Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka. Allah SWT berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya: 107)
Syari’at Islam memiliki berbagai panduan paripurna bagaimana menangani dan mengurusi urusan kaum muslim, juga non muslim yang hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Terbukti sepanjang masa keemasan Islam selama hampir 14 abad lamanya, kaum muslim dan non-muslim hidup berdampingan, penuh keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Dalam syari’at Islam, warga negara Khilafah yang non muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di dalam Khilafah sebagai warga negara (Daulah Khilafah), dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
T.W. Arnold, dalam bukunya “The Preaching of Islam” , menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Inikah yang disebut Intoleran?
Berbagai fitnah yang dilayangkan kepada umat Islam, tidak terlepas dari kepentingan para penjajah barat untuk mengintervensi akidah kaum muslimin. Menggempur pemahaman umat Islam agar keluar dari koridor syari’at Islam. Siang dan malam mereka mencari celah untuk mengusik akidah kaum muslimin. Berbagai manuver pun di lepaskan. Menggulirkan pemahaman Islam Intoleran ke tengah-tengah umat, dengan tujuan meracuni pemahaman umat untuk menyamakan semua agama. Mereka menginginkan umat terkontaminasi paham Pluralisme dalam beragama yaitu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Dan ini jelas bertentangan dengan akidah kaum muslimin. Karena sesungguhnya hanya Islam satu satunya agama yang haq disisi Allah SWT, dan Islam agama yang paling sempurna dan diridhoi Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ
“Sesungguhnya agama yang haq disisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. al-imron : 19)
Juga firman Allah SWT :
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah sempurnakan nikmat-ku untuk kalian, dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (TQS. Al-Maidah : 3)
Toleransi di dalam Islam tentunya toleransi yang tidak melanggar batas akidah. Bukan toleransi kebablasan dengan memperbolehkan mengucap selamat Natal, menggunakan atribut Natal, mengucap hari raya agama lain, memakai atribut agama lain, dan hal serupa itu. Jikalau begitu, tentu haram hukumnya di dalam Islam.
Rasulullah SAW telah mencontohkan bagaimana tegasnya beliau ketika toleransi dikaitkan ke ranah akidah.
Di zaman dahulu, tokoh-tokoh Quraisy al-Walid bin Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin Abdul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf, mengatakan kepada Nabi Muhammad SAW,
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir al-Qurthubi)
Inilah toleransi yang ditawarkan oleh orang-orang Quraisy di zaman Nabi SAW. Mereka mengajak Nabi SAW saling menerima ajaran agama, mengambil hal-hal yang baik yang ada pada agama mereka, dan menghormati kesyirikan yang mereka lakukan. Inilah jalan damai yang mereka tawarkan, agar Nabi Muhammad SAW tidak terus menyerukan dakwah yang (menurut mereka) menimbulkan perpecahan di kalangan kabilah-kabilah Quraisy yang sebelumnya saling menghormati. Lalu Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjawab ajakan orang-orang Quraisy tersebut dengan menurunkan surat:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (TQS. Al-Kafirun: 1-6)
Segala kebijakan yang diambil para penguasa di negeri kapitalis ini, tidak terlepas dari jebakan kepentingan barat terhadap negeri. Selain karena kepentingan ekonomi yaitu untuk menjajah negeri-negeri yang ‘kaya raya’, mereka juga memiliki misi untuk menghancurkan kaum muslim dan tak sudi melihat kaum muslim kembali kepada masa kejayaannya. Jadi lewat ‘kaki-tangan’ nya di negeri ini, muncullah kebijakan kebijakan yang seiring sejalan dengan keinginan penjajah barat. Rezim sekular liberal saat ini dijadikan alat untuk mengeksekusi langsung rakyatnya sendiri. Seharusnya, pemimpin negeri berpihak pada rakyatnya. Karena tugas pemimpin sebagai pelayan umat, dan mengurusi semua permasalahan umat. Bukan berpihak pada penjajah asing yang merusak negeri. Harusnya, para pemimpin berani melawan penjajah asing yang jelas-jelas merusak negeri, bukan jadi pecundang, yang hanya berani melawan rakyat sendiri. Semakin jelas kerusakan negeri akibat sistem sekular liberal saat ini. Maka, sudah semestinya kita bangkit memperjuangkan Janji Allah SWT yang pasti, yaitu tegaknya kemuliaan Islam, dalam naungan Khilafah Islamiyah yang akan menebar Rahmat bagi seluruh alam semesta.
Wallahu’alam bisshowwab