Islam Dikubur, Relakah Kita?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Retno Puspitasari, S.Si

Khilafah. Kata-kata ini seolah menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Kementerian Agama RI bahkan sampai melakukan perubahan pada kurikulum agama di tingkat madrasah aliyah. Perubahan kurikulum ini ditetapkan dalam KMA No. 183 dan 184 tahun 2019. Beberapa perubahan itu diantaranya terkait istilah jihad dan khilafah.

Al Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al ‘Asqalani menjelaskan dalam kitab Fathul Baari bahwa jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir. Namun dalam kurikulum ini, makna syar’i tidak ditonjolkan. Makna istilah lebih dominan penggunaannya, yaitu bersungguh-sungguh dalam menuntaskan aktivitas kehidupan. Pembahasannya pun dialihkan dari mata pelajaran fikih ke sejarah kebudayaan Islam. Begitu juga untuk pembahasan Khilafah. Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum pemerintahan Islam yang meliputi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Namun materi ini tidak lagi dibahas dalam perspektif fikih, hanya dipelajari sebagai sejarah karena dianggap tidak relevan diterapkan di Indonesia.

Khilafah dan Jihad, Spirit Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Ajaran tentang khilafah dan jihad selalu diopinikan secara negatif oleh sebagian kalangan. Padahal faktanya, jihad dan khilafah berhubungan erat dan berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya yang terjadi di Yogyakarta.

Saat membuka Konferensi Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI tahun 2015 yang lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengungkapkan hubungan Khilafah Utsmaniyah dengan tanah Jawa.
HB X menyatakan bahwa Sultan Turki yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai khalifatullah di Jawa. “Perwakilan Khilafah Turki di Tanah Jawa, ditandai dengan penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka’bah bertuliskan kalimat tauhid, dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasulullah,” tuturnya.

“Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki,” tambah Sultan.

Apa yang disampaikan Sultan dalam kongres umat Islam itu menjelaskan adanya hubungan antara kekhalifahan Turki dengan kerajaan Islam di Nusantara. Pemberian bendera itu menandakan kerajaan di Indonesia diakui sebagai bagian dari kekhalifahan. Setelah kerajaan Demak runtuh, berlanjut hingga sampai ke Keraton Yogyakarta. Sultan menyebut duplikat bendera itu disimpan di Kraton Yogya.

Khilafah Ustmaniyah juga peduli dengan kondisi Nusantara yang sedang dijajah Belanda. HB X menyebutkan pada 1903 saat dilakukan kongres khilafah di Jakarta, Sultan Turki mengutus M Amin Bey yang menyatakan haram hukumnya penguasa Muslim tunduk pada Belanda. Ia juga menyebut atas dorongan Sultan, salah satu abdi ngarso dalem kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah. “Dialah KH Ahmad Dahlan!” tegasnya. (radarjogja.jawapos.com, 2015). Ini baru salah satu kota. Jika diteliti, ternyata kekhilafahan juga menjalin hubungan baik dengan banyak kerajaan Islam di Nusantara, dengan perannya yang tidak bisa dianggap remeh.

Namun mengapa ajaran islam tentang kepemimpinan ini diopinikan negatif?

Eksistensi khilafah islamiyah yang saat itu menjadi negara super power tentu saja mengusik negara-negara kufar. Wilayah khilafah Islamiyah menjadi semakin luas dengan jihad sebagai politik luar negerinya. Namun konsep jihad ini berbeda dengan konsep penjajahan yang dilakukan negara Barat. Dakwah yag dilakukan sebelum mengimkan pasukan jihad membuat banyak negeri sukarela bergabung menjadi bagian Khilafah Islamiyah. Baik mereka masuk Islam maupun tetap dalam kekafirannya dengan membayarkan jizyah.

Ambisi untuk menghancurkan Khilafah Ustmaniyah oleh Barat tidak terlepas dari dendam mereka yang berkaitan dengan Perang Salib yang dulu terjadi.  Beberapa abad setelah berakhirnya Perang Salib, kaum Muslim bangkit. Pada abad 15 M, kaum Muslim menyerang Barat sampai berhasil membebaskan Konstantinopel. Kemudian disusul berbagai pembebasan pada abad 16 M, yang merambah Eropa Selatan dan Timur, hingga berhasil membawa Islam ke negeri-negeri tersebut. Berjuta-juta bangsa Albania, Yugoslavia, Bulgaria dan bangsa lainnya berbondong-bondong memeluk Islam. Hal inilah yang kian membuat Barat marah dan dendam kepada kaum Muslim.

Permusuhan  salib terpendam dalam seluruh jiwa bangsa Barat, apalagi Eropa, khususnya Inggris. Permusuhan yang mengakar dan dendam yang sangat hina inilah yang menciptakan strategi jahanam untuk melenyapkan Islam dan kaum Muslim.

Strategi melawan Khilafah ustmaniyah secara fisik tidak membuahkan hasil. Akhirnya diubahlah strategi perang fisik dengan perang pemikiran. Kondisi lemahnya pemahaman kaum muslimin tentang Islam, karena ditinggalkannya bahasa arab, memudahkan kaum kafir memasukkan pemikirannya ke tubuh kaum muslimin. Kaum muslimin dibuat melecehkan hukum-hukum Islam dan bangga menggunakan hukum-hukum Barat. Sampai akhirnya hancurlah Khilafah Turki Ustmani di tangan Mustafa kemal Attaturk atas bantuan Inggris.

Jadi saat ini upaya untuk menutup-nutupi ajaran Islam yang sesungguhnya, termasuk Khilafah dan jihad, merupakan upaya untuk mengubur dan mengaburkan Islam dari kaum muslimin agar tidak bangkit lagi. Apakah kita rela?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *