Oleh: Ema Fitriana Madi, S.Pd. (Aktivis Muslimah dari Kendari)
Islamophobia telah melanda seluruh dunia tak terkecuali negeri-negeri muslim termasuk Indonesia. Kebijakan demi kebijakan yang anti terhadap Islam semakin menjadi-jadi. Negara kiblat demokrasi, Amerika Serikat misalnya, sejak tahun 2017 dibawah pemerintahan Presiden Donald Trump melahirkan suatu kebijakan pemerintah Amerika yang melarang warga dari beberapa negara yang mayoritas penduduknya muslim memasuki Amerika itu benar-benar menyisakan pilu luar biasa (voaindonesia.com, 13/10/2019).
Di Cina, penahanan etnis muslim uighur terus bertambah dan makin mengkhawatirkan. Peristiwa kekerasan dan penggerebekan ramai terjadi dengan fitnah klasik yang kotor dan keji, yaitu terorisme. “cuci otak” yang merusakpun berlangsung di kamp.
Beralih ke India, Menteri Narendra Modi mengesahkan Undang-Undang (UU) Amandemen Warga Negara atau Citizenship Amendment Bill (CAB), yang dianggap anti-Muslim. Dalam isinya, UU Amandemen Warga Negara itu yaitu memungkinkan imigran ilegal non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan untuk mendapatkan kewarganegaraan. Namun, umat Muslim India akan diharuskan untuk membuktikan bahwa mereka memang adalah warga negara India. Sehingga ada kemungkinan warga Muslim India justru akan kehilangan kewarganegaraan tanpa alasan. Parahnya, aturan ini tidak berlaku untuk agama lain, karena ada kejelasan alur dalam UU tersebut. Hal ini menimbulkan reaksi protes hingga rusuh besar-besaran (cnbcindonesia.com, 15/12/2019).
Belum lagi berbicara peristiwa di Palestina, Suriah, dsb. bahkan Indonesia sekalipun. Sungguh pelajaran berharga bahwa toleransi yang selama ini dikampanyekan oleh negara imperialis barat hanya manis dimulut saja. Para penguasapun diam dan hanya sibuk mengecam tanpa ada tindak tegas. Lalu bagaimana mungkin demokrasi menjadi harapan, jika yang ada adalah keberpihakan yang semu, malah penuh pengkhianatan?!
Islamophobia Adalah Produk Barat
Istilah Islamofobia sendiri telah ada sejak tahun 1980an dan kemudian menjadi populer pasca serangan 11 September 2001. Seorang Inggris bernama Runnymede Trust (2007) mendefinikan Islamofobia sebagai “rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim,” dinyatakan bahwa hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Di dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama. Langkah-langkah telah diambil untuk peresmian istilah ini dalam bulan Januari 2001 di “Stockholm International Forum on Combating Intolerance”. Di sana Islamofobia dikenal sebagai bentuk intoleransi seperti Xenofobia dan Antisemitisme (wikipedia.org). Dari sini jelaslah bahwa islamophobia sengaja dihadirkan barat untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Padahal hakikatnya Islamophobia merupakan wujud dari ketakutan mereka terhadap muslim yang masih mempertahankan nilai-nilai Islam ditengah masyarakat apalagi di era milenial dimana akses informasi begitu hebat didapatkan. Selain itu, Islamophobia digunakan untuk menutupi kegagalan para penguasa lantaran mengambil Demokrasi kapitalisme yang sekuler sebagai solusi.
Islam Rahmatan lil ‘alamin
Allah SWT Sang Pencipta alam semesta dengan segala isinya berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَـكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِّلْعَـلَمِين
“Kami tidak mengutus Kamu (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”(QS. Al-Anbiya’: 107)
Arti rahmat adalah jalbul mashalih wa dar ul mafasid, yaitu mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan. kemaslahatan dan tertolaknya kemafsadatan ini akan bisa diraih dan diwujudkan jika Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh dan utuh), bukan sepotong-sepotong atau setengah-setengah, yaitu dengan penerapan Islam diseluruh aspek kehidupan.
Bukan hanya di aspek pemuasan spiritual dan ritualnya saja, seperti akidah dan ibadah, tetapi juga politik/siyâsiyyahnya yang meliputi seluruh urusan keduniaan, seperti sistem pemerintahan; ekonomi; sosial; budaya; pendidikan; sanksi hukum; politik dalam dan luar negeri dalam meraih kemaslahatan dimasa depan. Nah, disanalah urgensi diterapkannya Syariah dan Khilafah.
Dalam sejarah Khilafah dikenal dengan sebutan the gloden age era atau era keemasan dunia, Dibawah naungan Khilafah selama 1300 tahun, kaum muslim maupun non muslim hidup sejahtera.
Dibidang pendidikan, khilafah memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu. Beberapa lembaga itu berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi dan al-Firdausi. Kejayaan ekonominyapun tak diragukan lagi dalam sejarah. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khaththab ra. selama 10 tahun. tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman.
Umar pun memberikan gaji yang besar kepada pegawai negara. Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Sampai-sampai tak ada lagi orang miskin yang berhak menerima zakat. Belum lagi dalam bidang teknologi, kesehatan, militer, keamanan, pertanian dan masih banyak lagi.
Walhasil, di saat Khilafah tengah diperjuangkan kembalinya di tengah umat, maka jalan satunya-satunya menghadapi islamofobia adalah istiqamah menepaki jalan dakwah ‘ala minhaji an nubuwwah. Dengan dakwah yang masif, akan terbuka mata umat akan kemuliaan Islam. Islam bukan agama teroris ataupun radikal,. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Hanya dengan Islam, kehidupan manusia akan mulia. wallahua’lam.