Ironi Pendidikan dalam Sistem Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Alinda Aura (Pelajar )

Dilansir dari laman Kompas.com, 13/9/2020, pasangan suami istri yang terbukti tega membunuh anak perempuannya, akhirnya ditangkap pada Sabtu (12/9/2020). Mereka tega menganiaya bocah malang berusia 8 tahun tersebut hingga tewas.

Pelaku yang merupakan orangtua korban tega menghilangkan nyawa sang anak pada 26 Agustus lalu. Sang ibu, yang berinisial LH melakukan tindakan itu lantaran kesal karena korban tidak kunjung mengerti materi sekolah yang diajarkan secara daring. Wanita itu menganiaya anaknya dengan cara mencubit dan memukul bagian belakang kepala korban sebanyak tiga kali.

Merasa panik, pasutri itu akhirnya memutuskan untuk membawa jenazah korban ke Cijaku, Lebak, Banten. Mereka mengendarai sepeda motor untuk mengubur si anak. Penyebab pembunuhan itu diduga lantaran sang ibu merasa sangat geram, karena korban sulit memahami materi pelajaran.

Mengkritisi Sistem Pendidikan Saat Ini

Dampak pandemi Covid-19 memang sangat mempengaruhi kehidupan rakyat. Salah satu yang sangat dirasa adalah himpitan ekonomi yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan primer semakin sulit. Belum lagi, pengeluaran biaya untuk membeli smartphone demi kelangsungan pembelajaran jarak jauh. Ditambah keperluan kuota internet, yang tentu saja semakin membebani masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.

Konflik kian runyam saat anak-anak sulit memahami materi sekolah. Hal itu, pastinya membuat orang tua menjadi jengkel dan stres saat membimbing kelangsungan pembelajaran. Belum lagi tuntutan hasil ujian yang harus sesuai dengan target yang telah ditentukan. Standar nilai bagus membuat setiap siswa yang notabene memiliki kemampuan dan keahlian yang berbeda-beda, mau tidak mau harus disamaratakan.

Ironisnya, ada seorang siswi SMA yang sampai bunuh diri hanya karena merasa tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Tidak salah jika di luar sana muncul anggapan bahwa nilai di atas kertas adalah segalanya.

Mencermati kasus demi kasus yang terjadi selama ini. Sebenarnya, tidak mengherankan apabila saat ini muncul generasi yang lebih mengedepankan nilai tinggi daripada proses pencapaian yang seharusnya lebih diutamakan.

Fakta di atas mencerminkan hasil pendidikan dari sistem demokrasi kapitalisme. Sistem ini menjadikan pendidikan sebagai salah satu penggerak ekonomi. Semua model pendidikan yang dirasa oleh penguasa bisa mendukung pertumbuhan ekonomi akan diutamakan. Seperti pendidikan vokasi atau kampus merdeka 4.0 yang belum lama ini dikampanyekan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim (Tempo.co, 25/1/2020).

Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan kini memang diarahkan untuk kepentingan ekonomi semata. Bukan untuk memahami ilmu pengetahuan, atau membentuk akademisi yang kepribadian dan berkarakter.

Anak pun akan lebih berbangga diri ketika mendapatkan nilai yang tinggi walaupun dengan cara menyontek, dibanding mendapat nilai seadanya karena hasil diri sendiri. Ini tentu disebabkan oleh tuntutan dari pihak sekolah dan orang tua mereka yang menargetkan nilai yang memuaskan. Hal ini akan berakibat anak mengalami stres. Selain itu, yang kerap terjadi adalah minusnya akhlak pada anak. Sehingga, lahir generasi yang tidak bermoral dan minim pengetahuan agama.

Maka tidak heran jika hasil dari pendidikan sistem kapitalisme yang kini terjadi, berbanding terbalik dengan sistem pendidikan Islam. Dalam sistem Islam, terdapat pendidikan tsaqafah Islamiyah sebagai pemahaman agar bisa diterapkan dalam kehidupan.

 

Islam Mewujudkan Pendidikan dengan Iptek dan Imtak

Rentetan peristiwa tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi di alam demokrasi kapitalisme. Bahkan, kejadian seperti itu akan terus berulang. Berkaca pada sistem pendidikan yang saat ini digunakan, yang nyatanya pendidikan hanya diarahkan untuk kepentingan para komprador.

Belajar dari peradaban Islam yang pernah berjaya, di mana para cendekiawan muslim bertebaran memberikan inovasi-inovasi yang cemerlang dalam bidang Iptek maupun Imtak. Sebut saja ilmuwan-ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Jabir Bin Hayyan, dan yang lain. Mereka juga tidak hanya cerdas dalam bidang ilmu konvensional, tetapi juga paham ilmu agama.

Hal yang paling berpengaruh mengapa pada saat itu terjadi kejayaan dalam bidang pendidikan adalah karena diterapkannya sistem pendidikan Islam. Sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam sistem pendidikan. Negara mendukung penuh pembangunan pendidikan (baik anggaran maupun fasilitas untuk pengembangan iptek). Negara bersungguh-sunguh memberikan pelayanan pendidikan dasar dan menengah karena negara paham bahwa menuntut ilmu adalah hak setiap warga.

Negara menerapkan sistem politik dan ekonomi sesuai syariat. Sejarah mencatat bahwa dengan menerapkan sistem Islam, masyarakat bisa menikmati pendidikan berkualitas dan gratis. Pada saat itu juga, sistem pendidikan dibuat agar anak menggeluti bidang yang memang ia minati dan kuasai. Faktor ini juga yang membedakan, di mana saat ini setiap anak diminta menguasai hampir seluruh bidang pelajaran, tanpa memikirkan kemampuan yang berbeda-beda dari tiap anak.

Melihat kembali pada kondisi kini, yang tampaknya jauh berbeda dengan tujuan dan cara yang sudah seharusnya diterapkan dari sistem yang paling sempurna dan paripurna, yaitu Islam.

Maka dari itu, jika tidak ingin kembali melihat kalangan bawah yang terus-menerus menjadi korban karena ketidaksamaan hak, baik dari segi fasilitas maupun pelayanan sistem pendidikan, maka sudah seharusnya kita mengganti sistem yang rusak ini dengan solusi mendasar, yakni sistem Islam Kaffah. Agar hak setiap individu bisa terpenuhi. Karena seluruh ajaran maupun cara-cara yang datang dari Islam berasal dari Sang Pencipta yang sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia.

Wallahu A’lam Bishawab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *