Ironi Nasib Buruh dalam Sistem Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Ironi Nasib Buruh dalam Sistem Kapitalisme

Oleh: Iffah Komalasari

(Pengajar di STT Hagia Sophia Sumedang) 

 

Panas. Pembahasan kenaikan upah minimum sedang panas-panasnya belakangan ini. Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia, Subchan Gatot, mengungkapkan bahwa Dewan Pengupahan sudah melakukan sidang hampir setiap hari bahkan di hari Minggu pun ada rapat khusus pengupahan. Tahun ini rencananya APINDO ingin membuat skala upah pekerja yakni mengikuti PP nomor 51 tahun 2023.

 

Gencar diwacanakan bahwa akan ada kenaikan gaji bagi buruh dengan masa kerja lebih dari setahun dengan skala antara 1-3% sesuai kemampuan perusahaan. Ini dilakukan dengan anggapan bahwa perusahaan akan memiliki ruang untuk tumbuh jika upah minimum tidak terlalu tinggi. Dulu sebelum pandemi saja, banyak perusahaan hengkang padahal kenaikan upah tinggi hanya di kisaran 8% per tahun. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam menyebut bahwa sebelumnya Indonesia sempat menjadi tujuan investasi utama bahkan mengalahkan perusahaan lain, namun kondisi ini berubah ketika buruh menuntut banyak kenaikan (cnbcindonesia.com, 7/11/2024).

 

Akar Masalah Upah Buruh yang Tidak Pernah Selesai

 

Sungguh memprihatinkan, permasalahan upah bak benang kusut yang tidak pernah menemukan titik keadilan. Pada saat para pengusaha senantiasa membuat strategi bagaimana bisa mengupah buruh seminimum mungkin, maka sesuatu yang logis jika para buruh akan menuntut kenaikan gaji mereka.

 

Logika berpikir seperti ini wajar terjadi dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Kapitalisme. Kapitalisme adalah ideologi batil karena berdiri di atas aqidah pemisahan agama dari kehidupan (Sekulerisme). Aturan-aturan ini lahir dari ideologi yang bukan berasal dari agama melainkan orientasi materi semata. Karena prinsip inilah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Islam Bab Qiyadah Fikriyah menjelaskan bahwa para pengusaha-lah (para kapital) yang menjadi penguasa sesungguhnya.

 

Hal ini adalah sebuah kebatilan yang pada akhirnya akan membawa kesengsaraan bagi umat khususnya bagi para buruh.

Kapitalisme menjadikan negara berdiri di sisi pengusaha karena pengusaha dianggap pihak yang menumbuhkan perekonomian sementara rakyat sekadar buruh. Tentu saja kondisi negara seperti ini pasti menyengsarakan buruh.

 

Lebih dari itu, kapitalisme memang sejak awal sudah melahirkan prinsip bisnis yakni dengan modal sekecil-kecilnya namun bisa menghasilkan untung sebesar-besarnya. Dalam pandangan Kapitalisme, buruh dipandang sebagai bagian dari faktor produksi yang upahnya harus ditekan sedemikian rupa untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Tentu saja dengan konsep upah tersebut menjadikan buruh hidup dalam keadaan minim/ pas-pasan karena gaji mereka akan disesuaikan dengan standar hidup minimum tempat mereka bekerja.

 

Alhasil, sekeras apapun para buruh ini bekerja, mereka tetap saja tidak akan pernah bisa melampaui standar hidup masyarakat yang layak. Sementara buruh harus menghadapi realita bahwa kebutuhan pokok dan publik masyarakat mereka di monopoli dan di liberalisasi oleh para penguasa (mafia) dan negara kapitalisme berlepas tangan atas monopoli dan liberalisasi ini. Sementara gaji dari pekerjaan mereka tidak mencukupi, namun masyarakat sudah terjerat dengan beban hidup yang tinggi. Karena itu, tidaklah mengherankan dan memang logis jika buruh menuntut kenaikan gaji. Inilah yang menjadi akar masalah sistem upah buruh dalam sistem kapitalisme yang sejatinya tidak pernah bisa diselesaikan.

 

Islam Memberi Keadilan Kepada Buruh

 

Berbeda dengan Kapitalisme, dalam pengaturan masalah upah buruh, Islam mampu menciptakan keadilan antara kaum buruh dengan para pengusaha. Islam telah menempatkan buruh dan pengusaha dalam kondisi yang sama yakni keduanya wajib taat pada syariat-Nya sebagai hamba Allah Ta’ala. Konsep ini tidak akan ditemukan dalam sistem kapitalisme yang menihilkan prinsip ruhiyyah.

 

Selain itu, konsep ini akan menghilangkan kastanisasi antara buruh dan pengusaha sebagaimana yang terjadi dalam kapitalisme. Karena memiliki banyak materi (kekayaan), maka pengusaha ditempatkan pada level yang tinggi sehingga semua kemauannya dituruti. Sementara buruh dianggap kasta rendah karena lemah secara materi (kekayaan) sehingga mau tidak mau dipaksa harus patuh pada kehendak pengusaha.

 

Dalam Islam, buruh dan pengusaha terikat dalam kontrak (aqad) ijarah. Aqad ijarah adalah transaksi terhadap jasa tertentu dengan suatu kompensasi (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Nizham Al-Iqtishady). Dengan konsep ini baik buruh maupun pengusaha dituntut untuk berbuat adil dan tidak saling menzalimi di antara mereka. Satu sisi buruh harus menjalankan kewajibannya kepada pengusaha yang telah menyewa jasanya seperti bekerja sesuai kesepakatan, tidak boleh berbohong atau curang dan sebagainya. Di sisi lain, pengusaha wajib memberi upah buruh sesuai akad yang telah disepakati.

 

Standar upah yang diatur oleh Islam adalah upah disesuaikan dengan manfaat yang buruh berika. Bukan disesuaikan dengan kebutuhan regional minimum. Konsep upah seperti ini membuat buruh bisa memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan keluarganya secara ma’ruf. Konsep ini juga akan memberikan kesempatan kepada buruh agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan gaji yang telah dia dapatkan dari pekerjaannya.

 

Islam telah mensyariatkan bahwa negara wajib menjamin secara langsung alias menggratiskan kebutuhan dasar publik. Seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara akan menghilangkan politik monopoli dan liberalisasi terhadap kebutuhan dasar publik yang dilakukan para mafia sehingga nantinya para buruh hanya memikirkan kebutuhan pokok mereka saja dengan harga yang sangat terjangkau. Artinya akan memudahkan para buruh memenuhinya.

 

Sesungguhnya, Islam telah mengatur prinsip-prinsip berbisnis dalam syariat muamalah. Sekalipun para pengusaha menjalankan bisnis mereka berdasarkan qimah Madiyah (mendapat keuntungan materi) namun para pengusaha ini tidak akan menzalimi buruh dan tidak menganggap buruh sebagai faktor produksi. Jika terjadi perselisihan antara buruh dan pengusaha dalam menetapkan upah, akan ada pakar (khubara’) yang dipilih untuk menentukan upah sepadan (ajr al mitsl). Adapun jika keduanya tidak bersepakat dalam penentuan upah tersebut maka negara-lah yang akan memilihkan pakar (khubara’) dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar (khubara’) tersebut.

 

Dengan syariat Islam masalah upah buruh akan terselesaikan secara adil. Namun, keadilan ini baru akan dirasakan tatkala syariat Islam telah diterapkan secara sempurna oleh Daulah Khilafah. Akankah kita hanya menunggu dan berpangku tangan? tidakkah ini layak diperjuangkan?

 

Wallahu’alam bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *