Ironi Industri Pariwisata Nusa Tenggara Barat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nur A. Lina (Pemerhati Masalah Sosial di NTB)

Banyak yang tidak tahu bahwa pariwisata sebenarnya punya sejarah cukup panjang, hingga diadopsi sebagai cara mengentaskan kemiskinan. Pariwisata dinilai sangat menjanjikan secara ekonomi, bahkan Kementerian Pariwisata telah merancang pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata di kawasan UGG. Di antara 12 Kawasan Ekonomi Khusus, empat diantaranya menjadi KEK pariwisata yaitu KEK Mandalika (NTB), KEK Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), KEK Morotai (Maluku Utara), dan KEK Tanjung Lesung (Banten).

Sejarah Pariwisata Dunia Internasional

Sejarah UNWTO berawal tahun 1925 di Den Haag dengan nama International Congress of Official Tourist traffic Association (ICOTT). Karena kurang efektif sebagai organisasi internasional non-pemerintah lembaga ini beralih menjadi organisasi antar-pemerintah. Kemudian bekerja sama dengan badan-badan internasional lain (khususnya PBB) sehingga lahirlah UNWTO pada tahun 1970. UNWTO kini bekerja sama dengan badan khusus PBB lainnya, salah satunya UNESCO Global Geopark (UGG).

Sebagai pemain utama UGG berusaha merealisasikan tujuan ke-1 dari SDGs end proverty mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana saja. Untuk mencapai tujuan ini, UGG mengadopsi konsep pembangunan ekonomi model Quintuple Helix (QuiH) yang merupakan perkembangan konsep ekonomi pengetahuan (Triple Helix) dan konsep masyarakat pengetahuan (Quadruple Helix). Model inovasi nonlinier dari QuiH dipandang akan mendukung pembentukan situasi win-win antara ekologi, pengetahuan dan inovasi, menciptakan sinergi antara ekonomi, masyarakat, dan demokrasi.

Pariwisata dan Peningkatan Kesejahteraan Provinsi NTB

Salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata di NTB adalah KEK Mandalika di Lombok Tengah. KEK Pariwisata secara khusus akan menjadi objek wisata terintegrasi (integrated area tourism) antara wisata alam, wisata budaya hingga wisata MICE (Meeting, Incentives, Convention, and Exhibitions). Dengan demikian KEK pariwisata diharapkan mampu berkontribusi pada peningkatan PDB, devisa, dan membuka kesempatan kerja (lapangan kerja baru) bagi masyarakat sekitar kawasan.

Dari sini sekilas pengarusutamaan pariwisata mampu menjadi solusi bagi problematika ekonomi yang sedang membelit suatu daerah dannegara bahkan membelit dunia. Namun perlu diingat, sesungguhnya gagasan pengarusutamaan pariwisata bukan sekadar upaya mengakhiri kemiskinan. Gagasan ini berasal dari lembaga-lembaga internasional di bawah hegemoni negara-negara kapitalis. Karena nyatanya sampai tahun 2020 ini tingkat kemiskinan di NTB masih mencapai 14 persen, jauh di atas nasional 9 persen. Terkait angka kekerdilan pada anak, Wapres mencatat NTB juga masih tinggi hingga mencapai 33 persen. Sedangkan rata-rata angka balita stunting nasional saat ini mendapai 27,67 persen.

Wajah Wisata Halal di NTB

Pemerintah NTB memang telah mencanangkan wisata halal sebagaimana diatur dalam Pergub NTB Nomor 2 tahun 2016. Akan tetapi yang dimaksud memenuhi unsur syariah masih sebatas penyediaan fasilitas ibadah yang layak dan suci dan fasilitas penunjang seperti mushola, tempat wudhu dan urinoir yang terpisah laki-laki dan perempuan.

Dengan ditetapkannya Bali, NTB dan NTT sebagai gerbang pariwisata Indonesia Timur sejak 2014 semakin banyak bermunculan tempat-tempat wisata seperti Gili, Senggigi, KEK Mandalika, Rinjani, Samota dan masih banyak lagi. Kita bisa melihat dengan mudah wisatawan asing memakai pakaian terbuka, tidak jarang memakai bikini bahkan berperilaku bebas seperti berpelukan dan ciuman tempat-tempat umum.

Indonesia termasuk dalam kategori Top 5 Destinasi Pariwisata Halal Dunia (UNWTO Highlights, 2016). Namun sungguh sayang, sistem kapitalisme menyandarkan segala sesuatunya pada materi. Yang dimaksud dengan Halal pun, bukan dinisbatkan pada syariat, namun pada permintaan pasar. Akhirnya, slogan Pariwisata Halal atau Destinasi wisata ramah Muslim hanya untuk menggaet wisatawan muslim saja.

Pariwisata dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, seluruh hukum Islam diterapkan di dalam dan ke luar negeri. Dengan begitu, kewajiban negara menegakkan kemarufan dan mencegah kemunkaran di tengah-tengah masyarakat betul-betul diterapkan. Prinsip dakwah inilah yang mengharuskan untuk tidak membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara. Termasuk melalui sektor pariwisata ini.

Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, objek-objek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-muslim, baik kafir muahad maupun kafir mustaman, objek-objek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.

Karena itu, objek wisata ini bisa menjadi sarana dakwah dan diayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Pada titik itulah, potensi yang diberikan oleh Allah ini bisa digunakan untuk menumbuhkan keimanan pada Dzat yang menciptakannya, bagi yang sebelumnya belum beriman. Sedangkan bagi yang sudah beriman, ini bisa digunakan untuk mengokohkan keimanannya. Di sinilah, proses dakwah itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan objek wisata tersebut.

Bukan Sumber Devisa

Pariwisata tidak dijadikan sebagai sumber perekonomian dalam Islam karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda. Negara yang berdasarkan Islam tidak akan mengeksploitasi bidang ini untuk kepentingan ekonomi dan bisnis, karena Islam sudah punya aturan dan mekanisme sendiri untuk sumber perekonomiannya. Ini tentu berbeda, jika sebuah negara menjadikannya sebagai sumber perekonomiannya, maka apapun akan dilakukan demi kepentingan ekonomi dan bisnis. Meski untuk itu, harus mentolelir berbagai praktik kemaksiatan.

Dengan demikian, posisi Negara dalam Islam adalah sebagai pengemban ideologi dan negara dakwah, akan tetap bisa menjaga kemurniaan ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi budaya yang datang dari luar. Pada saat yang sama, justru Negara dalam Islam bisa mengemban ideologi dan dakwah, baik kepada mereka yang memasuki wilayahnya maupun rakyat negara kafir di luar wilayahnya. Begitulah kebijakan sistem Khilafah dalam bidang pariwisata.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *