Ironi Demokrasi, Mural Berujung Amoral

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Syakira (Muslimah Peduli Negeri)

 

Polisi telah memeriksa dua orang saksi untuk mengusut mural wajah Presiden Joko Widodo yang tergambar di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang. Diketahui, mural itu memperlihatkan gambar wajah yang mirip dengan Jokowi namun pada bagian matanya ditutupi dengan tulisan 404: Not Found dan berlatar merah. (Cnnindonesia.com, 15/8/2021)

Satu kisah dari beberapa kisah mural yang menjadi viral akhir-akhir ini. Viral karena tindakan berlebih aparat terhadap mural dan pembuatnya. Bagaimana tidak, mural yang sejatinya bagian dari ungkapan seni dalam menyampaikan pendapat sekaligus hiasan yang bernilai sosial, kini demikian ditelisik karena dianggap “mengganggu”.

Menanggapi hal itu, Arsitek dan Ahli Tata Kota Bambang Eryudhawan mengatakan, pemerintah harus hati-hati dalam memperlakukan mural, grafiti atau seni jalanan (street art). Karena Mural itu sudah ada sejak dulu, bahkan sejak Orde Baru. Waktu itu jadi bagian dari media untuk menyampaikan kritik dan pendapat. Seharusnya, pemerintah tidak bersikap represif. Sebaliknya, pemerintah harus memaknai mural sebagai seni dan media seseorang dalam mengemukakan pendapat. (Kompas.com, 15/8/2021)

Sebelumnya, di Pasuruan, Jawa timur juga ada penghapusan mural yang akhirnya juga viral di media sosial. Sungguh realitas ini menunjukkan di alam demokrasi yang mengagungkan kebebasan berpendapat, tetapi dalam kenyataannya hanya semboyan. Realitas tak seindah ekspektasi, itulah pepatah kekinian yang pantas disematkan.

Demokrasi hanya memberi ruang kebebasan berpendapat dan mengkritik bila tidak mengganggu kelangsungan kursi penguasa dan tidak mengancam eksistensi ideologi yang dianut negara. Meski sebuah kebenaran yang disampaikan, tetapi akan dikriminalisasi.

Inilah wajah asli negara yang berideologi sekuler kapitalistik. Mereka alergi terhadap kritik, karena kekuasaan baginya adalah untuk melanggengkan syahwat  politik demi meraih kesejahteraan bagi penguasa dan kroninya. Wujud timbal balik atas jasa mereka dalam memodali penguasa saat pemilu berlangsung yang berbiaya mahal, sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan kerjasama dengan para kapital bermodal besar. Inilah simbiosis mutualisme antara penguasa dan para pemodal dalam kepemimpinan ala kapitalisme sekuler. Sehingga kritik yang dianggap bisa memunculkan ancaman bagi kekuasaan mereka akan ditumpas, walau hanya berbentuk mural.

Islam Terbuka Terhadap Kritik

Sangat jauh berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam dalam negara  Khilafah. Sebuah sistem politik pemerintahan dengan  satu kepemimpinan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia. Khalifah adalah pemimpinnya, bukanlah orang yang anti kritik. Apalagi takut hingga melakukan kriminalisasi terhadap pelaku kritik, adalah sebuah kemustahilan. Karena khalifah menjalankan pemerintahannya untuk menerapkan syariat Islam bagi warga negaranya, maka justru  membutuhkan kritik demi terjaganya rel pemerintahan agar senantiasa berjalan sesuai hukum Islam. Sementara Islam menyadari bahwa khalifah adalah manusia biasa yang tak lepas dari lupa dan salah, sehingga Islam menjadikan kritik sebagai muhasabah atas kepemimpinannya dan bahkan sangat dinanti.

Lihatlah bagaimana kisah syahdu drama kritik antara penguasa dengan rakyatnya di masa kekhilafahan, yang sedemikian mengharukan sebagai tanda cinta sang rakyat pada pemimpinnya. Kisah Umar bin Khattab saat dikritik oleh seorang wanita karena membatasi mahar. Justru menjadikan Umar tersadar dan akhirnya mengubah keputusannya.

Demikian pula kisah haru, pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, dikutip dari Kitab Uqala al-Majanin (kebijaksanaan orang-orang gila) diceritakan bahwa suatu ketika di tengah perjalanan, Khalifah Harun Ar-Rasyid bertemu dengan Bahlul. Bahlul yang dianggap gila itu kebetulan sedang duduk merenung di atas kuburan.

Sang Khalifah pun mendekat dan mengawali pembicaraan dengan nada sedikit mengejek. “Hai Bahlul, hai orang gila. Kapan kau sembuh dan bisa berpikir dengan benar?”

Seketika itu Bahlul langsung lari dan naik ke atas pohon. Lalu ia berteriak dengan suara lantang. “Hai Harun, hai orang gila. Kapan kau sembuh dan bisa berpikir dengan benar?”

Kemudian Khalifah Harun pun mendekatinya ke bawah pohon sembari masih menaiki kudanya. Lalu Ia berkata pada Bahlul, “He, aku yang gila atau kamu yang duduk di atas kuburan itu (yang gila)?”

Kamu yang gila,” ujar Bahlul dengan sedikit membentak. “Bagaimana bisa?” jawab sang Khalifah.

“Karena aku tahu, bahwa itu (sambil menunjuk ke arah istana Khalifah Harun) akan sirna. Dan ini (sambil menunjuk ke arah kuburan) akan abadi. Dan aku pun membangun ini sebelum (masuk) ini. Sedangkan kamu hanya fokus membangun istana dan merobohkan (melupakan) kuburanmu. Kau lebih memilih istanamu daripada kuburanmu, padahal mau tidak mau kuburan adalah tempat kau berpulang!”

“Sekarang katakan padaku, siapa sebenarnya yang gila, aku atau kamu?” lanjut si Bahlul. Jawaban cerdas Bahlul itu pun membuat hati Sang Khalifah tergoncang. Ia mulai menyadari kesalahan berpikirnya. Ia pun menangis tersedu sampai jenggotnya basah dipenuhi air mata.

“Demi Allah, kau benar wahai Bahlul,” ujar sang Khalifah dengan nada lembut.

Begitulah potongan kisah menakjubkan Bahlul yang berani menasehati Khalifah Harun Ar-Rasyid. Bandingkan dengan penguasa sekarang, mereka dikritik oleh mural saja bertindak amoral. Sebaliknya sang Khalifah bahkan dikritik oleh ulama sufi yang amoral(Bahlul), tetapi ketika diketahui itu adalah kebenaran maka sang Khalifah menerimanya dengan haru. Tidakkah pemimpin seperti ini yang harusnya kita rindukan?

Saatnya umat sadar, agar segera bangkit untuk mencampakkan demokrasi bukan sekedar dengan mural, tetapi dengan perjuangan dakwah sebagaimana Rasulullah agar segera terwujud institusi Khilafah yang dipimpin oleh Khalifah yang berhati lembut.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *