Oleh Nisa Rahmi Fadhillah (Member AMK)
Beberapa waktu belakang diramaikan dengan pemberitaan disahkan Peraturan Presiden (Perpres) soal perizinan investasi minuman keras (Miras). Keputusan tersebut hanya berlaku untuk daerah yang biasa mengonsumsi miras untuk adat kebiasaan seperti di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.
Perpres ini menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang menyetujui mengatakan jika Perpres ini sudah sesuai dengan kearifan lokal serta akan mengurangi impor dan menambah pendapatan karena ada investasi di dalam negeri. Sedangkan pihak yang tidak sepakat dengan Perpres ini mengatakan bahwa anak bangsa harus dijaga moralnya karena lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya (Detik.com, 28/02/21)
Lalu pada tanggal 2 Maret 2021, Presiden Indonesia mencabut lampiran Perpres No. 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Tetapi yang dicabut bukan Perpresnya, hanya lampirannya. Itu pun hanya lampiran Bidang Usaha No. 31 dan No. 32. Adapun lampiran Bidang Usaha No. 44 tentang Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan No. 45 tentang Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol tidak dicabut. Berarti industri miras ini tetap berjalan dan hanya investasi (industri) baru yang tidak ada.
Industri miras ini dianggap memberikan manfaat besar kepada pendapatan negara. Pada tahun 2020, penerimaan cukai dari Etil Alkohol sebesar Rp240 miliar dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) Rp5,76 Triliun (cnnindonesia.com, 02/03/2021).
Semakin banyak yang mengonsumsi miras maka semakin banyak pula pendapatan negara yang masuk. Dengan mengonsumsi miras, bisa memicu tindak kejahatan dan kekerasan. Seperti yang dilakukan oleh seorang oknum Polisi dalam keadaan mabuk menembak empat orang. Tiga di antaranya meninggal. Salah satunya anggota TNI. (kompas.com, 26/02/2021).
Sangat jelas, ini merupakan dampak dari penerapan sistem kapitalisme karena tolok ukurnya dalam segala hal, termasuk pembuatan hukum dan pengaturan urusan masyarakat adalah keuntungan atau manfaat dibanding keamanan ataupun kesejahteraan masyarakat, terutama manfaat ekonomi.
Islam memandang bahwa minuman yang memabukkan haram untuk di konsumsi. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah [5]: 90).
“Khamr adalah induk keburukan. Siapa saja yang meminum khamr, Allah tidak menerima salatnya 40 hari. Jika ia mati, sementara khamr itu ada di dalam perutnya, maka ia mati dengan kematian jahiliah.” (HR ath-Thabarani, ad-Daraquthni, dan al-Qudha’i)
“Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabarani).
Selain memeringati untuk tidak mengonsumsi khamr, siapapun yang terlibat dengan khamr akan mendapatkan ganjarannya seperti sabda Rasulullah saw.,
“Rasulullah saw. telah melaknat terkait khamr sepuluh golongan: pemerasnya; yang minta diperaskan; peminumnya; pengantarnya, yang minta diantarkan khamr; penuangnya; penjualnya; yang menikmati harganya; pembelinya; dan yang minta dibelikan,” (HR at-Tirmidzi).
Hanya aturan Islam satu-satunya yang dapat menjauhi miras dengan total serta menyelamatkan generasi selanjutnya. Ini akan terrwujud jika aturan Islam diterapkan secara universal.
Wallahu a’lam bishshawab.