Investasi Miras bikin Miris

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Ghazi Ar Rasyid (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Keragaman Indonesia mestinya menjadi pertimbangan pemerintah sebelum mencabut Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) 10/2021 yang mengatur investasi minuman keras di empat provinsi, yakni Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua (02/03), kata peneliti. Keputusan pencabutan itu diambil Presiden Joko Widodo setelah mempertimbangkan masukan sejumlah organisasi Muslim dan usul Wakil Presiden Ma’ruf Amin. “Kalau ini kan umat Islam lebih kepada peduli bahwa kita sucinya melarang itu [minuman beralkohol],” ujar juru bicara Wapres, Masduki Baidlowi saat menjelaskan mengenai usul pencabutan aturan itu.

 

Sementara itu, Gubernur NTT menyayangkan potensi peningkatan ekonomi besar yang luput akibat pencabutan lampiran perpres itu, tapi mengatakan daerahnya akan tetap mengembangkan miras lokal sesuai peraturan daerah. Ada tekanan ke presiden? Lampiran perpres itu sebelumnya mengatur pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras di Bali, Sulawesi Utara, NTT, dan Papua. Provinsi-provinsi itu, kecuali Papua, menyambut aturan itu karena industri minuman keras lokal yang sudah berkembang di daerah masing-masing.

 

Bali, misalnya terkenal sebagai penghasil arak Bali, NTT memproduksi minuman beralkohol bernama Sopi, sedangkan di Sulawesi Utara, Cap Tikus kerap diburu wisatawan. Tiga provinsi yang telah mengajukan permohonan ke BKPM terkait investasi tersebut. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Papua menolak investasi miras karena bertolak belakang dengan peraturan setempat soal pelarangan miras.

 

Namun demikian, Jokowi memutuskan untuk mencabut lampiran perpres itu (02/03), setelah sebelumnya mengadakan “pertemuan empat mata” dengan Wapres Ma’ruf Amin yang mengusulkan pencabutan itu, kata Masduki Baidlowi, juru bicara wapres. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin lebih lanjut menjelaskan sedianya aturan itu dikeluarkan sebagai payung nasional untuk mengatur dan mengawasi produksi dan distribusi minuman keras lokal.

 

Namun, pemerintah, katanya juga mendengarkan masukan masyarakat. “Mau tidak mau kan presiden juga mendengarkan berbagai masukan dan informasi dari berbagai pihak, termasuk ulama,” ujarnya.

Ia membantah ada tekanan dari kelompok tertentu yang membuat presiden membatalkan aturan yang ditekennya sendiri. “Tidak juga. Coba lihat kan kemarin presiden, dengan teduh, dengan tenang. Artinya ada pertimbangan-pertimbangan yang beliau, sebagai kepala negara, tentu memiliki kompetensi yang cukup. Meski dicabut, menurut Ngabalin, daerah-daerah yang menghasilkan minuman keras lokal akan tetap beroperasi seperti yang sudah dijalankan. “Tentu saja ini tidak saja sebagai untuk kepentingan umat Islam, tapi seluruh masyarakat di wilayah yang diatur Perpres itu,” tambahnya.

 

Menurutnya, pencabutan itu “tak terlalu berpengaruh”. Mengapa aturan ditolak? Moral dan regulasi isu yang berbeda Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menilai masalah moralitas dan masalah regulasi adalah dua masalah berbeda. Pembukaan investasi tak serta merta berimplikasi ke konsumsi minuman keras, yang pembatasannya, dari tata cara penjualan hingga stadar usia konsumen, sudah diatur melalui sejumlah aturan pemerintah.

Hal itu lah yang menurutnya mesti dijelaskan ke masyarakat. “Untuk masalah konsumsi sudah diatur dengan aturan lain. Mengenai moralitas dan agama, ya kembali lagi. Indonesia kan negara hukum dan agama yang diakui tidak hanya satu.

 

Berdasarkan data WHO, Indonesia hanya mengkonsumsi sekitar 0,8 liter minuman beralkohol per kapita, jauh di bawah rata-rata di Asia Tenggara, yang angkanya 3,4 liter per kapita. Data yang sama menunjukkan sebagian besar konsumsi alkohol di Indonesia itu unrecorded (tidak tercatat) atau tak legal. Oplosan juga masih sering dikonsumsi warga, yang pada tahun 2018 lalu, menyebabkan 112 orang meninggal dunia, menurut data kepolisian.

 

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat mengatakan ia memahami keputusan presiden untuk membatalkan lampiran perpres itu. NTT memproduksi minuman beralkohol lokal ‘Sophia’, yang peredarannya diatur melalui peraturan gubernur. Pencabutan lampuran itu tidak akan berdampak pada Sophia, kata Viktor, malah membuatnya “tak memiliki saingan minuman beralkohol baru”.

 

Namun, ia menyayangkan hilangnya potensi ekonomi yang lebih luas. Ia berpendapat aturan itu semestinya bisa membuat lebih banyak orang ingin berinvestasi di sektor minuman beralkohol. Investasi itu bisa mendorong riset minuman beralkohol, sehingga bisa membuat produk dari Indonesia bersaing dengan negara lain. Dalam hal ini, dia menyayangkan ada sejumlah orang yang disebutnya memandang minuman beralkohol dengan sempit tanpa melihat keberagaman di Indonesia.

 

Belum usai masalah satu, tumbuh lagi permasalahan satu yang dianggap bisa menjadi solusi dari masalah yang belum usai itu. Pernyataan pak Presiden terkait pelegalan miras membuat semua kalangan masyarakat tercengang dan terkaget. Alih-alih memajukan kearifan lokal yang ada di daerah yang bersangkutan, malah menjadi bumerang bag masyarakat dikalangan muslim. Investasi miras yang ada didaerah tersebut tentunya akan merusak moral bangsa ini. Meskipun telah ada ultimatum terkait pencabutan PERPRES terkait Investasi miras tersebut. Namun, apakah hal itu akan menjamin hilangnya dampak buruk dari miras?

 

Bisa dilihat berbagai dampak buruk yang ditimbulkan dari miras. Para pecandu miras akan melakukan apapun agar hasratnya terpenuhi. Tentunya angka kriminalitas yang ada akan semakin meninggi. Anak rela membunuh orang tuanya demi mendapat uang untuk membeli minuman terlarang ini. Semakin maraknya pemerkosaan karena efek dari kiras yang bisa menghilangkan akal sehat bagi penggunanya.

 

Meski digadang-gadang bisa membantu menaikkan perekonomian bangsa Indonesia yang tengah terpuruk saat ini. Namun, moral anak bangsanya justru bisa rusak karena hal ini. Setelah ditelusuri kembali, memang ternyata seperti inilah kapitalisme berperan. Dalam hal ini, kapitalisme hanya menekankan pada aspek materi tanpa memperhatikan dampak bagi kalangan mayoritas muslim. Dan beginilah potret yang tengah kapitalisme tampakan pada bangsa ini. Seharusnya pencabutan lampiran terkait investasi miras diiringi dengan penghapusan regulasi yang tidak mengijinkan adanya produksi, distribusi/peredaran bahkan konsumsi miras. Sehingga masyarakat bisa berspekulasi positif menanggapi pencabutan perpres tersebut. Namun jika tidak dibarengi dengan hal tersebut. Maka kerusakan yang terjadi  pada bangsa ini akan semakin parah.

 

Lalu bagaimana islam menyelesaikan persoalan terkait miras ini?

Keharaman Narkoba diserupakan dengan keharaman khamar (miras), karena kedua-duanya memiliki ‘illat yang sama yaitu memabukkan dan dapat menutupi akal orang yang mengkonsumsinya. Selain itu, Narkoba juga merupakan makanan yang buruk yang diharamkan Allah dalam firman-Nya, “… dan Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk…” (Q.S. Al A’raf: 157)

Konon, orang-orang Arab terbiasa minum khamar seperti layaknya kita minum air biasa. Sudah begitu mendarah dagingnya kebiasaan buruk ini. Namun hanya dalam tempo hitungan tahun, Alquran berhasil menyelesaikan problem sosial yang mengancam kehidupan ini.

Namun, ketika ayat tentang pengharaman khamr atau miras turun. Masyarakat langsung meninggalkannya. Tapi secara perlaha lahan namun pasti. Dalam Islam, peluang peredaran miras akan tertutup rapat. Hal ini karena negara Islam (khilafah) memiliki cara efektif untuk mencegah dan menjaga warganya agar terhindar dan tidak terjerumus kedalam kedua kejahatan tersebut, seperti di antaranya:

Pertama, terus melakukan pembinaan terhadap masyarakat, baik dalam bentuk pendidikan formal atau kajian-kajian dan ceramah umum. Semua itu ditujukan dalam rangka menanamkan akidah dan kepribadian Islam pada diri mereka. Dengan akidah yang kuat seseorang akan senantiasa mengontrol dan menjaga tingkah lakunya. Karena kontrol setiap muslim adalah dirinya sendiri dengan bekal keimanan yang kuat.

 

Kedua, membentuk lingkungan yang kondusif dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah Swt. dengan cara mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, betapapun besarnya keimanan seseorang ia tetap mungkin terpengaruh oleh lingkungannya.

Oleh karena itu, negara Islam (khilafah) bertugas untuk menjadikan masyarakat muslim menjadi masyarakat yang baik sekaligus mampu menjadi pengontrol perilaku setiap individu-individunya.

 

Wallahu a’lam bishowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *