Inkonsistensi Berbuntut Terserah, Benarkah Tak Ada Solusi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ratna Mufidah, SE

Jumlah penderita covid di Indonesi belum menunjukkan kurva landai, namun Presiden sudah mengubah semboyan sebelumnya, dari “lawan korona” menjadi “berdamai dengan korona”. Disusul kemudian dengan kebijakan pelonggaran PSBB di berbagai daerah. Mal-mal mulai di buka kembali, transportasi umum mulai beroperasi. Bahkan BPIP langsung mengadakan konser amal korona, tentu dengan kondisi bebas protocol covid.

Pemandangan masyarakat berdesak-desakan di pusat-pusat keramaian seperti pasar dan mal tak bisa terelakkan lagi. Berburu pakaian dan perlengkapan lebaran sepertinya tak bisa diabaikan masyarakat saat ini, bahkan dalam kondisi pandemi covid yang saat ini angka penderitanya makin naik.

Kondisi ini tentu sangat mengecewakan pihak tenaga medis. Tagar bertajuk “Indonesia terserah” yang menyuarakan hati nurani mereka pun menjadi viral. Dalam kondisi pandemi saat ini, tak berlebihan bila peran tenaga medis menjadi tangan malaikat untuk merawat dan menyembuhkan para korban covid. Karena ketiadaan pihak keluarga, demi mencegah penularan.

Tugas mereka jelas lebih berat daripada sebelum adanya pandemi virus. Tak hanya jerih payah dan kerja keras dibalik pakaian hazmat, para dokter dan perawat bahkan mengorbankan pertemuan dengan keluarga dan anak-anak mereka hingga mempertaruhkan nyawa demi bekerja merawat dan mengobati pasien covid. Hingga saat ini hampir 50 orang baik itu dokter dan perawat gugur akibat covid-19, belum termasuk petugas ambulan juga.

Masyarakat yang kurang memiliki kesadaran terhadap bahaya penyebaran virus korona, membuat mereka seakan menyepelekan hal itu sehingga menabrak aturan untuk menghindari dan tidak membuat kerumunan. Akan tetapi, bagaimanapun juga pemerintah dalam hal ini juga berperan besar terhadap terciptanya kondisi-kondisi seperti ini.

Bisa saja masyarakat jengah dengan aturan yang berubah-ubah, dari persoalan boleh tidaknya mudik atau pun inkonsistensi pelaksanaan PSBB. Mereka mengeluh saat mal-mal dibiarkan beroperasi sementara pedagang kaki lima dirazia. Demikian pula memperbolehkan konser sementara masjid ditutup. Hajatan rakyat kecil dibubarkan, sedangkan hajatan pejabat bebas diadakan. Bahkan yang paling menyakiti hati rakyat adalah, di tengah jutaan pengangguran akibat kelesuan ekonomi serta PHK massal, gelombang tenaga kerja asing dari Cina masih saja berdatangan.

Selain itu, pemenjaraan kembali ulama seperti yang menimpa Habib Bahar yang baru saja keluar dari penjara dengan delik melanggar PSBB juga menunjukkan inkonsistensi tersebut. Bahkan menurut pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakir menyampaikan kesalahan ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang menjadi penyelenggara konser amal lebih besar daripada Habib Bahar yang hanya diminta ceramah usai sholat.

Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, negeri ini tentu akan menuju kondisi yang lebih buruk lagi. Dunia medis yang kewalahan dengan banyaknya pasien wabah ditambah kondisi ekonomi yang secara umum makin sulit. Wajar jika ada pihak yang kemudian skeptis wabah ini akan berakhir. Tak sedikit pula yang memprediksi akan berlarut-larut kasusnya.

Sebagai gambaran, negara maju seperti Italia dan Perancis kembali laporkan lonjakan kasus usai longgarkan lockdown. Dunia seakan jengah dengan kemandekan dan kelesuan ekonomi. Pada akhirnya, pengambil kebijakan akan dihadapkan pada kondisi yang seakan beradu antara kepentingan ekonomi atau nyawa yang diutamakan. Bagi negara Eropa yang mempunyai populasi penduduk yang rendah, tentu kehilangan SDM menjadi ancaman tersendiri.

Sebaliknya, negara berkembang seperti Indoneisa yang memiliki populasi penduduk yang besar seakan tidak merasakan ancaman tersebut. Beginilah jika standar yang kita pakai adalah maslahat, kepentingan dan untung-rugi berdasar materi. Ini bukan standar yang manusiawi, yaitu memanusiakan manusia. Seharusnya, paradigma berfikir kita adalah berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Dzat yang menciptakan manusia.

Dalam Islam sangat jelas, urusan nyawa ini begitu penting. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455).

Dalam riwayat dari Ibnu Abbas r.a ia berkata, “Ketika Rasulullah SAW memandang Ka’bah, beliau bersabda, ‘Selamat datang wahai Ka’bah, betapa agungnya engkau dan betapa agung kehormatanmu. Akan tetapi orang mukmin lebih agung di sisi Allah daripadamu’.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul iman, no. 4014: shahih)

Maka sudah seharusnya penanganan wabah ini harus serius dan total, tidak plin-plan, berubah-ubah ataupun inkonsistensi pelaksanaannya karena memang menyangkut keselamatan nyawa seluruh rakyat. Tentu hal ini sulit dilakukan bila pemerintah tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan segelintir elit di seputar oligarki kekuasaan ataupun dalih-dalih penyelamatan ekonomi.

Karena dengan mengakomodir kepentingan oligarki, rakyat jadi terabaikan dan sulit mendapatkan hak-haknya. Begitu pula dengan penyelamatan ekonomi, rakyat dipaksa harus menggerakkan perekonomian negara dengan tetap beraktifitas ekonomi padahal di saat wabah sedang tinggi korbannya.

Seharusnya konsentrasi negara adalah membuat rakyat cukup kebutuhan pokoknya saat perekonomian menurun. Dana tentu saja ada bila ada kemauan. Gaji para pejabat negara yang sangat fantastis bisa saja dipotong selama wabah. Belum lagi dana-dana yang telah dikorupsi oleh para pejabat ataupun dibawa lari cukong, yang seharusnya bisa ditarik negara.

Lebih dari itu, kekayaan alam negara ini yang begitu besar seharusnya mampu digunakan untuk kemakmuran rakyat, tetapi pada faktanya tidak demikian.

Rakyat justru membeli hasil kekayaan negerinya sendiri. Perusahaan asing lah yang selama ini mengeruk hasil-hasil yang melimpah itu. Jauh dari tata cara pengelolaan secara syariat Islam, dimana hasil-hasil kekayaan alam yang sifatnya melimpah maka menjadi hak umat, yang pengelolaannya diserahkan kepada negara. Gambaran pengelolaan yang demikian bisa terlaksana apabila negara menerapkan Islam secara menyeluruh dalam pelaksanaan pemerintahan negeri ini.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *