Oleh: Sally Fitria (Penulis Lepas, Pemerhati Sosial Politik)
Arus laut di perairan Laut Cina Selatan kembali memanas setelah di tahun 2016 sempat terjadi hal demikian, bukan karena suhu air lautnya yang bergerak naik tetapi konflik klaim perebutan wilayah yang terjadi di dalam perairan tersebut. Seperti diberitakan di berbagai kanal berita dalam negeri maupun luar negeri, sejak beberapa bulan lalu China begitu getol melakukan ekspansi di wilayah perairan Laut Cina Selatan, selain mengklaim secara sepihak bahwa hampir 90 persen seluruh wilayah perairan Laut Cina Selatan, China juga melakukan berbagai kegiatan yang melanggar ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) negara tetangga seperti Vietnam dengan melakukan aktivitas penangkapan ikan, membangun hanggar pesawat tempat mendaratkan armada armada tempur udaranya, hingga yang baru baru ini dilakukan latihan kegiatan militer di wilayah perairan tersebut
Tak pelak kegiatan yang dilakukan China tersebut mengundang reaksi keras dari berbagai negara, baik negara negara tetangga sekitar wilayah perairan Laut Cina Selatan (LCS), maupun negara adidaya pesaing ketat China, Amerika Serikat. Salah satu reaksi keras yang dilakukan Amerika Serikat atas tindakan yang dilakukan China, adalah dengan mengerahkan kekuatan militer di wilayah perairan Laut Cina Selatan dengan mengerahkan 375.000 tentara dan 60% dari kapal perangnya di kawasan Indo Pasifik, tiga kapal induk AS telah dikirim ke wilayah tersebut. (cnbc.indonesia.com, 03 Juli 2020) dan per tanggal 23 Juli lalu Amerika Serikat menambah kekuatan militernya dengan mengerahkan dua kapal penjelajah, dan dua kapal perusak, pengerahan kekuatan militer tersebut berbalut dengan kegiatan latihan militer yang diikuti juga oleh sekutu Amerika Serikat, Jepang dan Australia
Melihat kegiatan latihan militer gabungan antara Amerika Serikat, Jepang & Australia, Chinapun kembali tak tinggal diam, hanya selang berjarak dua hari dari kegiatan tersebut China kembali menggelar kegiatan latihan militernya untuk yang kedua kalinya dalam satu bulan.
Bahkan dalam kegiatan latihan militernya kali ini armada perang China mendapatkan instruksi khusus, yakni tembak langsung jika ada kapal atau pesawat Amerika yang masuk wilayah teritorialnya
Dalam latihan ini, Angkatan Udata Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAAF) mengerahkan hingga dua pesawat pembom, H-6G & H-6G. Situasi tersebut di atas menambah ketegangan sekaligus menaikkan ekskalasi perang dingin antara China dan Amerika Serikat, yang kemudian di tarik kesimpulan oleh beberapa pengamat politik jika dalam waktu dekat dapat saja mengakibatkan meletusnya perang militer antara China dan Amerika juga sekutu sekutunya di Laut Cina Selatan
Potensi Laut Cina Selatan
Jika kita membaca dan mencermati situasi yang ada di Laut Cina Selatan saat ini, tentunya akan menimbulkan pertanyaan, apa daya tarik dan potensi menarik dari Laut Cina Selatan sehingga berbagai negara hingga sekelas negara negara adidya begitu tertarik untuk menguasainya?
Menurut data dari pemerintah Amerika Serikat, Laut Cina Selatan memiliki potensi ekonomi yang sangat luar biasa. Bentangan samudera Laut Cina Selatan merupakan rumah bagi lebih dari 200 titik tanah yang berpotensi kaya akan energi.
Laut Cina Selatan merupakan lalu lintas perdagangan internasional yang bernilai tak kurang dari 5,3 trililun dollar AS setiap tahunnya, selain itu menurut data Badan Informasi Energi AS di kawasan ini trersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barrel, serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik (setara dengan 57,9 triliun meter kubik), sementara cadangan minyak negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia (2017) saja yaitu : Venezuela hanya sekitar 300.878 barrel.
Serupa dengan cadangan minyak, gas alam yang terdapat dalam Laut Cina Selatan khususnya di daerah Natuna mampu mengalahkan posisi Rusia sebagai pemilik cadangan gas alam terbesar di dunia pada tahun 2017. (menurut BP Statistical Review of World Energy 2018) yaitu hanya 33,6 triliun meter kubik.Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkatan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada tahun 2035 akan melintasi perairan tersebut, dan dikatakan bagi negara yang menguasai potensi ekonomi di wilayah ini akan mampu mengeruk keuntungan hampir 2 kali lipat PDB Indonesia
Sebuah fakta yang sangat menggiurkan dari kacamata perekonomian, pantas saja jika sampai enam negara termasuk didalamnya negara adidaya Amerika Serikat memperebutkan kawasan Laut Cina Selatan.
Posisi Indonesia
Bagaimana dengan sikap pemerintah Indonesia?
Sebagai negara yang wilayahnya dalam hal ini Kepulauan Natuna yang merupakan bagian dari kawasan Laut Cina Selatan, dan bersinggungan secara ZEE dengan China yakni sekitar 200 mill dari perbatasan Indonesia di Kepulauan Natuna.
Kita ketahui, bahwa Kepulauan Natuna yang berada dalam Kawasan Laut Cina Selatan juga mempunyai peranan penting dalam menyokong nilai sektor Perekonomian di Kawasan Laut Cina Selatan, dan juga tentunya bagi Indonesia sendiri setidaknya ada empat alasan yang menjadikannya sangat penting, pertama, perairan merupakan soko guru bagi aktivitas ekspor impor Indonesia, kedua, konflik dan instabilitas di Laut Cina Selatan akan berdampak pada perdagangan dan ekonomi kawasan, ketiga Kawasan Laut Cina Selatan merupakan jalur masuk ke wilayah Indonesia dari utara dan yang terakhir, Kawasan utara merupakan jalur yang disepakati Indonesia sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Kenyataannya, Pemerintah menyatakan posisi Indonesia dalam pusaran arus konflik Laut Cina Selatan ini bersikap sebagai non claimed states, yakni sebagai negara yang tidak ikut menyatakan claim atas kepemilikan Laut Cina Selatan, Indonesia hanya tidak mengakui adanya Nine (9) Dash Line yang dibuat oleh China dan Indonesia lebih memilih bersikap pro aktif dengan mendukung Code of Conduct ASEAN-China, juga menimbulkan kepercayaan (trust) perdamaian mata China dengan tidak memajukan kepentingan pribadi dan bersikap lebih adil juga jernih, pernyataan Wakil Duta Besar RI untuk Tiongkok-China, Dino R Kusnadi, 29 Juli 2020 (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200729141750-8-176272/dukung-perdamaian-lcs-ri-dorong-code-of-conduct-asean-china)
Indonesia juga melalui Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam konferensi pers virtual bersama media internasional, Kamis (16/07) mengatakan bahwa Indonesia prihatin dengan meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan. Ia juga menambahkan bahwa setiap negara berharap konflik dapat segera reda dan situasi kembali tenang.
“Menghormati hukum Internasional, termasuk UNCLOS 1982 adalah kunci untuk membuat Laut Cina Selatan stabil dan laut damai. Posisi Indonesia di Laut Cina Selatan jelas dan konsisten, sekali lagi menghormati hukum internasional termasuk UNCLOS 1982 adalah kunci dan harus ditegakkan oleh semua dan didukung oleh siding UNCLOS pada tahun 2016”, ujar Retno (news.detik.com/dw/d-5096288/konflik-laut-cina-selatan-indonesia-serukan-semua-negara-tahan-diri)
Seharusnya, dengan fakta dan kondisi yang terjadi hari ini di kawasan Laut Cina Selatan, Indonesia harus bersikap lebih tegas dan berani dalam menyikapinya, tidak cukup hanya bersikap pro aktif melalui pernyataan lisan, pembicaraan dan perundingan. Namun, juga harus melakukan tindakan nyata secara perbuatan terlebih, jika konflik ini berpeluang besar membahayakan stabilitas negara dalam bidang maritim, yang pastinya berdampak secara langsung pada kepentingan rakyatnya.
Mengutip pernyataan dari Wakil Kedubes RI untuk Tiongkok, seharusnya tidak perlu melakukan upaya membangun kepercayaan di mata China dalam persoalan ini, karena secara tidak langsung dengan berupaya membangun kepercayaan di mata China, sebenarnya tampak jelas keberpihakan Indonesia itu sendiri berada.
Justru yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia, jika memang konflik yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan berpengaruh besar dalam stabilitas negara, dan dampaknya akan dirasakan oleh rakyatnya, terutama rakyat sekitar kawasan tersebut, maka yang harus dilakukan adalah bersikap tegas dengan menempuh jalan memerangi kedua negara yang berkonflik tersebut dalam rangka melindungi rakyatnya, melakukan pengawasan ketat dengan sebaik baiknya batas teritorial negara kesatuan Indonesia, menindak tegas secara hukum terhadap pihak pihak yang melanggar ZEE, atau batas territorial Indonesia dengan tidak memadang siapapun yang melakukan hal tersebut.
Islam memandang Kelautan Salah Satu Sumber Daya Alam
Allah SWT berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89).
Rasulullah SAW bersabda :
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Islam memandang kelautan sebagai salah satu sumber daya alam yang termasuk kedalam jenis kepemilikan secara umum, artinya kelautan dimiliki oleh seluruh umat manusia atau rakyat bukan dimiliki atau dikuasai oleh perorangan, golongan, negara ataupun negara asing.
Terkait soalan kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.
Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”
Berdasarkan sumber Al-Qu’an dan hadis tersebut diatas, maka menurut pandangan Islam, jika dikaitkan dengan penguasaan Laut Cina Selatan, kawasan perairan ini merupakan kepemilikan umum yang penguasaannya dimiliki oleh seluruh umat manusia atau rakyat, dimana pengelolaan Laut Cina Selatan sendiri dilakukan secara bersama – sama oleh berbagai negara, dengan menghormati batas batas teritotial ZEE negara masing – masing.
Adapun tujuan pengelolaan Laut Cina Selatan ini, adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh umat manusia, untuk kebermanfaatan bersama dan dinikmati pula bersama secara adil dan merata tanpa adanya monopoli sepihak.
Laut Cina Selatan tidak dapat diklaim, dimiliki atau dikuasai secara sepihak oleh negara tertentu atau beberapa negara tertentu baik China, Amerika Serikat ataupun negara negara di sekitar Laut Cina Selatan lainnya, terlebih ternyata tujuan penguasaan tersebut dalam rangka untuk memuaskan kepentingan kapitalis, mengeruk keuntungan sebanyak banyaknya untuk kepentingan ekonomi belaka yang pada akhirnya tetap saja dinikmati oleh segelitir kelompok atau golongan tertentu.
Karena di dalam Islam pengelolaan sumber daya alam berdasarkan atas dasar Syariat Islam yang datangnya dari Allah, pemilik sejati seluruh kekayaan alam di dunia ini melalui pendistribusian yang adil dan merata, yaitu dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Wallahu A’lam Bi Showwab