Impor Cangkul, Nasib Petani Semakin Terpukul

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Yanti (Aktivis Dakwah dan Mahasiswi di Padang)

Pernahkan anda membayangkan dan merenungi nasib seorang petani? Selain tenaga yang dikeluarkan, Petani juga butuh banyak materi saat bertugas di sawah. Mirisnya, meski sudah mengeluarkan tenaga, hasil panennya belum tentu berlimpah disebabkan pupuk untuk menggarap lahan pertanian tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli pupuk.

Begitulah nasib para petani di negeri ini. Hidup terbingkai dengan panjangnya nasib buruk tak berkesudahan dan hasil panen yang sangat murah di bawah standar kehidupan.

Derita petani tak sampai di situ – untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan pun sangat berat untuk dijalani. Kondisi hidup segan mati pun tak mau.

Sulit sekali buat mereka menyisihkan dan memutar modal untuk proses pekerjaan selanjutnya diperparah dengan biaya anak sekolah, listrik dan lain-lainnya. Sementara sumber pendapatan itu hanya dari hasil petani.

Dalam kondisi demikian, bagaimana cara mengelola keuangannya? Sementara yang didapatkan dari hasil panen hanya sedikit ditambah harus disisihkan untuk keperluan hidup lainnya.

Parahnya lagi adanya impor cangkul, seperti baru-baru ini diperbincangkan di Jakarta, 8/11/2019 maraknya Impor Pacul, Presiden Joko Widodo menyinggung soal Indonesia yang masih mengimpor Pacul. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Impor Pacul sepanjang Januari- September 2019 senilai USS101,69 ribu pada tahun 2019 dengan total berat 268,2.

Tetapi kalau dilihat dari Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri kemendag Indrasari Wisnu Wardana mengatakan dugaan ini didasarkan adanya izin impor yang dikeluarkan lembaganya.

Impor cakul? Kok bisa? Bukannya Indonesia adalah beriklim tropis, yang kaya dengan sumber daya alam. Hal sepele seperti cangkul kok harus impor?

Bayangkan betapa menjeritnya para petani, belum lagi rupiah yang dihasilkan oleh panen murah, ditambah lagi cangkul yang diimpor dengan harga yang melambung tinggi. Padahal cangkul ini adalah alat yang digunakan untuk bertani. Artinya,cangkul merupakan alat dan keperluan mendesak bagi para petani. Tetapi dengan kualitas yang tinggi tadi, tentu petani tidak bisa atau kesulitan mendapatkannya.

Belum lai impor baja yang masih mendominasi pasar. Direktur utama PT. Krakatau Steel TBK (KRAS) Silmy Karim dalam paparan berjudul “Strategi Induks Baja untuk menjadi bagian dari Value Chain Industri Otomotif Nasional, mengatakan, konsumsi Baja Nasional pada tahun 2018 sebesar 15,1 juta ton, angka tersebut meningkat (1,03%, juga berasal dari produksi domestic 10 juta ton, impor 7,6 juta ton dipotong ekspor 2,6 juta ton.

Dari fakta di atas, jelas bahwa sistem demokrasi tidak mampu menyelesaikan problematika seluruh kehidupan umat hari ini, justru menambah permasalahan dan kerusakan di segala lini kehidupan umat. Segala kerusakan yang dibawa oleh sistem demokrasi itu sebenarnya tidak lepas dari sejarah kemunculannya yang memang cacat sejak lahir.

Akidah sekulerisme yang melahirkan demokrasi merupakan hasil jalan tengah atau kompromi. Jelas ini bukan persoalan rezim tetapi ini persoalan kerusakan ideologi yang dianut oleh bangsa ini. Kepitalisme telah membuat negara dan moral bangsa jatuh ke bawah tumpukan uang. Racun sekulerisme ini juga telah masuk ke dalam kehidupan pribadi umat hingga banyak yang terzolimi.

Jadi untuk menghentikan keuntungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang mempunyai visi yang jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis serta system ekonomi yang adil, bukan ekonomi yang pro kapitalis.

Negara berkewajiban melindungi kepentingan, kebutuhan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. Hanya Islam yang memiliki ketiga hal ini.[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *