Ilusi Keadilan : Bukti Cacat Permanen Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

Seperti api dalam sekam. Dapat memicu ledakan kapan saja. Begitulah kondisi negara bersistem demokrasi ini. Setiap kebijakan yang lahir dari rahim bobrok ideologi kapitalisme justru membuat panas telinga rakyat berikut mala petaka yang berkelanjutan. Kehidupan rakyat ibarat kata, sudah jatuh dari tangga, kejedot tembok pula. Astaghfirullah.

Salah satunya bisa dilihat dari realita hari ini bahwa perkara korupsi di negeri demokrasi sungguh menggurita. Berbagai upaya dilakukan oleh badan-badan yang bertugas, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nyatanya, upaya itu tak membuahkan hasil yang memuaskan. Kalah dengan suara para penguasa. Hal ini seperti yang dialami Novel Baswedan. Para tikus berdasi nyatanya tersembunyi di balik kekuasaan yang digenggam. Keadilan digadaikan dengan begitu mudah dan murahnya.

Lihat saja, keadilan setia condong pada hasrat petinggi negara. Kasus penyerangan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan beberapa tahun lalu ternyata pihak terdakwanya juga berasal dari jajaran aparat penegak hukum. Berdasarkan laman detik.com, Kamis 11 Juni 2020, jaksa menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, kamis (11/06/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke badan Novel Baswedan. Namun mengenai kepala korban.

Lantas, apakah jika cairan keras mengenai badan Novel, maka dianggap perkara sepele ? Bukankah hal ini mengganggu keamanan rakyat ? Padahal akibat perbuatan terdakwa, Novel Baswedan mengalami cacat permanen sebelah kiri organ penglihatannya. Kedua terdakwa lantas dihukum 1 tahun penjara. Ini merupakan bukti sebegitu remehnya pengaturan keamanan bagi rakyat di negeri ini. Hal ini membuka lebar mata kita bahwasanya keadilan di negeri ini muskil didapat bagi para pendekar kebenaran. Tetapi keadilan hanya diperuntukan bagi para pemangku kekuasaan atau yang bersekongkol dengan penguasa negeri.

Secara fitrah, tiap-tiap manusia menyukai keadilan dan tak condong pada kezaliman. Tetapi dari kasus Novel Baswedan, bisa ditarik benang merah yang membingungkan. Ternyata ada manusia yang tidak menyukai keadilan. Benarkah demikian ? Tidak ! Sekali-kali tidak. Mereka dari asal penciptaannya berpihak pada keadilan, namun perhiasan dunia justru membungkam nurani mereka. Mereka diberi kekuasaan tetapi digunakan untuk bersekongkol, memutarbalikkan fakta lantas memenangkan kesalahan nyata mereka.

Fitrah tiap-tiap manusia juga tentunya berpihak pada pelaku keadilan dan menaruh kasih pada yang terzalimi. Tetapi dari kejadian ini bisa disimpulkan ternyata masih begitu banyak manusia yang enggan bersimpati pada pihak yang terzalimi. Hal ini berdasarkan laman cnnindonesia.com, Senin 15 Juni 2020, bahwasanya dikerahkannya buzzer ketika bermunculan komentar terkait keadilan pincang yang diterima Novel Baswedan. Ternyata negara demokrasi yang melahirkan asas kebebasan berpendapat justru menyumpal mulut rakyatnya yang memberi kritik.

Masihkah merasa aman di negara yang rakyat dan penguasanya tidak saling merasa aman? Rakyat tak aman karena terus-terusan dipaksa bungkam menyaksikan kezaliman. Juga menjadi korban dari pincangnya keadilan yang hampir lumpuh total. Penguasa juga merasa tak aman. Khawatir atas kritik rakyatnya. Lantas, di mana keadilan yang tersaji dalam sistem demokrasi?

Demokrasi yang dianut oleh ideologi kapitalisme berasal dari pandangan bahwa manusia berhak membuat peraturan. Karena rakyat adalah sumber kekuasaan, maka rakyatlah yang membuat perundang-undangan. Padahal manusia bersifat terbatas, lemah, dan serba kurang. Sedangkan adil menurut sebagian ahli fikih adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan porsi yang sebenarnya.

Realitanya, dalam kasus Novel baswedan dan kasus-kasus sebelumnya, tak ada keadilan yang dijumpai. Dari sini terpapar jelas bahwa peraturan yang dibuat manusia tidak bisa dijadikan standar menilai dan menopang keadilan. Jadi, keadilan tak akan bisa terwujud dalam sistem demokrasi.

Berikutnya terkait para penegak keadilan. Karena demokrasi seiring sejalan dengan akidah sekularisme yang lahir dari rahim kapitalisme, maka peraturan yang dibuat pun dipisahkan dari aturan agama. Campur tangan Sang Pencipta dalam kehidupan disingkirkan. Penguasa berikut jajaran pejabat penegak keadilan memilah dan memilih peraturan, mana yang menguntungkan. Sehingga terealisasinya keadilan secara sempurna dan tak pincang hanyalah ilusi di negara demokrasi.

Keadilan untuk setiap elemen akan terwujud jika diberlakukannya suatu aturan di mana setiap tindakan berdasar pada keimanan Sang Maha Adil, Allah subhanahu wata’ala. Islam adalah agama sempurna yang memuat seluruh aturan kehidupan. Dalam Islam, setiap perkara wajib diputuskan berdasarkan hukum yang Allah gariskan. Karena Allah bukan hanya Sang Pencipta, tetapi sekaligus Sang Mudabbir berikut mengetahui segala sesuatu yang paling baik untuk ciptaan-Nya. Hukum Allah adalah hukum terbaik tiada tandingan. Hal ini seperti yang diterangkan Allah dalam kalam-Nya surah Al-Ma’idah ayat 50 : “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Terbukti dengan diberlakukannya aturan Islam secara kafah selama kurang lebih 13 abad, tak dijumpai ke-takpincangan keadilan. Seperti halnya yang terjadi pada Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pernah suatu ketika, Khalifah Ali terkejut melihat seorang Yahudi memegang baju besi kepunyaannya yang hilang. Si Yahudi tersebut mengelak mencuri baju besi itu.

Keduanya lantas menghadap hakim, yaitu Syuraih bin al-Harits. Jika diselaraskan dengan kejadian di sistem demokrasi, tentunya seorang penguasa negeri akan memenangkan perkara itu. Tetapi Islam tetaplah Islam. Keadilannya tak tertandingi dengan ideologi-ideologi lainnya. Pada saat itu, karena Khalifah Ali tak mempunyai saksi yang cukup, sehingga hakim memutuskan bahwa baju besi itu milik si Yahudi.

Begitulah, selama kita masih bernaung di bawah sistem demokrasi. Keadilan hanyalah ilusi yang tak pernah bisa diwujudkan. Hal ini merupakan bukti cacat permanen demokrasi. Untuk itu, marilah sama-sama membumikan ide-ide Islam, bahwa keadilan akan terwujud jika diterapkannya Islam secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *