Hutang Luar Negeri bikin Ngeri di Tengah Pendemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Imas Sunengsih,SE

Sebuah pemberitaan di berbagai media bahwa hutang luar negeri Indonesia semakin membengkak di kala pandemi yang sedang terjadi. Sungguh hal ini telah memberi dampak buruk terhadap psikologi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, disaat kondisi ekonomi semakin sulit ternyata penguasa negeri ini terus menggenjot utang dalam mencari penyelesaian bangsa. Sudah bisa ditebak, ketika hutang itu membengkak maka yang menjadi tumbal adalah rakyat.

Dilansir dari Tempo.co,Jakarta: Hutang luar negeri Indonesia diproyeksi akan terus meningkat hingga akhir tahun ini. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam berujar bahwa:
“Di satu sisi penerimaan Pemerintah menurun drastis, sehingga defisit anggaran melebar dan membutuhkan pembiyaan yang jauh lebih besar”.

Sebagian dari pembiyaan itu berasal dari penerbitan surat utang global dan global bond hingga pinjaman bilateral dan multilateral. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, hingga akhir April 2020 total utang luar Negeri Indonesia mencapai US$ 400,2 miliar atau setara dengan Rp.5.642,8 Triliun (asumsi kurs Rp.14.100/US$).

ULN sektor publik atau milik Pemerintah dan Bank Sentral sebesar US$ 192,4 miliar, sedangkan ULN sektor Swasta termasuk BUMN sebesar US$ 207,8 miliar.

Berdasarkan data di atas, Indonesia sudah masuk ke dalam jeratan hutang yang di tawarkan oleh negara kapitalis. Hal Ini sangat berbahaya untuk Indonesia yang merupakan negeri Muslim terbesar di dunia. Indonesia akan selalu berada di bawah kendali negara Kapitalis, termasuk dalam penguasaan SDA Indonesia. Situasi pandemi saat ini, pasti membutuhkan dana yang besar tapi solusi dari kekurangan Anggaran tidak dengan melakukan ULN apalagi kepada negara Kapitalis yang berprinsip “tidak ada makan siang gratis”.

Beginilah jika kebijakan yang dibuat hanya berdasarkan kepentingan kapitalis, rakyat yang selalu dikorbankan. Beban rakyat semakin berat harus membayar pajak A-Z, iuran BPJS naik,tagihan listrik juga naik,Tapera ataupun iuran yang lainnya.

Sangat berbeda dengan Islam. Islam menjadikan kepemimpinan sebagai periayah (pengurus) urusan rakyat. Amanah itu harus dijalankan karena tanggungannya dunia dan akhirat. Seorang pemimpin yang bertakwa tak akan menyalahi tugasnya. Ia bahkan tak akan berani membebani rakyat dengan beban sekecil apa pun. Mereka akan mengelola keuangan sesuai dengan pandangan Islam. Tak akan berani bermain-main dengan hutang riba, apalagi kepada negara kapitalis. Penguasa tidak akan menjerumuskan rakyatnya pada dosa besar.

Pemimpin yang beriman akan mencari pemasukan anggaran negara dengan cara halal. Ia akan mendapatkan pemasukan utama dari mengelola SDA yang ada dan Indonesia termasuk negeri muslim yang kaya akan SDA. Sumber daya alam yang melimpah ruah seharusnya dimanfaatkan sedemikian rupa guna kesejahteraan rakyat.

Namun kenyataannya justru sebaliknya justru banyak dieksploitasi oleh asing. Padahal kita ketahui Indonesia merupakan yang kaya akan SDA dengan dijuluki zamrud Khatulistiwa, gambaran keindahan kekayaan alam yang tidak dimiliki oleh negara lain. Ironisnya saat ini justru keterpurukan Indonesia semakin menjadi akibat sistem ekonomi kapitalis neolib yang diadopsi.

Coba bandingkan dengan sistem Islam yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas. Salah satu cara saat terjadi utang negara akan mencari pemasukan anggaran yang tidak hanya dari sumber daya alam. Diantara pemasukan yang diambil diantaranya: fa’i dan kharaj seperti ghanimah, jizyah, kharaj, fa’i, status kepemilikan tanah, dan dharibah. Di dalam sistem Islam pajak hanya pada waktu tertentu berbanding terbalik dengan sistem Kapitalis pajak menjadi sebuah andalan dalam memenuhi pemasukan negara.

Di dalam sistem Islam tidak akan melakukan pinjaman kepada negara penjajah yang akan memberikan kesengsaraan dan mencekik perekonomian bangsa ini.

Itulah kepemimpinan Islam. Yang hanya bisa terwujud ketika sistem Islam di terapkan secara kaffah. Atas dorongan takwa kepada Allah, bukan atas nama kepentingan dan kekuasaan semata.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *