Hukuman yang Mendidik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Lulu Nugroho (Aktivis Muslimah dari Cirebon)

Kembali kasus kerusakan terjadi dalam dunia pendidikan. Hal ini membuat geram para orang tua siswa Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Hingga mereka meminta pihak sekolah segera bertindak tegas. Para orang tua pun rela memindahkan anak-anaknya dari sekolah tersebut. (Liputan6.com, 26/2/2020)

Pasalnya, hukuman menyuapi siswa dengan feses adalah tindakan yang tidak manusiawi. Hal tersebut dilakukan pendamping siswa yang menyendoki feses, lalu disuapkan ke dalam mulut 77 siswa. Kejadian terjadi pada Rabu (19/2/2020), ketika tak satupun siswa mengaku, saat ditemukan kotoran manusia dalam kantong di sebuah lemari kosong di asrama.

Pendidikan tanpa adab, akan sulit menghasilkan output yang berkualitas. Paham kebebasan yang menerjang kehidupan kaum muslim, menjadikan manusia bergerak hanya mengikuti kesenangannya saja. Tanpa norma, dan kendali agama. Belum lagi masuknya liberalisme melalui tayangan dan media sosial, membuat pendidikan sangat jauh dari gambaran ala Rasulullah.

Akan tetapi, ada kalanya siswa melakukan pelanggaran, karenanya mereka harus diberi sanksi. Islam memberi cara menghukum namun tidak menyakitkan, tetap dalam koridor syara’, dengan arahan Alquran dan sunah. Hukuman harus bersifat perbaikan, bukan balas dendam. Untuk itulah perlu memotivasi anak untuk berusaha memahami dan memperbaiki kesalahannya.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah memperhatikan adab, usia dan karakter anak sebelum menjatuhkan hukuman. Sebab jika tidak, bibit kebencian akan tertanam dalam benak mereka. Kemudian maafkanlah, setelah mereka memperbaiki kesalahan. Ulama mengatakan, “Berikan adab sebelum ilmu. Berikan arahan sebelum hukuman”.

Konsep menghukum anak nakal agar jera tidak harus memukul, tapi bisa dengan ketegasan tanpa kekerasan. Kasih sayang, kelembutan dan pendekatan pribadi itu harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan hukuman. Sebab ketika seseorang marah, saat itu pula nalarnya menjadi tumpul. Kemampuan menimbang baik dan buruk, menjadi terganggu.

Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“ (Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609).

Banyak cara mendidik anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97, menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.

Hukuman tidak boleh menjatuhkan kemuliaan dirinya sebagai manusia. Seorang pendidik seharusnya peka terhadap yang demikian. Karenanya, hukuman yang bersifat mendidik, tidak dengan lisan yang kotor dan perbuatan yang tercela.

“Siapa saja yang menempuh jalan kebaikan, maka dia mendapat pahalanya, sekaligus pahala orang yang turut mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun,” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Lulu Nugroho, Muslimah Penulis dari Cirebon

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *