Oleh : Ratna Kurniawati (Aktivis Remaja)
Publik kembali dihebohkan dengan penetapan menteri sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan korupsi bantuan sosial Covid 19 oleh KPK. Juliari Batubara menyerahkan diri kepada KPK pada Minggu dini hari (06/12).
Adapun penetapan tersangka Juliari Batubara merupakan hasil perkembangan operasi tangkap tangan Sabtu (05/12) terkait dugaan korupsi bansos di wilayah Jabodetabek tahun 2020 di kementrian sosial.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengancam akan memberikan tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana bencana, termasuk dana penanganan pandemi Covid-19. Keterlibatan Juliari P Batubara dalam kasus korupsi pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial tahun 2020, memberi kemungkinan Menteri Sosial menjadi pelaku korupsi pertama yang akan dituntut hukuman mati oleh KPK.
Efektifkah solusi hukuman mati?
Wacana hukuman mati memang kembali menyeruak di hadapan publik setelah tertangkapnya menteri sosial.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah mengingatkan bahwa korupsi dana bencana seperti pandemi Covid-19 bisa diancam hukuman mati. Firli menuturkan, kondisi pandemi Covid-19 tentunya memenuhi unsur frasa dalam keadaan tertentu sesuai pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sehingga, hukuman mati layak diterapkan bagi koruptor bansos Covid-19.
Banyak pihak yang berpendapat bahwa penerapan pasal hukuman mati akan menjadi shock terapi terhadap perilaku tindakan korupsi di Indonesia karena selama ini KPK belum pernah menjerat koruptor dengan hukuman mati. Selain itu penerapan hukum mati dalam kasus korupsi dana bansos Covid 19 dinilai dapat meningkat kepercayaan publik terhadap KPK.
Penerapan pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati bisa diterapkan dalam kasus korupsi bansos Covid-19 yang menjerat Mensos Juliari Batubara. Sebab, situasi pandemi Covid-19 telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional.
Strategi Islam memberantas korupsi
Islam merupakan agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pemerintahan.
Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Alquran dan Hadist). Artinya kepala Negara (Khalifah) yang diangkat berdasarkan ridho dan pilihan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan Alquran dan Hadist.
Begitu pula pejabat-pejabat yang diangkat juga untuk melaksanakan pemerintahan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
Dalam Khilafah Islamiyyah pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Ummah/Majelis Wilayah berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Karenanya pemilihan dan pengangkatannya bisa mendapatkan kandidat yang betul-betul berkualitas, amanah dan mempunyai kapasitas serta siap melaksanakan Alquran dan Sunnah.
Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).
Langkah-langkah Khilafah Mencegah dan Menghilangkan Korupsi
Pemerintahan Islam (Khilafah Islam) adalah pemerintahan yang dijalankan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani:
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Dengan demikian pemerintahan Khilafah dalam menjalankan roda pemerintahan Islam berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. (Taqiyuddin an Nabhani, al Syakhshiyah al Islamiyah Juz II, Beirut, Libanon: Dar al Ummah, 2003. hlm 13).
Adapun aturan yang diterapkan dalam Khilafah Islamiyyah, untuk mencegah korupsi/ kecurangan/ suap adalah sebagai berikut:
Pertama, Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan.
Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah.
Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya, gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier.
Di samping itu dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi.
Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah, 2001)
Ketiga, ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat/ pegawai Negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karenanya mereka memiliki self control yang kuat.
Sebagai seorang Muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat.
Dengan demikian seorang Muslim akan menjadikan amanah/jabatannya itu sebagai bekal masuk surga.
Keempat, amanah. Dalam pemerintahan Islam setiap pejabat/pegawai wajib memenuhi syarat amanah. Yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat.
Selanjutnya saat menjabat pun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya.
Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau tidak.
Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.
Rasulullah pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. “Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku…lalu Rasulullah bersabda: Seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…(HR. Bukhari-Muslim, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm. 119).
Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Khilafah juga menetapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah Islam untuk membuat jera pelaku korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat.
Berdasarkan laporan bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain.
Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.
Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu menjadi gubernur Syam.( Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Wa’lahualam bishawab