Hukuman Mati Korupsi Bansos, Pantaskah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

 

Oleh: Anggun Sunarti,S.H. (Aktivis Dakwah)

Belum lama terdengar kabar korupsi dari Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Terbit lagi nama Menteri yang tesandung korupsi dana bansos ditengah pandemi. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar karena di tengah kondisi yang sulit seperti ini masih ada tangan pejabat yang tega mengambil separuh hak rakyat untuk kepentingan pribadi mereka. Negara yang katanya negara hukum ternyata kebal dengan para koruptor.

Beban rakyat belum usai dengan banyaknya PHK yang terjadi dimana-mana membuat kondisi masyarakat makin sulit, tentu bantuan dari pemerintah adalah hal yang dinanti. Sulitnya mendapatkan pekerjaan dalam kondisi pandemi dan takut terpapar penyebaran Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk tetap bisa beratahan hidup. Dengan hati yang lapang harus mendengar lagi kabar duka di negeri ini, bahwa bantuan yang dinanti teryata dikorupsi oleh mereka yang diberikan tanggung jawab untuk menyalurkan dana bansos.

Sebagaimana dilansir dari media detik.com, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar.

Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 8,2 miliar. Pada periode kedua, yakni Oktober-November 2020, Pelaksanaan paket sembako terkumpul uang fee Rp8,8 miliar yang diduga akan dipergunakan untuk keperluan saudara Juliari Batubara.  (Detik.com 6/12/2020)

Sungguh ini adalah hal yang mencengankan, dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, malah diembat untuk kepentingan pribadi. Ini tentu membutuhkan penangan yang serius, bukan hanya menyangkut perut orang banyak tapi ini adalah hak yang dipangkas oleh mereka pejabat berdasi. Sikap dari pihak yang berwenang menjadi harapan rakyat dalam penanganan kasus ini. Wacana hukuman mati yang disampaikan oleh ketua KPK dianggap sebagai hukuman yang manjur bagi para koruptor.

Pro Kontra Hukuman Mati Korupsi Bansos

Institute for Criminal Justice (ICJR) menentang keras pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Juliari ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap dari pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh pemerintah seharusnya fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.

“Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi,” ucap Erasmus, Minggu (Merdeka.com 6/12).

Dilansir dari BBC Indonesia (8/12/2020), peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyebut hukuman mati terbukti tidak menimbulkan efek jera. Kurnia berkata, negara yang menerapkan hukuman mati meraih skor rendah dalam indeks persepsi korupsinya. Contoh yang dia sebut adalah Cina dan Iran, yang peringkatnya bahkan berada di bawah Indonesia.

Hukuman mati sejatinya sudah beberapa kali diwacanakan. Hanya saja masih banyak pro kontra yang terjadi. Sehingga sampai detik ini belum ada pelaku korupsi yang diganjar dengan hukuman mati. Korupsi terhadap bansos dipandang  perilaku kejam yg pantas diganjar hukuman mati, namun dalam sistem demokrasi wacana ini dimentahkan.

Melihat negara yang sudah kebal hukum dengan kasus korupsi sebelumnya, apakah hukuman mati bagi para koruptor akan menjadi solusi solitif atau hanya sebagai gertakan semata untuk menarik perhatian masyarakat?

Tentu hal ini bisa kita lihat dari kebijakan yang ditetapkan sebelumnya untuk para koruptor dengan hukuman penjara dan aset mereka yang dirampas, tidak ubahnya hanya gurauan semata. Buktinya mereka mendapatkan fasilitas berkelas selama masa tahanan, tentu ini sangat tidak sepadan dengan pelaku pidana dan uang yang dikorupsi. Mereka mendapat hukuman dengan pelayanan yang mewah berbeda dengan tahanan lainnya. Mana bisa kapok kalau begini, justru keenakan dengan fasilitas hukuman dan menjadikan dirinya berleha-leha dari kesalahan yang dilakukan.

Inilah gambaran kebijakan dalam sistem demokrasi, kebijakan yang ada hanya akan membuat sarang korupsi tersebar di berbagai pelosok. Sifat tamak dan rakus adalah sifat bawaan dalam sistem politik ini. Gaji yang tinggi dan sejumlah fasilitas negara yang diberikan seperti jaminan kesehatan, mobil dinas, pengawalan VIP, dan rumah dinas, rupanya belum cukup untuk memuaskan kebutuhan mereka. Penyelesaian korupsi menjadi PR besar bagi negeri ini kedepannya, supaya tidak ada lagi pemangkasan anggaran untuk kebutuhan masyarakat.

Menindak Korupsi menurut Syariah Islam

Dalam Islam korupsi disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaain, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaain ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu.

Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaain (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Maidah : 38.

Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda: “Laysa ‘ala khaain wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud).

Lalu sanksi apa yang diterapkan kepada koruptor? Dari kitab Nizhamul Uqubat dijelaskan bahwa sanksi bagi para pelaku korupsi disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Seperti itulah Islam memberikan hukuman bagi pelaku korupsi. Cara ini memang tidak mudah karena mengasumsikan perubahan sistem hukum yang sangat mendasar, yaitu menuju sistem hukum tunggal, yaitu Syariah Islam. Walaupun tidak mudah, tapi cara inilah yang patut diyakini akan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di permukaan atau kulitnya saja.

Kebijakan ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu. Karena hukum yang diterapkan adalah syariah Islam. Bukan hukum demokrasi buatan manusia yang sarat kepentingan.

Wallahu a’lam bissawab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *