Hukum Tebang Pilih, Keadilan Mustahil Dalam Sistem Hukum Sekulerisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Isna Yuli

 

Membincangkan korupsi di negeri ini memang tiada habisanya. Hingga hari ini, belum ada tanda tanda bahwa negeri ini bebas dari korupsi, belum lagi hukuman bagi pelaku korupsi yang tidak memberikan efek jera sama sekali. Akibatnya, hampir diseluruh tingkat jabatan tidak segan melakukan tindak korupsi, bahkan ada yang sampai tersistem. Buruknya penerapan hukuman bagi pelaku korupsi juga menuai banyak kritikan, seperti yang diputuskan atas jaksa Pinangki Sirna Malasari baru-baru ini. Pengadilan tinggi DKI  Jakarta memotong hukumannya dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara dalam kasus penerimaan suap, permufakatan jahat dan pencucian uang.

Tidak tanggung-tanggung, pemotongan hukuman lebih dari separuh dari pertimbangan awal ini dinilai tidak adil. Majelis hakim menilai bahwa keputusan dipotong nya hukuman terdakwa dikarenakan ia telah mengakui kesalahannya serta telah mengikhlasakan untuk dipecat dari jabatannya sebagai jaksa. Oleh karena itu menurut hakim ia masih bisa diharapkan berprilaku sebagai masyarakat yang baik. Hakim juga beralasan bahwa dia juga seorang ibu yang memiliki bayi berusia 4 tahun.

Lagi-lagi hal ini membuktikan lemahnya sanksi hukum dalam siatem kapitalisme sekuler dalam menindak pelaku kejahatan dinegeri ini. Tak dapat dipungkiri bahwa keputusan hukum demikian tersebut bisa terjadi sebab hukum dinegeri ini lahir dari sistem hukum pluralisme. Sistem hukum pluralisme adalah penerapan sistem hukum yang dicampur aduk antara 3 sistem hukum, yaitu sistem hukum islam, sistem hukum adat dan sistem hukum barat.

Hal ini terjadi sebab negeri ini tidak memiliki satu sistem paten guna diterapkan dalam semua aspek hukum dan pemerintahannya. Sistem hukum pluralisme ini sebenarnya adalah warisan sistem hukum penjajah, bukan inisiatif bangsa Indonesia. Melaksanakan sistem hukum warisan penjajah sama saja dengan melanggengkan penjajahan itu sendiri. Pada dasarnya sistem kapitalisme sekuler menetapkan hukum ditangan manusia bukan berasal dari Allah SWT.

Karenanya jika kita ingin terlepas dari sistem hukum yang tidak adil ini, maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menghapuskan pemberlakuan sistem kapitalis sekuler itu sendiri dan beralih ke sistem islam yang sempurna. Sistem hukum islam memberlakukan hukum syara sebagai sistem satu-satunya yang berlaku di negeri ini. Penerapan hukum syariah islam yang sempurna akan mampu memainkan perannya dalam pemberantasan dan pencegahan kasus korupsi.

Sistem islam tidak hanya mampu memberantas kasus korupsi namun sistem ini juga mampu mencegah terjadinya tindak korupsi bagi pejabat Negara. Dalam penindakan kasus korupsi maka akan diberlakukan sanksi atau yang disebut dengan ta’zir. Yaitu sanksi yang bentuk dan sanksinya ditentukan oleh majelis hakim. Jenis sanksi yang diberkan bisa beragam, mulai dari pemberian nasehat, sanksi penjara atau pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku dihadapan kepada khalayak umum, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) terhadap pelaku kejahatan serta menjadi penebus dosa (zawabir) hingga hari pembalasan kelak diakhirat.

Adapun langkah kuratif pencegahan korupsi menurut syariat islam ada 7 langkah, pertama, rekrutmen SDM atau aparat Negara wajib berasaskan profesionalitas dan inetrgitas, bukan berdasar koneksitas atau nepotisme. Profesionalitas dan kapabelitas dalam bidang yang dibawahi nya tentu menjadi prioritas, ditambah syahsiyah islam tentu akan cakap dalam menjalankan tugasnya. Terlebih lagi bagi penegak hukum.

Kedua, Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparatur Negara, baik dengan berbagai pelatihan maupun sekedar nasehat. Hal ini dilakukan secara kontinyu. Ketiga, Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak bagi aparatnya. Fasilitas yang diberikan kepada aparat negara tidak hanya terbatas pada rumah dinas dan kendaraan dinas saja, tapi jika memang dibutuhkan pelayan, maka negara akan memberikan pelayan juga. Keempat, islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat Negara. Kelima, islam melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat Negara. Penghitungan kekayaan dimulai saat sebelum menjabat sampai akhir masa jabatan, dari sini ini akan diketahui peningkatan kekayaan yang wajar atau tidak. Keenam, keteladanan dari seorang pemimpin.  Ketujuh, pengawasan oleh Negara dan masyarakat.

Kesemua pencegahan dan penerapan hukuman bagi koruptor akan berjalan jika negara melepaskan diri dari sistem sekulee dan menerapkan sistem islam secara sempurna.

Wallahu a’lam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *