Hujan Air Mata

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Afiyah Rosyad

Sang surya sudah turun ke peraduan, melewati hamparan lautan yang tak pernah habis airnya. Pantulannya berpendar kekuningan, memamerkan siluet bayangan indah di tengah riak gelombang.

Sayup-sayup adzan berkumandang, dengan gontai dilangkahkan kakinya yang telanjang. Menyusuri jalan setapak yang bergelombang. Disapa angin cemara laut yang rindang.

Hatinya galau, sedari Asar dia menanti belahan jiwa yang sedang melaut. Sudah tiga hari suaminya memetani ombak tinggi demi setangkup ikan. Bekal ala kadarnya yang dibawakan, tentulah habis.

“Ya Allah, selamatkanlah suamiku.” Hatinya merintih.

Surau dekat rumahnya sudah meninggikan syi’ir Asmaul Husna. Dengan bergegas dia bersih diri lalu wudlu dan berangkat ke surau itu. Tak banyak jamaahnya.

Surau kecil di bibir pantai itu setia pada ombak yang teekadang menyapa. Bahkan air laut dengan mesra berhamburan masuk ke dalamnya.

Lepas sholat Maghrib, tilawah disenandungkannya dengan merdu dan syahdu. Bahkan setiap desahan nafasnya saat waqof membuat hati yang mendengarnya pilu.

Beruarai sudah air matanya, menganak sungai membahasi mushaf dan mukenahnya. Tak tahan dia dibuatnya. Satu makro’ ia selesaikan. Lalu bangkit hendak pulang menyiapkan makan malam. Mungkin saja suaminya datang.

Malam semakin bergelayut kelam. Larut dengan kesepian yang mendalam. Kekasih hati yang diharapkan belum juga datang. Maka resah dan gelisah membuncah.

Kini mentari telah kembali menghangatkan jiwa yang menggigil. Memberi cahaya yang tak mungkin dihalau kecuali Sang Pencipta menghendaki. Kesibukannya di pagi hari di rumah sudah usai. Maka dilangkahkan kakinya menuju beelabuhnya sampan.

“Assalamu’alaykum Mak,” dengan hati-hati dia menyapa sesepuh di kampungnya itu.

“Wa’alaykumussalam warohmatullahi wabarokatuhu,” yang disapa menjawab dengan sangat ramah.

“Eh, belum pulang suamimu, Jah?” tanya mak Maryam pada Azizah.

“Belum, Mak,” dia tertunduk lesu, angannya kembali bercengkrama pada empat hari yang lalu.

“Abang berapa lama melaut? Jangan lama-lama Abang,” Azizah merajuk.

“Sabar Dek, InsyaAllah tiga hari Abang dah balik. Abang akan cari ikan yang dekat saja,” suaminya berusaha meyakinkan.

“Sabar, Jah. Dulu aku bahkan ditinggal setengah bulan. Padahal pamitnya cuma tiga hari,” mak Maryam menguatkan hatinya.

Lalu dengan perasaan yang masih berkecamuk. Sabitnya dengan lincah berdansa di atas pasir, menguak perswmbunyian kerang-kerang yang diburunya. Setelah seember kerang tersenyum padanya, maka dia segera bergegas ke pasar dan menjualnya.

Usai sholat Dhuha di surau. Dia enggan tuk langsung pulang. Maka berkholwatlah ia dengan Penciptanya. Diadukannya segala perih hatinya. Dituangkan segala gundah gulananya, berharap sang belahan jiwa selamat dan baik-baik saja.

Setelah puas bermesra di surau, ia bangkit hendak pulang. Di kejauhan dia melihat sesosok perkasa berjalan mendekatinya, membuat rona matanya bahagia, dan wajahnya bersemu merah.

Kesadarannya telah pulih kembali. Secercah sinar mengintip di balik tirai yang lusuh, dia berusaha duduk. Namun, dicegah oleh ibundanya. Dia mengernyit, sejak kapan ibunya datang. Dan ini ruang apa?

Porak poranda dia mengingat kejadian tadi waktu Dhuha. Saat sosok perkasa itu datang dan mengabarkan bahwa perahu suaminya tak bertuan. Perahu itu teromabang ambikng di tengah lautan.

Kepanikan menyergap dirinya, kalut dan takut memeluknya erat. Hingga akhirnya dia tersadar sudah di ruang Polindes.

“Azizah, apa yang telah Allah tetapkan atas diri kita, tidak bisa ditolak nduk,” ibundanya hati-hati menyampaikan.

“Pertemuan, perpisahan, kelahiran, ajal perkara-perkara yang tak diluar jangkauan kita. Kita tak kan mampu menghalaunya,” dielusnya lengan Azizah yang hanya mengenakan kemeja.

“Nduk, suamimu mungkin saat ini sudah mati. Tapi mungkin saja juga sedang berjuang menyelamatkan diri. Namun, apapun yang terjadi, kau harus ikhlas,” Azizah mulai menatap wajah ibunya yang teduh.

“Area yang bisa kita jangkau, kita upayakan. Kakak-kakakmu berusaha mencari bantuan lewat dinas setempat. Semoga ada kabar baik dari mereka,” senyumnya yang mulai keriput memancarkan ketenangan dalam jiwa Azizah.

“Allah Maha Tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya. Selama kita berjalan sesuai aturan-NYA. Tak usah dipusingkan apa yang sudah menjadi ketetapannya. Kalaupun suamimu mati, dia akan mendapat pahala besar di sisi-Nya. Dia sedang menunaikan kewajibannya mencari nafkah untukmu dan calon anaknya, sabar nduk!” kembali Azizah terisak haru.

Dia tahu, bahwa setiap yang bernyawa akan mati. Tak ada yang tahu kapan waktunya dan bagaimana keadaannya. Ajal itu akan menjemput nyawa yang tepat sesuai titah Allah SWT.

“Allah tujuan hidup kita. Itu pasti, Nduk. Kita sudah tahu asal kita dari mana. Tujuan hidup kita. Lalu akan kemana setelah hidup di dunia ini,” jelas ibunya.

Azizah memejamkan matanya rapat. Mengingat petuah-petuah suaminya. Bahwa dalam hidup ini harus dipimpin oleh pemikiran Islam, dalam kondisi apapun, meski terpuruk. Kesulitan ekonomi keluarganya tak membuat suaminya surut dalam berupaya. Dakwahnya juga tetap kencang dilajukan di sekitaran kampung dan kecamatan.

Idrok shillah billah senantiasa dijaga dalam segala amal perbuatan. Agar ridlo Allah menghampiri kehidupan. Tak pernah suaminya mengeluh karena keadaan. Hidupnya bersahaja, tak pernah berutang. Nanun kehidupan mereka selalu berkecukupan.

“Azizah, qodlo Allah itu harus diimani. Baik ataupun buruk,” ucapan ibunya terhenti saat petugas berseragam datang. Bukan pegawai polindes, tapi dari Dinas Kelautan.

Kabar baik mereka terima, bahwa bang Jaka, suami Azizah sedang dirawat di Pulau Kangean. Jika sudah pulih, akan diantar pulang.

Seketika angin lembut datang menelisip masuk ke relung hati. Bacaan kalimat thoyyibah yang sedari tadi tiada henti dilafadzkan di lisan Azizah, kini menghambur keluar agak tertahan. Dia sujud sukur dengan sisa tenaga yang dimiliknya.

Rasa syukur begitu membuncah menghempas segala resah. Azizah semakin menguatkan azzamnya untuk senantiasa dekat dengan Allah.

Kini ruangan itu tambah ramai, ada teman halqohnya datang untuk menguatkan. Senandung pilu telah berlalu. Menghapus hujan air mata kesedihan. Menggantinya dengan hujan air mata kebahagiaan.

Paiton, 7 Februari 2020

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *