Hilangnya Peran Ulama Pewaris Nabi di Sistem Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Lia Aliana (Aktivis Muslimah)

 

Salah satu nikmat dari Rabb pencipta alam semesta kepada kita serta patut disyukuri, yaitu Allah telah menjaga kemurnian Islam melalui para pejuang agama. Mereka tak lain adalah Ulama yang senantiasa terus mengamalkan ilmunya, menjadi pelita menyingkap kegelapan zaman dan merupakan panutan umat.

Dengan ilmunya menjadikan para ulama memiliki kedudukan mulia di tengah umat, hingga Nabi berpesan “sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi, sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Bukan tanpa alasan, Rasulullah memberikan sebutan ulama sebagai warosatul anbiya sebab mereka takut pada Rabbnya. Keluasan ilmunya menjadi sarana untuk mengenal pencipta, sehingga mengetahui apa yang diridhai dan dibenci Allah. Maka tak heran jika orang yang lebih tau Allah akan merasa takut kepadaNya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” Rasa takut ini diwujudkan dalam bentuk ketaatan dengan mendekat, memohon rahmat, juga menyeru untuk tunduk pada aturan pencipta. Sejatinya merekalah pemimpin di tengah umat yang mengadakan perbaikan.

Namun kini, sistem demokrasi telah menghilangkan peran para ulama sebagai pewaris nabi. Terlihat dengan dicopotnya sejumlah ulama yang vokal, kritis serta dianggap ikut campur dalam masalah politik dari kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) seperti Din Syamsudin, Tengku Zulkairnain dan Bachtia Nasir.

Realitas ini membuktikan bahwa sistem sekuler semakin mengokohkan dominasinya dalam mewarnai kebijakan. Dan MUI menjadi korban dari ketidak adilan rezim ini. Hal senada diungkankan oleh Ujang Komarudin Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia yang menilai dominasi dan kekuatan Ma’ruf Amin di MUI sangat kentara.

Bahkan membuka dugaan kuat campur tangan pemerintah di payung besar para ulama tersebut. “Bisa dikatakan ada semacam campur tangan karena Ma’ruf Amin kan wapres. Tentu pemerintah ingin majelis ulama dalam kendali. Sehingga kekritisannya akan hilang dan bisa dikendalikan.” (CNN Indoneaia, 27/11/2020)

Meski demikian, pada hakikatnya dialah ulama penyampai risalah nabi kepada umat, terlebih Rasulullah mengistilahkan mereka sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan. Maka menjadi keharusan bagi ulama saat ini untuk tetap teguh di jalan kebenaran serta tidak gentar sedikitpun dengan berbagai ujian juga tipu daya dunia.

Ulama ibarat cahaya yang menyinari kegelapan serta kebenaran yang tampak samar, menyeru umat agar melaksanakan syariat. Maka harus tumbuh kesadaran untuk tetap lantang menyuarakan al-haq dan menentang kebatilan sebagai wujud keimanan. Hingga mereka menjadi benteng penghalang antara agama ini dengan musuh-musuhnya.

Kemaksiatan adalah musuh Islam yang mengintai kaum muslimin. Termasuk diantara bentuk maksiat yaitu berhukum pada sistem buatan manusia (demokrasi). Maka ulama harus berani menyampaikan bahwa demokrasi dengan asas sekulerismenya adalah biang kerusakan dan menjadikan manusia abai terhadap aturan Allah.

Ulama adalah pejuang Islam bukan pemuja demokrasi, dengan sistem tersebut hukum Allah dipermainkan. Ia juga tidak tergiur dengan politik kekuasaan yang tak mengenal surga dan neraka, apalagi menjadi budak penguasa yang berorientasi materi serta tunduk pada syahwat duniawi.

Ulama haruslah tegas dalam menyampaikan kebenaran, jangan terjebak narasi sesat yang dapat mengaburkan pemahaman umat. Maka ia wajib mewaspadai arus moderasi beragama dengan memanfaatkan posisi mereka untuk menjauhkan kaum muslim dari aturan Allah. Justru itu adalah perangkap Barat agar kita umat Islam alergi dengan Islam kaffah dan mengidentikanya dengan kelompok radikal.

Oleh karena itu, sebagai penyampai risalah nabi seorang ulama berkewajiban menolak serta mengantisipasi propaganda moderasi beragama yang digaungkan oleh Barat ke negeri-negeri Islam. Tujuan utamanya tak lain adalah agar umat terpengaruh dengan narasi sesat tersebut sehinga kaum muslim terpecah belah.

Itulah fokus kiprah ulama yaitu mendidik, menuntun umat meniti jalan kebenaran serta membongkar segala kemaksiatan kepada Allah baik dilakukan individu, komunitas ataupun negara. Namun kini kehadirannya sebatas lambang dan hiasan, peran sesungguhnya yaitu mementang kezaliman telah hilang, tersandera demokrasi.

Lagi dan lagi demokrasi juga isme-isme lainnya merupakan biang keladi dari segala kerusakan yang menimpa umat. Maka untuk menghentikannya tak cukup diserahkan kepada masyarakat, ormas bahkan ulama. Melainkan hanya bisa dijalankan sempurna oleh institusi yang menerapkan Islam secara keseluruhan yaitu daulah khilafah ala minhaj nubuwah.

Dengan demikian semestinya para ulama juga umat menyatukan kekuatan untuk berdakwah menyerukan tegaknya hukum Allah dalam rangka melanjutkan kehidupan Islam yang membawa kepada keridhaan-Nya, hingga mengantarkan kepada kemaslahatan dunia akhirat.

Wallahu a’lam bish shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *