Hidup Miris Saat Syariat Tak Hadir di Tengah Umat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Uqie Nai (Alumni Branding for Writer)

Kesulitan ekonomi dalam kondisi pandemi senantiasa menyisakan perih bagi masyarakat kelas bawah. Sudahlah ancaman virus di depan mata ditambah kehidupan yang terus morat-marit serasa sulit melanjutkan hidup. Rumah begitu sempit, masalah selalu menghimpit, pekerjaan sulit, lahan pertanian dan perkebunan yang dulu digarap petani kini telah beralih fungsi dan pemilik. Beberapa tahun ke belakang konon katanya kebutuhan perut masih bisa diatasi dengan tanaman hasil kebun atau dari pekarangan rumah. Kini, bagaimana dengan warga yang rindu bercocok tanam tapi tak berdaya karena lahan tiada?

Mungkin karena kondisi itulah empat orang petani di Desa Tarumajaya, Kertasari Kabupaten Bandung, Jawa Barat terjerat kasus pidana. Mereka duduk di kursi terdakwa di ruang sidang Pengadilan Negeri Bale Bandung, Senin (13/7/2020).

Dilansir oleh Tribunjabar.id–Bandung, Simin dan ketiga rekannya Tatang Supriatna, Enceng dan Engkus dijerat Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor‎ 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak. Ancaman pidana dalam pasal itu yakni kurungan 3 bulan dan denda Rp 5 ribu.

Berdasarkan surat berisi uraian singkat tindak pidana penguasaan tanah tanpa seizin yang berhak, yang dibacakan penuntut umum di Pengadilan Negeri Bale Bandung, kasus ini bermula saat Simin dan ketiga rekannya menggarap lahan di blok Ranca Desa Tarumajaya Kecamatan Sukasari sejak 2016.

Lahan itu ditanami sayuran. Namun, penggunaan lahan itu tanpa sepengetahuan dan seizin dari PT London Sumatera (PT Lonsum) selaku pemilik tanah berdasarkan bukti sertifikat hak guna usaha nomor 14/Desa Tarumajaya atas nama PT Perkebunan London Sumatera Indonesia berkedudukan di Jakarta yang diterbikan kantor BPN dan masih berlaku hingga Desember 2023.

Di sisi lain, Simin dan ke tiga rekannya itu berdalih bahwa lahan yang digarapnya sudah diolah turun temurun. Namun, tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Dan hanya untuk memanfaatkan tanah. Sedangkan berdasarkan pengecekan ulang oleh BPN, obyek tanah yang digarap, masuk ke dalam sertifikat hak guna usaha.

Apa yang dilakukan Simin dan ketiga rekannya memang tidak bisa dibenarkan karena menggarap lahan untuk menanam sayuran milik orang lain (PT Lonsum) tanpa izin. Tanah itu produktif atau pun tidak hukum negeri ini berpihak pada pemilik tanah. Namun demikian kasus ini tidak akan terjadi manakala kehidupan rakyat atau petani mendapat perhatian negara.

Kemiskinan dan kesulitan warga masyarakat dalam kondisi normal maupun wabah berkaitan erat dengan riayah (pengurusan) negara sebagai institusi pemerintahan yang berkewajiban memenuhi hak-hak rakyat, baik primer, sekunder atau tersier. Sayangnya, sistem demokrasi di bawah naungan kapitalisme sekulerisme yang diadopsi negara tidak hadir untuk itu. Bagi sistem ini rakyat hanya diperlukan saat pilpres atau pilkada, meski jargon dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat terus digaungkan.

Setiapkali ada polemik baik skup individu atau kelompok masyarakat, perhatian pemerintah minim didapatkan. Termasuk penggelontoran dana untuk membantu korban bencana pun tidak sebesar dengan dana pesta demokrasi atau dana untuk fasilitas pejabat. Maka, tak heran jika jerat pidana begitu mudah menjerat warga miskin ketimbang elit politik. Untuk makan sehari-hari serta kebutuhan pokok keluarga saja sulit terpenuhi apalagi membayar prosesi peradilan. Padahal, jerat hukum itu bermuara dari abainya negara terhadap rakyat.

Berharap pada negara yang mendukung kapitalis, pemodal dan pengusaha seperti saat ini seolah menjadi harapan semu tanpa titik temu. Bahkan meski berulang rezim berganti tapi kemiskinan akibat sistem tak pernah berakhir. Inilah yang harus menjadi motivasi agar bersegera mencari sistem hakiki penuh solusi.

Aturan Islam tentang Pertanahan

Menyikapi kasus yang dialami ke empat petani di atas dengan polemik sistematis tak akan dijumpai dalam pemerintahan Islam dengan kepala negara penerap syariat.

Menurut Abdurrahman Al Maliki tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui : (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).

Mengenai jual-beli, waris, dan hibah sudah jelas. Adapun ihya`ul mawat artinya adalah menghidupkan tanah mati (al-mawat). Pengertian tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya memanfaatkan tanah itu, misalnya dengan bercocok tanam padanya, menanaminya dengan pohon, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Sabda Nabi saw., ”Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari) (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 79).

Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad).

Sedang iqtha`, artinya pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Nabi saw. pada saat tiba di kota Madinah, pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi saw. juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam. (Al-Nabhani, ibid., hal. 119).

Hilangnya Hak Kepemilikan Tanah Pertanian

Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. (Al-Nabhani, ibid., hal. 136).

Umar bin Khaththab pernah berkata, ”Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan.” Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat menyetujuinya sehingga menjadi Ijma’ Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi saw) dalam masalah ini. (Al-Nabhani, ibid., Juz II hal. 241).

Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah pertanian yang dimiliki dengan cara-cara lain atas dasar Qiyas. Misalnya, yang dimiliki melalui jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi alasan hukum (illat, ratio logis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta’thil al-ardh). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 139)

Syariah Islam juga mengharuskan pemilik tanah pertanian untuk mengolahnya sehingga tanahnya produktif. Negara dapat membantunya dalam penyediaan sarana produksi pertanian, seperti kebijakan Khalifah Umar bin Khathtab memberikan bantuan psarana pertanian kepada para petani Irak untuk mengolah tanah pertanian mereka.

Jika pemilik tanah itu tidak mampu mengolahnya, dianjurkan untuk diberikan kepada orang lain tanpa kompensasi. Nabi saw. bersabda, ”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari).

Demikianlah cara syariat Islam mengatur urusan publik yang berkaitan dengan tanah. Kesempurnaan aturannya bersifat adil dan menyeluruh dapat memberikan kesejahteraan kepada umat tanpa jerat pidana ala undang-undang kolonial. Tidakkah kita merindukan hadirnya Syariat di tengah umat ?

Wallahu a’lam bi ash Shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *