Herd Immunity, Layakkah Menjadi Solusi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Sri Yulia Sulistyorini, S. Si (Indramayu)

Di tengah merebaknya wabah corona, herd immunity sempat mengemuka menjadi salah satu solusi. Para virolog, dokter dan juga ilmuwan mengemukakan pendapat dan analisisnya berkaitan dengan solusi yang sudah atau akan diambil berbagai negara yang terdampak virus covid-19 ini.

Banyak negara yang mengambil langkah lockdown wilayahnya untuk mengatasi penyebaran virus ini dan fokus pada pengobatannya. Meskipun upaya maksimal sudah dilakukan, angka kematian masih cukup tinggi. Seperti di Wuhan dan Italia. Sampai saat ini lockdown masih menjadi pilihan strategis untuk menekan angka kematian di suatu wilayah yang terkena wabah.

Di Indonesia, yang sekitar seminggu ini sudah menerapkan social distancing, tiba-tiba muncul pendapat-pendapat atau ide baru sebagai solusi untuk mengatasi virus covid-19 ini, yaitu membentuk herd immunity. Apa itu herd immunity? Herd immunity adalah kekebalan kelompok dengan asumsi data global fatality rate virus ini “hanya 3%”.

Herd immunity sebenarnya sempat akan diterapkan di Inggris. Namun para ilmuwan banyak yang mengajukan penolakan dan melakukan petisi menolak kebijakan ini, seraya menekan pemerintah untuk segera bertindak. Sebanyak 501 saintis menandatangani petisi untuk mendesak pemerintah melakukan social distancing ketika isu pembiaran wabah demi herd immunity alami bergulir.

Adanya asumsi bahwa ketika virus covid-19 ini menginfeksi orang-orang yang imunitasnya tinggi, biasanya kalangan usia muda, maka tubuh akan mengeluarkan imunnya (setelah 7 hari terinfeksi ) melawan virus, dan virus akan kalah. Dengan sendirinya mereka akan sembuh setelah 14 hari. Untuk terbentuknya herd immunity dibutuhkan sekitar 70 % yang terinfeksi dan diharapkan sembuh. Setelah sembuh, orang yang terinfeksi virus ini tidak akan terkena lagi, sehingga lama2 virus ini hilang.

Bagaimana jika ide berbahaya ini diterapkan di Indonesia? Sekarang coba kita hitung secara matematis. Dengan melihat data statistik, jumlah penduduk Indonesia 270 juta. Berarti untuk membentuk herd immunity butuh 70% x 270 juta = 189 juta jiwa minimal harus terinfeksi virus ini. Dari 189 juta jiwa, berarti ada 3 % yang meninggal dunia, yaitu sekitar 3 % x 189 juta = 5.670.000 orang ” harus dikorbankan” untuk meninggal. Ini jumlah yang sangat besar. Jadi jangan cuma dilihat dari angka 3% saja.

Ada yang berpendapat, Indonesia ini mempunyai bonus demografi, dimana jumlah mayoritas penduduk adalah usia produktif atau masih muda. Maka kalau dilihat dari resiko terpapar virus covid-19 ini, usia muda itu lebih cepat sembuh dan bisa terbentuk imun. Lantas siapa yang mau dikorbankan?

Mungkin ide ini muncul setelah menilai berbagai kemungkinan ketika solusi lockdown diambil. Tindakan lockdown di suatu wilayah akan menyulitkan wilayah tersebut. Negara juga tidak siap karena pembiayaan yang sangat besar. Perekonomian colaps, masyarakat susah diarahkan, dan sebagainya.

Sebenarnya kalau mau lebih serius lagi, solusi lockdown ini bukan tidak mungkin diterapkan. Dilihat dari karakter masyarakat Indonesia, lebih mudah diatur dibandingkan dengan masyarakat Italia, yang mungkin lebih tinggi tingkat perekonomiannya dan cenderung liberal. Asal diarahkan dan digiring dengan kerjasama dari level atas hingga bawah, misal sampai tingkat RT, saya yakin masyarakat Indonesia bisa dikendalikan. Konsekuensinya pemerintah dan semua pihak konsisten untuk kompak melakukan berbagai tindakan social distancing, lockdown dan fokus pengobatan bagi yang sudah terjangkit.

Dibutuhkan ketegasan dan berani mengambil resiko untuk mengeluarkan dana demi kepentingan masyarakat. Solusi apapun yang diambil, apakah lockdown atau membentuk herd immunity, sama-sama membutuhkan dana besar.

Untuk membentuk herd immunity konon katanya harus mempersiapkan wilayah khusus untuk isolasi bagi yang terinfeksi. Ini diarahkan kepada anak muda. Para manula dipisahkan. Rumah sakit-rumah sakit darurat akan dibuat. Obat-obatan yang diperlukan juga harus disiapkan. Semua ini tentu butuh biaya yang tidak sedikit.

Herd immunity berfokus hanya pada pengobatan, tidak ada lockdown. Bukankah akan lebih baik bila dana yang cukup besar dialokasikan untuk memberikan bantuan kepada warga ketika lockdown dilakukan? Tentu sebelumnya harus didata semua kebutuhan warga.

Lockdown tak mustahil untuk dilakukan. Asalkan optimis, pasti bisa dilakukan. Jangan mengorbankan nyawa rakyat, demi mencapai herd immunity. Sungguh mengerikan bila tindakan herd immunity ini dilakukan.

Terlebih lagi, Indonesia yang mayoritas muslim ini, bisa disentuh sense keimanannya. Dengan keyakinan akan qodlo (ketentuan Allah) , ikhtiar juga harus dilakukan. Memang butuh proses memahamkan secara masif. Bahwa strategi lockdown ini disyari’atkan dalam Islam. Sebagaimana dahulu juga pernah dilakukan ketika ada wabah penyakit.

Nabi Sallāllāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

إذا سمعتم بالطاعون بأرض فلا تدخلوها وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا منها

“Jika kau mendengar tentang wabah (thā’ūn) di suatu daerah maka jangan mendatangi daerah itu. Namun jika wabah tersebut menimpa daerah tempat tinggalmu maka janganlah keluar darinya.” [HR al-Bukhārĩ dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 5396, dan Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 2218.]

Yang dimaksud dengan thā’ūn sebagaimana dijelaskan oleh penulis ‘Awn al-Ma’būd dan ulama lainnya adalah wabah yang menyebabkan kematian yang luas.

Imam al-Bukhārĩ meriwayatkan bahwa ‘Āisyah RA pernah bertanya kepada Nabi tentang thā’ūn, maka beliau menjawab, “Ia adalah azab Allāh yang dikenakan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, namun juga menjadi rahmat bagi kaum mukmin. Tidaklah seorang hamba berada di suatu negeri yang terserang thā’ūn, namun ia tetap menetap di dalamnya, tidak keluar, bersabar dan mengharapkan pahala, serta ia meyakini bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang telah Allah tetapkan baginya, maka ia mendapatkan pahala syahid.” [HR al-Bukhārĩ dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 6245.]

Dalam riwayat lain, Nabi bersabda,

الطاعون شهادة لكل مسلم

“(Wafat karena) thā’ūn merupakan mati syahid bagi tiap muslim.” [HR al-Bukhārĩ dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 2675, dan Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 1916, dari Anas RA.]

Dalam riwayat lain dari Abū Hurayrah RA, Nabi bersabda,

الشهداء خمسة المطعون والمبطون والغرق وصاحب الهدم والشهيد في سبيل الله عز وجل

“Orang yang mati syahid itu ada lima kalangan, yaitu mereka yang wafat karena: (1) thā’ūn, (2) sakit perut, (3) tenggelam, (4) tertimpa reruntuhan dan (5) berperang di jalan Allah.” [HR al-Bukhārĩ dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 624, dan Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya no. 1914.]

Para ahli sejarah mengisahkan, sebagaimana dalam Tārīkh al-Ṭabarĩ dan Tārīkh al-Dimasyq, bahwa pada tahun ke-18 hijriah terjadi wabah yang disebut Thā’ūn ‘Imwās [bisa dibaca: ‘Amawās atau ‘Amwas, nama suatu daerah di Palestina, sebagaimana disebutkan oleh Yāqūt al-Ḥamawĩ dalam Mu’jam al-Buldān], dengan korban yang wafat mencapai sekitar 25 ribu sampai 30 ribu orang. Sejumlah Sahabat turut wafat pada epidemi tersebut. Termasuk di antaranya gubernur distrik Syām kala itu: Abū ‘Ubaydah bin al-Jarrāḥ RA, berikut penggantinya: Mu’ādz bin Jabal RA.

Ketika wabah mulai menyebar, Abū ‘Ubaydah bin al-Jarrāḥ RA sempat tampil menyampaikan khotbah,

أيها الناس، إن هذا الوجع رحمة بكم ودعوة نبيكم وموت الصالحين قبلكم، وإن أبا عبيدة يسأل الله أن يقسم لأبي عبيدة منه حظه

“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat untuk kalian, ia (sebagaimana) doa Nabi kalian, dan (penyebab) kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sungguh, Abū ‘Ubaydah meminta kepada Allāh untuk mendapatkan bagian darinya.”

Tak lama kemudian, beliau pun terkena thā’ūn tersebut dan wafat. Estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Mu’ādz bin Jabal RA. Mu’ādz bersikap sebagaimana pendahulunya. Beliau berkhotbah dan berdoa dengan konten sebagaimana halnya Abū ‘Ubaydah RA sebelumnya. Mu’ādz pun juga wafat terkena thā’ūn tersebut.

Estafet kepemimpinan kemudian dipegang oleh ‘Amr bin al-‘Āṣh RA. Beliau mengambil kebijakan yang berbeda. Dalam khotbahnya, ‘Amr bin al-‘Āṣh RA mengibaratkan penyebaran wabah seperti layaknya nyala api. Beliau lalu memerintahkan masyarakat untuk berpencar di daerah pegunungan dan lembah. Kebijakan tersebut saat ini disebut dengan Social Distancing. Kebijakan itu berhasil dan wabah pun teratasi, meskipun pada awalnya ‘Amr bin al-‘Āṣh dicela oleh sebagian orang karena menempuh kebijakan yang berbeda dengan pendahulunya. Ketika tindakan ‘Amr bin al-‘Āṣh itu dilaporkan kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA selaku khalifah, ‘Umar tidak mengingkarinya.

Demikianlah, mudah-mudahan menambah wawasan kita tentang menentukan solusi mengatasi virus covid-19 dan penyebarannya. Semoga musibah ini segera berakhir, dan kita lebih bersemangat lagi untuk mengikuti petunjuk Islam. Tunduk dan patuh pada Allah, Rabbul Aalamiin, Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta.
Wallahu a’lam bis showwaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *