Oleh : Iin Susiyanti, SP
Dimasukkan ke dalam sel-sel tahanan, disiksa, dijadikan kelinci percobaan, wanita diperkosa secara massal, dipaksa berbahasa Cina, di doktrin dengan paham komunisme, diperintahkan untuk melakukan pengakuan dosa jika masih memjalankan ajaran Islam. Itulah perlakuan rezim Cina terhadap etnis minoritas Muslim-Uighur provinsi Xinjiang.
Dalam laporan WSJ, Cina disebut meminta kebebasan merujuk organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, media Indonesia, hingga akademisi agar tak lagi mengkritik dugaan eksekusi yang diterima kaum Muslim Uighur di Xinjiang. Cina juga menggelontorkan bantuan dan sumbangan kepada ormas-ormas, yang semula ormas Islam dan wartawan bersuara atas kekejaman pemerintah Cina mendadak bungkam setelah berkunjung beberapa kali di Xinjiang. (CNN. Indonesia, 12/12/2019)
Bahkan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj berharap agar Umat Islam di RRT bisa menjaga kondusifitas dengan tak mengusik ranah politik pemerintahan RRT. Ini agar mereka bisa hidup dengan tetap damai (detiknews.com)
Berbagai unjuk rasa diberbagai wilayah mendesak pemerintah Indonesia bersikap tegas menghentikan genosida yang dilakukan pemerintah Cina. Tapi unjuk rasa ini belum juga menggerakkan hati pemerintah Indonesia, Presiden Joko Widodo pun belum melakukan tindakan apapun atas diskriminasi yang terjadi di Uighur Xinjiang ini.
Menurut pakar kebijakan Cina, Michael Clarke. Diamnya pemerintah negara-negara muslim karena faktor ekonomi sangat bergantung kepada cina termasuk dalam pinjaman hutang dan Investasi negara Cina yang masuk ke negara-negara Muslim, serta berbagai pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Posisi Cina sebagai negara paling kuat di dunia menciutkan nyali negara Muslim dan ini menjadi masalah besar dalam politik komunitas Islam.
Fakta diamnya dunia Islam terhadap kekejaman Cina terhadap Muslim Uighur, juga derita Muslim Rohingya dan Palestina menegaskan bahwa saat tidak ada Khilafah umat Islam tidak mempunyai pelindung. Bahkan tidak bisa berharap perlindungan dan pembelaan dari negeri Muslim tersebar seperti Indonesia untuk menyelamatkan saudara Muslim minoritas Uighur dan lainnya.
Semenjak runtuhnya Turki Usmani negara Islam pecah menjadi beberapa negara bagian. Atas nama nasionalisme negara Muslim tidak berdaya atas penindasan yang terjadi disejumlah minoritas Muslim yang mendapat diskriminasi dari negara Kafir. Posisi Indonesia sebagai pemimpin negara ASEAN maupun sebagai anggota dewan keamanan pun tidak berpengaruh atas pembelaannya. Inilah bukti jika Islam tidak bersatu, umat Islam menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh negara-negara Kafir.
Bila ada negeri kecil yang jauh di Afrika barat (Gambia) menunjukkan protes dan menggugat kekejaman Myanmar terhadap Rohingya melalui lembaga dunia, seharusnya menggugah seluruh umat Islam untuk bersikap lebih baik lagi sebagai manifestasi ukhuwah Islamiyyah.
Karena solidaritas seorang mukmin yang satu dengan lainnya sangat kuat sekali, jika ada seorang mukmin merasakan kesengsaraan pasti mukmin lainnya akan menolong dan membantu saudara muslim lainnya. Seperti dalam hadits Nabi:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, membantah, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam. ”(HR Bukhari dan Muslim)
Sayangnya itu tidak terjadi karena beragam alasan. Maka umat harus menyadari tidak bisa dihentikan penindasan terhadap Muslim sampai tegak Khilafah Islamiyyah. Saatnya umat Islam bangkit dan bersatu demi tegaknya Khilafah sebagai solusi atas permasalahan dan penindasan negara Muslim dari ancaman negara-negara Kafir.