Oleh : NS. Rahayu (Tim Setajam Pena)
Pandemi covid 19 telah membuat perekonomian dunia tumbang. Negara-negara besar dengan tingkat stabilitas perekonomian yang relatip aman angkat tangan untuk bisa mengangkat roda perekonomian dengan segera.
Alih-alih menjalankan agar normal kembali dengan kebijakan new normal, justru kluster-kluster baru bermunculan yang makin membuat rapuh sistem perekonomian mereka. Terlebih pada negara berkembang seperti Indonesia yang secara ekonomi sebelum pandemi sudah kembang kempis.
Badai corona makin membuat terpuruk perekonomian Indonesia semakin tajam. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) per tanggal 5 Agustus 2020, PPDB (Pertumbuhan Produk Dmestik Bruto) minus 5,32%. Kondisi yang sulit untuk dapat segera normal.
Kolapsnya perekonomian ini membuat negara mencari cara agar roda perekonomian tidak makin berhenti. Kebijakan-kebijakan yang tidak solutip justru dijadikan pilihan yang makin membuat terpuruk. Salah satunya adalah proyek jalan tol selingkar Wilis.
Pembangunan selingkar wilis yang akan menghubungkan beberapa kota dan kabupaten di Jatim mulai dari Kediri hingga Bromo terus digalakan karena selingkar wilis bukan sekedar jalan tol biasa namun jalan tol yang menghubungkan tempat-tempat pariwisata di Jatim.
DPRD Jawa Timur mengajak enam daerah jalur Selingkar Wilis untuk bersinergi membangun sektor wisata sebagai salah satu pembangunan infrastruktur yang telah masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini meliputi 6 kabupaten yaitu Kediri, Tulungagung, Treng jljkgigalek, Ponorogo, Madiun dan Nganjuk. Proyek jalan sepanjang 23,2 km ini direncanakan mulai dibangun tahun 2020 dan berakhir 2022 mendatang. PSN ini bisa terkoneksi mulai dari Gunung Bromo, Lingkar Wilis, hingga Yogyakarta. Perkembangan wisata di Jawa Timur, berkontribusi memberikan pendapatan asli daerah (PAD) cukup signifikan. Hal ini sekaligus menciptakan lapangan perkerjaan dan muwujudkan UMKM.Surabaya. (tribunews.om, 3/8/20).
Genjot pariwisata, solutipkah?
Proyek pengembangan pariwisata saat ini makin marak karena dijadikan untuk menggenjot pendapatan baik pusat maupun daerah. Jawa Timur memetakan pembangunan selingkar wilis berjalan lancar dan telah menetapkannya sebagai proyek pendongkrak PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Pariwisata dianggap bagian solusi jitu untuk memulihkan kondisi ekonomi terutama kondisi ekonomi yang kolaps akibat corona. Daya pikat pariwisata dan kemudahan aksesnya sebagai proyek agar roda ekonomi berjalan, belum jelas hasilnya. Jelas akan menuai kegagalan yang berulang.
Sementara kondisi masyarakat yang makin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya justru di pangkas bantuannya. Dibiarkan berjuang sendiri dalam pandemi yang makin meningkat.
Dana dikucurkan pada proyek pariwisata yang rakyat belum tentu bisa menikmatinya. Lantas siapa yang diuntungkan? Jelas para kapitalis.
Terbuai nikmat yang sedikit
Keindahan alam dalam kapitalisme dijadikan sebagai obyek penghasil uang yang perlu di garap, meski banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Sistem kapitalisme mengabaikannya karena yang di pandang semata materi. Disinilah letak kesalahan sistem kapitalis yang tak menghitung akibatnya bagi masyarakat.
Sekilas menjanjikan dan menguntungkan baik bagi masyarakat, UMKN maupun daerah sendiri. Namun jika di telisik maka akan nampak siapa yang berperan didalamnya. Proyek besar itu mebutuhkan dana yang tidak sedikit.
Keterlibatan dan UMKM dan rakyat yang dikatakan dapat bergerak dalam peningkatan ekonomi hanya sebagai pemanis saja untuk mereda penolakan warga. Di sisi lain dampak kerusakanya jauh lebih besar.
Kita bisa tengok hal buruk yang dihasilkan seperti kerusakan lingkungan; proyek tol panjang ini pastinya akan menggunakan dan menghilangkan tanah-tanah produktif penopang pangan nasional. Kerusakan kehidupan sosial dan pergaulan;
pariwisata berkaitan langsung dengan pendukungnya seperti hotel, penginapan, tempat karaoke yang pasti akan membawa pengaruh negatip bagi sosial masyarakat dan pergaulanya.
Apalagi proyek selingkar Wilis ini berada di kabupaten yang di kenal religius, banyak ponpes berdiri di Kabupaten Kediri, Nganjuk dan Ponorogo.
Kerusakan yang dihasilkan jauh lebih besar ketimbang pendapatan daerah yang di incar
Dengan mengejar pendapatan yg tak seberapa di sektor pariwisata masyarakat pun semakin terlelap dan lupa bahwa Indonesia bukan hanya indah di alam tapi kaya SDA (suber daya alam), barang tambang dan hasil laut.
Inilah cara para kapital untuk merampas kekayaan indonesia, rakyatnya disibukan untuk mengejar yang kecil dan yang besar dijadikan bancakan oleh perusahaan asing dan aseng dan para penjahat berdasi.
Tata kelola SDA dalam Islam
Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep Islam. Pariwisata boleh dalam Islam (tidak haram), namun keberadaannya untuk meningkatkan kebesaran Allah, SWT dan mengajak untuk bertafakur tentang penciptaan Allah sehingga dapat meningkatkan keimanan.
Pariwisata disediakan sebagai tempat hiburan dari rutinitas tidak menjadi pendapatan negara. Karena sangat banyak pos-pos pendapatan negara yang mampu mengcover kebutuhan negara.
Sumber Daya Alam (SDA) dan kekayaan hayati lainnya seperti laut, hutan, gas jika dikelola dengan benar mampu mencukupi kebutuhan dalam negara bahkan menyejahterakan rakyat menyeluruh. Dalam Islam sumber kekayaan yang tidak terhenti menghasilkan itu adalah milik bersama.
Islam mengkategorikan bahwa padang, air dan api merupakan kepemilikan umum (rakyat) dan perolehannya akan kembali ke rakyat. Rasulullah bersabda :
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api”, (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Kepemilikan umum artinya manusia berserikat dalam memilikinya sehingga tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh pribadi, swasta, perusahaan bahkan negara sekalipun. Adapun masyarakat umum boleh untuk memanfaatkannya.
Dengan SDA dan kekayaan lainnya tentu tergambar perolehan hasil yang melimpah di banding hasil dari pariwisata. Kekayaan ini jika di kelola dengan benar oleh negara, maka akan mampu untuk menyejahterakan rakyat tanpa dibedakan kaya atau miskin, muslim atau non muslim. Karena itu adalah hak warga negara secara menyeluruh. Wallahu ‘alam bi shawab.