Hari Perempuan Internasional, Kesetaraan Perempuan yang Disuarakan Justru Penjajahan!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Devi Rahma Dona(Mahasiswa Pegiat Opini Ideologis Lubuklinggau)

[Dunia memperingati Hari Perempuan Internasional, pada Minggu (8/3/2020)]
Kali ini PBB mengangkat tema “Saya Generasi Kesetaraan: Menyadari Hak Perempuan”. Kampanye generasi kesetaraan membawa bersama orang dari setiap gender, usia, etnis, ras, agama dan negara untuk mendorong aksi yang akan menciptakan kesetaraan gender dunia yang semua layak mendapatkannya.

Tujuan kampanye tersebut untuk memobilisasi mengakhiri kekerasan berbasis gender, keadilan ekonomi dan hak untuk semuanya, otonomi tubuh, kesehatan dan hak seksual dan reproduksi, serta tindakan feminis untuk keadilan iklim. Selain itu, menginginkan teknologi dan inovasi untuk kesetaraan gender dan kepemimpinan feminis.

[Beragam kebijakan dan gerakan mengangat kesetaraan, tidak menyurutkan jumlah dan jenis persoalan yg dihadapi perempuan]

Kesetaraan yang digaungkan sebenarnya tidaklah menyelesaikan persoalan, sebab masalah yang dihadapi justru semakin banyak dan meningkat.

Artinya ada penyimpangan makna yang terjadi dalam mengartikan keseteraan ini. Tentu selalu berkaitan dengan akar masalah yakni sistem kapitalis sekuler liberal. Yang pada akhirnya menggiring kesetaraan ini pada membawa perempuan untuk keluar dari jalurnya atau menabrak fitrah dirinya sendiri sebagai perempuan. Sementara tujuan khusus tersebut terus menjadi ‘propaganda’ kapital sekuler untuk menghancurkan generasi Islam melalui ibunya yakni para perempuan.
Dalam hal ini perempuan terus bergelut dengan berbagai persoalan dan kubangan kehancuran seperti berikut;

Pertama, eksploitasi ekonomi. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwasanya perempuan menjadi alat komoditas sebagai roda perekonomian. Banyak sekali kasus yang ditemukan faktanya perempuan disibukkan dengan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup. Ada yang terjebak dengan kelutan tuntutan hidup yang pas-pasan ada juga yang bersenang-senang untuk memenuhi gaya hidup yang berlebihan.
Dalam sistem kapitalis liberal entah laki-laki atau perempuan tidaklah penting, yang menjadi pertimbangan adalah apakah mereka bisa menghasilkan uang walaupun anak dan suaminya terbengkalai. Ini harusnya menjadi sorotan tajam bagi para pengamat keluarga atau apapun sebutannya, karena fakta ini menyebabkan banyak masalah pada kelurga seperti hilangnya fungsi orangtua sebagai pendidik bagi anak-anaknya terutama ibu yang dalam Islam dinyatakan “al-ummu madrasatul al-ula” artinya ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Namun dengan kondisi ini bagaimana bisa seorang ibu mendidik anak-anaknya jika waktunya tersita dengan bekerja, bekerja dan bekerja. Belum lagi rumah tangga yang retak akibat peran dan tugas yang tidak sesuai yang dijalankan oleh pasangan suami istri dalam keluarga.
Eksploitasi tidak hanya dimaknai sebagai kekerasan yang dilakukan terhadap kaum perempuan pada sisi feminitas semata, akan tetapi ekploitasi bisa saja dalam bentuk penawaran yang menjadikan gaya hidup saat ini, masyarakat seakan sudah tidak peduli dengan ekploitasi yang dilakukan kepada manusia, lebih khususnya kaum perempuan yang lebih mudah diekplotasi dari sisi mana pun.

Feminitas pada hakekatnya merupakan suatu istilah untuk doktrin persamaan hak bagi perempuan dan ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan melalui persamaan sosial yang sederhana. Namun tujuan ini salah arah bahkan dijadikan untuk meyerang Islam dan ajarannya. Kita sepakat bahwa dalam hal tertentu perempuan dan laki-laki adalah manusia yang memiliki hak yang sama, seperti bersekolah, jaminan kesehatan, untuk tidak diperlakukan dengan kasar, dan lainnya. Namun bukan berarti kemudian dalam semua hal perempuan bisa bahkan melebihi laki-laki dalam melakukan suatu pekerjaan.

Kedua, komersialisasi di media. Bukan juga hal yang tabu, bahwasanya perempuan dijadikan barang dagangan di media. Mereka diekspolitasi demi mendapatkan keuntungan yang menggiurkan. Anggota tubuhnya ibarat ayam goreng panas yang siap disantap siapa saja, terbuka, tersaji dengan leluasa. Jika sudah pada kondisi ini mana mungkin bicara aurat, padahal jelas dalam Islam batasan aurat wanita, hanya boleh dinampakkan pada mahramnya saja dan di dalam rumah. Adalagi baru-baru ini cuitan yang mengatakan “tubuhnya yang terbuka adalah bentuk seni”. Naudzubillah.
Bisa kita lihat di iklan-iklan wanita dijadikan alat untyuk menarik perhatian dan minat para calon pembeli. Dengan pakaian serba kurang bahan, berperawakan ideal, manja dan tahan menjadi sorotan, mereka jadi model penjualan. Memang terkadang tidak ada sama sekali hubungannya antara perempuan tersebut dengan apa yang diklankannya, namun dalam sistem kapitalis sekuler itu menjadi hal yang wajar dan biasa saja. Dan sayangnya banyak generasi perempuan yang tergerus dalam kondisi saat ini.

Ketiga, kekerasan seksual. Berdasarkan catatan kekerasan terhadap perempuan (CATAHU), pada 2019 kekerasan terhadap perempuan sebanyak 431.471 kasus. Angka ini meningkat 693% dari 2008 yang hanya 54.425 kasus. CATAHU 2020 menyebutkan maraknya kekerasan terhadap perempuan menjadi budaya yang menguat dan kewajaran karena minimnya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan serta masih jauh dari harapan, bahkan telah terjadi pembiaran. Pada Catahu tahun 2020, Komnas Perempuan menemukan jumlah laporan kekerasan terhadap anak perempuan meningkat sebanyak 2.341 kasus (sekitar 65 persen) dibandingkan tahun 2018 (1.417 kasus). Dari semua jenis kekerasan yang dialami anak perempuan, inses merupakan yang paling tertinggi (770 kasus) dan kekerasan seksual (571 kasus).

Bahkan dari data kekerasan seksual di ranah personal, kasus inses menempati angka tertinggi (822 kasus), disusul perkosaan (792 kasus). Pada Catahu 2019 lalu, kasus inses juga menempati angka tertinggi dalam kekerasan seksual di ranah personal atau keluarga (1.071 kasus). Pelaku inses adalah orang-orang terdekat korban yakni ayah dan paman.
Ruang aman perempuan juga semakin terusik seiring meningkatnya kejahatan berbasis siber. Pada 2019, fenomena kejahatan siber terhadap perempuan meningkat terutama dalam bentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban. Begitu juga dengan kekerasan seksual terhadap perempuan difabel meningkat 47 persen dengan korban terbanyak perempuan difabel intelektual.
Catatan kelam ini terjadi akibat terjadinya pembiaran terhadap perempuan, tidak ada aturan yang jelas dan tegas yang dapat menjadi benteng pengaman bagi para perempuan untuk dapat terlindungi. Hukum kita tegas pada rakyat bawah dan mementingkan pada kepentingan penguasa dan pengusaha. Namun perlindungan perempuan terus dibiarkan dengan keadaan yang seolah membuat wanita harus menerima nasibnya terlahir sebagai perempuan. Juga terlihat pada lemahnya hukuman bagi para pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Keempat, tiadanya jaminan kesehatan dan sebagainya yang mendera perempuan. Penyakit dan virus yang tidak terselesaikan jalan keluarnya. Pemerintah tidak cepat tanggap dengan masalah yang ada justru melahirkan solusi-solusi yang tidak tepat pada akar masalah. Mahalnya biaya kesehatan menjadi ‘momok’ menakutkan yang membuat siapa saja malas untuk berurusan dengan masalah kesehatan.

Padahal kesehatan seharusnya merupakan jaminan dari pemerintah yang diberikan secara gratis atau cuma-Cuma. Mengingat kesehatan adalah hal yang sangat penting dalam berlangsungnya kehidupan.

Karena setara bukan berarti sama, ideologi kapitalis liberal memberi solusi masalah dengan kesetaraan yang justru menghasilkan masalah-masalah baru berupa konflik, persoalan disharmoni dalam keluarga dan masyarakat.
Kesetaraan yang dituntut ini justru menabrak fitrahnya sebagai perempuan. Menjadi bumerang bagi para perempuan karena telah menyalahi aturan yang telah diciptakan oleh Allah swt.

[ Cara pandang islam dan peran khilafah mengatasi masalah perempuan ]
Dalam Islam perempuan begitu dimuliakan. Namun tanpa aturan yang tegas dan jelas oleh pememrintah maka perempuan bisa jadi lemah tak berdaya bahkan terjajah. Islam jelas mengatur perkara perempuan ini terbukti dalam al-Qur’an yang mengaturnya dan pemimpin dalam Islam yakni kholifah dalam sistem khilafah sebagaimana dalam sejarah betapa keamanan dan perlindungan begitu dijaga untuk perempuan.

Pemimpin harusnya membangun taqwa dalam jiwa masyarakat, sehingga siapa pun yang mencapai itu, akan menyadari kewajiban yang dibebankan kepadanya dan menyadari Tuhannya dalam kehidupan pribadi dan umum.

Rasulullah SAW bersabda: «مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» “‘Seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat lalu ia mati pada hari kematiannya ketika ia menipu rakyatnya Allah pasti akan mengharamkannya masuk surga”(HR. Muslim).

Hadist ini adalah bukti besarnya tanggung jawab yang ditempatkan pada setiap pemimpin dan laki-laki pada umumnya bersama keluarganya, terkhusus dia harus mempertahankan hak-hak perempuan, memenuhi apapun yang dia butuhkan untuk mereka, dan memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan baik. Juga, perempuan itu bertanggung jawab atas rumahnya dan bertanggung jawab atas mereka yang tinggal bersamanya.

Kemudian jaminan kesehatan, pendidikan, pengaturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, persoalan perempuan bekerja dan lain sebagainya terkait perempuan akan sangat dijaga. Agar tidak terjadi penyimpangan dan Hak dan kewajiban atas perempuan akan ditunaikan karena kholifah akan memahamkannya pada masyarakat, dan masyarakat akan melaksankannya sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah. Maka sudah saatnya kita kembali pada aturan Allah yang sangat memuliakan perempuan dan mencampakkan deomkrasi dan aturannya yang menjerumuskan.
Wa Allahu ‘Alam Bishawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *