Oleh: Abu Mush’ab Al Fatih Bala
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan yang menyelamatkan kehidupan kita. Karena guru, kita bisa membaca untaian kata-kata.
Karena guru pula kita pandai matematika, cakap berbahasa Arab, Inggris dan berbagai disiplin ilmu lainnya.
Guru mengenalkan kita kepada baca tulis Al Qur’an. Meresapinya hingga kita bisa mengenal dan mencinta Rabb pencipta Al Qur’an.
Berguru layaknya berlayar diatas samudera ilmu. Sepanjang mata memandang terpampang birunya pengetahuan yang menjernihkan pemikiran dan hati kita.
Guru bagaikan hujan yang turun di tengah gersangnya dunia. Panas pun tak terasa ketika bersama mengkaji ilmu.
Namun, apa daya meskipun kita menyiapkan satu hari khusus untuk guru. Guru-guru seperti hidup merana. Pengorbanan mereka tak sebanding dengan pendapatannya.
Di negeri ini, banyak guru yang hidup tak layak. Khususnya guru honorer. Ada yang gajinya cuma 250 ribu per bulan. Itu pun diterima 6 bulan sekali.
Sedangkan yang dikeluarkan lebih banyak lagi. Ada guru honorer yang biaya transportasi plus makan minum sehari Rp.10.000.
Jika sebulan aktif 28 hari mengajar, pengeluaran Rp.280.000. Tekor Rp.30.000.
Belum lagi jika harus menghidupi anak istri. Banyak guru yang mencari usaha sampingan di luar pekerjaannya.
Semakin pelik, apabila kita melihat ada guru yang dianiaya muridnya. Pernah viral seorang murid yang mencekik batang leher gurunya. Di depan sorak sorai gembira satu kelas.
Baru-baru malah ada siswa yang membunuh ibu gurunya. Karena Cinta tak terbalas.
Ini lah resiko-resiko yang harus ditanggung guru hidup di alam sekuler. Dimana kesejahteraan guru kurang diperhatikan.
Andai penguasa mau membuka hati bercermin pada sejarah Islam dalam memperlakukan guru. Maka mereka akan terpesona.
Pada zaman Daulah Islam, Rasulullah SAW mengupah guru dengan tujuan mencerdaskan anak-anak kaum Muslimin. Banyak tawanan perang yang bebas karena bersedia menjadi guru tenaga nya Rasulullah.
Ini pun dilanjutkan pada masa Khilafah. Dimana setiap guru diberi gaji yang fantastis. Yakni 15 dinar perbulan.
Seolah-olah kecil harganya cuman 15 keping dinar (15 keping uang logam). Namun jangan salah itu setara dengan Rp.32.850.000.
Diterima perbulan, setahun Rp. 394,200,000. Makanya guru pada zaman Khilafah berlomba-lomba mencerdaskan akal dan memperkuat aqidah muridnya agar semakin cinta pada Allah, Rasul dan Syariah-Syariah-Nya.
Mengapa bisa begitu? Karena cara pandang pemimpin negara kalah itu bukan sekuler radikal namun lebih pada pertimbangan Syar’i. Ditunjang dengan pendapatan SDA dan perdagangan yang tidak dimonopoli asing maupun swasta (kaum kapitalis).
Kalau guru sekarang ditawarin gaji 15 dinar. InsyaAllah mereka mau dan semakin semangat mengajar. Namun semuanya tak akan pernah terwujud bila sistemnya saja belum berubah. Masih sekuler kapitilistik.
Semoga kehidupan kita kembali Islami seperti dulu kala. Kehidupan yang cemerlang dimana guru bahagia murid berjaya. Aamiin ya Rabb Al Aalamiin.
Wa’Allahu ‘Alam bishowwab.
NTT, 25 November 2019