Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Panen adalah sesuatu yang ditungu-tunggu bagi para petani, karena mengharapkan keuntungan atas apa yang telah diusahakannya selama beberapa bulan. Namun apa jadinya jika kenyataan pada masa panen raya tidak sesuai dengan harapannya?. Jangankan mendapat untung, modalpun tidak bisa kembali. Itulah yang terjadi pada petani cabai saat ini.
Harga cabai rawit di tingkat petani di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dalam satu bulan terakhir anjlok sehingga petani terancam merugi. Petani warga Kelurahan Mungseng, Budi Suwarno mengatakan, penurunan harga cabai telah berlangsung sejak pertengahan Juli 2021.
Ia menyebutkan pada Juli lalu harga cabai rawit mencapai Rp 40 ribu per kilogram, namun berangsur turun sekarang harga di tingkat petani hanya Rp 5.500 hingga Rp 7.000 per kg.
Menurut dia harga ideal cabai agar petani tidak merugi berkisar Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu per kg, dengan harga jual ini biaya tanam hingga petik sudah tertutup dan masih ada untung.
“Kalau dengan harga jual seperti saat ini hanya Rp 7.000 per kg, petani sudah dipastikan merugi,” katanya.(Republika.co.id, 26/08/2021)
Demikian pula yang terjadi pada petani di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat mengeluhkan anjloknya harga cabai di pasaran yang kini mencapai Rp 6.000 per kilogram.
Kondisi itu berpotensi menyebabkan kerugian.
Lantaran harga jual tidak sepadan dengan biaya produksi (tanam hingga panen) yang sudah dikeluarkan para petani.
Normalnya harga cabai itu ya di kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu per kilogram.
Kalau sudah di bawah Rp 10 ribu, petani merugi tidak menutup biaya produksi,” ujar Tatang Tarsono (54), petani cabai di Desa Argalingga, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, saat ditemui di kebun.
“Jadi harga cabai merah keriting di pasar hanya dihargai Rp 6.000, cabai rawit hijau Rp 3.000 hingga Rp 4.000 ribu, cabai rawit merah Rp 10 ribu. Rawit merah harusnya Rp 18.000 agar menutup biaya produksi,” ucapnya.
Menurut Tatang, kondisi ini sudah terjadi sejak pandemi Covid-19. Meski tahun ini tidak separah awal pandemi, harga cabai saat ini masih dikatakan anjlok. (tribunnews.com, 27/08/2021)
Akibat dari ambruknya harga, petani di Majalengka, Jawa Barat tidak memanen cabainya dan membiarkan cabainya membusuk daripada dipanen, akan tetapi hasil penjualannya bahkan tidak cukup untuk menutup biaya tanam dan petiknya.
Sedangkan di daerah Sleman, Jawa Tengah, petani membagi-bagikan cabainya gratis ke masyarakat sebagai bentuk perihatinannya terhadap harga cabai.
Kemerosotan harga cabai tidak saja terjadi di Temanggung Jawa Tengah dan Majalengka Jawa Barat saja, tetapi juga di daerah Jawa Timur dan daerah-daerah lainnya, hal tersebut dikarenakan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sehingga volume belanja kebutuhan rumah tangga dan dapur ikut berkurang. Demikian juga banyak rumah makan, restoran, dan hotel yang tutup, sehingga permintaan akan komoditas cabai juga turun. Namun yang lebih disayangkan lagi , disaat petani cabai akan memanen cabainya, keran impor cabai dibuka pemerintah dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan industri.
Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pasokan aneka cabai untuk konsumsi di Indonesia berada pada posisi surplus. Indonesia juga mengimpor cabai untuk memenuhi kebutuhan industri.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan Bambang Sugiharto menjelaskan impor cabai sebesar 27.851 ton sepanjang semester I/2021 dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk dan bukan cabai segar konsumsi.(Bisnis.com, 24/08/2021)
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi.
“Perlu mengurangi impor cabai dari luar negeri. Hal ini karena selama pandemi ini Indonesia tetap melakukan impor cabai besar-besaran sehingga panenan produk lokal rentan terganggu seperti saat ini.’ Berdasarkan data yang dihimpunnya, pada bulan Januari-Juni 2021 ini, Indonesia melakukan impor cabai yang mencapai 27.851,98 ton atau senilai Rp8,58 triliun. Dan pemasok paling besar adalah India.
Negara sebenarnya bisa memfasilitasi pengembangan industri-industri olahan cabai dan juga membangun sistem atau teknologi penyimpanan cabai agar tahan lama tetapi tidak pernah dilakukan,” keluhnya lagi.
Hempri kemudian menambahkan problem utama pemerintah yakni tidak pernah serius membangun kedaulatan pangan di negara sendiri. (ayoindonesia.co, 29/08/2021)
Berbagai lembaga seperti Bulog, Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pangan Nasional yang dibentuk tidak mampu mengatasi banjirnya impor yang mengakibatkan ambruknya harga cabai.
Sebagai negara agraris, tidak semestinya membiarkan impor terjadi, jika penguasa menerapkan politik pertanian yang tepat guna dan tepat sasaran, khususnya soal komoditas cabai, jangan hanya memandangnya sebagai komoditas bernilai ekonomis tinggi sehingga membiarkan semua pelaku ekonomi turun arena yang membuat mekanisme pasar menjadi tak terkendali, yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjadikan kepentingan rakyat sebagai hal yang utama.
Dalam pandangan Islam, pemerintah sejatinya adalah pelayan sekaligus pelindung umat, bukan pebisnis atau pedagang. Mereka wajib memastikan kebutuhan umat dan keamanan mereka terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana wajib pula bagi mereka memastikan kedaulatan dan kemandirian negara tetap terjaga. Tidak ada kepentingan dalam kekuasaan Islam selain hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT, karena kepemimpinan adalah alat penegak hukum-hukum Allah, yang amanahnya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Produksi pangan misalnya, akan dipacu sesuai kebutuhan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi lahan pertanian. Tidak ada lagi alasan yang menyebabkan suplai kebutuhan tergantung sepenuhnya pada impor.
Usaha ini tentu akan didukung penuh oleh negara. Antara lain melalui penerapan sistem pertanahan dalam Islam yang mengharuskan optimalisasi penggunaan lahan sesuai potensinya. Juga dukungan dalam bentuk fasilitas benih, pupuk, pemberian fasilitas budidaya, teknologi pertanian, teknologi pangan, pascapanen, serta membangun infrastruktur penunjangnya dan permodalan yang dimungkinkan karena negara menerapkan sistem ekonomi dan keuangan Islam.
Rasulullah SAW bersabda : “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Wallahu a’lam bi ash-shawab